Selasa, 03 Desember 2013

Aku Masih Menyembunyikan Kelelahan

                Meski langit masih pucat. Aku tetap harus bergegas. Aku harus mencari harapan baru demi sebuah kebahagiaan. Aku harus berlari. Berlomba-lomba meninggalkan apa yang pernah menjadi harapan. Mencoba berpaling tapi memang tidak mudah. Mencoba memendam tapi memang sangat sakit. Bahkan, aku sudah mencoba tetap berlari tapi memang sangat lelah.  Begitulah aku. Aku yang masih terbayang-bayang derita masa lalu. Aku yang masih enggan beranjak meski tahu semua ini perlahan-lahan akan membuhunku. Itulah ketololanku. Aku masih belum bisa meniadakan semua itu seperti yang kau lakukan. Aku masih belum sempat memikirkan kebahagiaanku karna semua telah engkau renggut begitu saja. Kau renggut hingga tak ada yang tersisa.

                Aku mencoba berlari dibawah semburat cahaya matahari. Aku masih bertekad meninggalkan semua yang pernah kita lalui. Aku berniat. Berniat dari lubuk hati karna memang aku lelah. Lelah yang tak bisa terus ku paksakan. Lelah yang tak bisa terus aku tampakkan. Aku lelah. Sangat lelah. Menyembunyikan kelelahan bukan hal yang mudah. Kau harus tahu itu. Aku sudah lelah menyembunyikan kelelahan. Semacam ada gurat putus asa yang tak bisa ku jelaskan. Aku sudah lelah dan aku ingin berhenti. Berhenti. Bukan berhenti sejenak untuk singgah. Bukan! Bukan berhenti untuk membuang kelelahan. Bukan! Bukan juga berhenti untuk tujuan baru. Namun, aku berhenti karna aku memang benar-benar lelah. Lelah. Lelah karena pengabaianmu.

                Ketika aku telah mencoba berlari dan berniat untuk pergi dari kelelahan. Kamu tiba-tiba datang tanpa pengabaian. Kamu datang seolah melarangku untuk lelah dan berhenti. Kamu datang seolah merangkulku kembali agar aku tetap singgah. Kamu datang seolah memberi peringatan bahwa aku harus tetap menunggu meski dalam kelelahan. Kemari dan mendekatlah. Tolong, lihatlah aku sejenak. Pandangi mataku. Lihatlah. Masih adalah tenaga yang ku miliki untuk melawan rasa lelahku? Masih adakah yang aku miliki untuk memendam kelelahanku? Masihkah? Kamu masih melihatnya bukan? Hanya ada di sini. Hanya ini yang masih aku miliki. Separuh hati yang tidak ikut tercabik-cabik ketika kamu pergi. Iya, ini adalah yang paling berharga. Aku bahkan tidak berani memberikannya kepada orang lain. Apalagi kepadamu. Separuh hatiku saja sudah kau cabik-cabik sedemikian rupa. Bagaimana jika separuh hati ini ku berikan? Aku pasti tak dapat mempunyai hati lagi. Habis sudah kau cabik-cabik dan kau renggut begitu saja. Namun, kedatanganmu yang tanpa pengabaian itu tak berlangsung lama. Setelah itu, sama saja. Pengabaianmulah yang selalu ku dapat. Rangkulanmu itu sudah sedari kau lepas rupanya. Iya, hanya sebentar pengabaian itu hilang. Keesokan harinya datang lagi. Dan keesokan hatinya lagi. Dan lagi. Dan lagi. Pengabaianmu itu sangat menyukaiku rupanya.

                 Coba, kemarilah. Duduklah disampingku. Coba bayangkan semua yang pernah kita lalui. Semuanya! Iya, mulai dari hangatnya pelukan Jogjakarta. Semilirnya angin di Pantai Indrayanti.. Tajamnya Gunung Merapi dari Ketep Pass. Surprise lembut yang kau berikan dua bulan yang lalu. Alunan gitar dan keyboard yang sempat kau mainkan untukku. Semuanya itu sangat lembut. Lembut sampai bahkan aku tak dapat menyaringnya. Jangan jauh-jauh. Cobalah mendekat. Aku tahu kau sudah meniadakan semua itu hingga kau tak merasakan lelah seperti yang aku rasakan. Bahkan omonganku yang seperti ini juga tak akan bisa menembus dinding hatimu yang keras bak terbuat dari baja. Baja yang terlalu sulit aku lunakkan. 

                  Lantas, sekarang apa yang harus aku lakukan? Tetap menunggumu dan menyembunyikan rasa lelahku? Atau aku harus lebih lama lagi memendam rasa lelah ini sampai aku tak sadar diri? Bicaralah. Jangan mudah merangkulku dan melepaskanku begitu saja. Aku ini memiliki perasaan. Sejauh mana kau mengerti apa yang aku rasakan? Sejauh kau melakukan pengabaian? Mungkin. Namun, maafkan aku. Aku harus tetap berlari. Mencoba menikam kembali semua yang pernah kita lalui. Bila suatu saat nanti aku lelah kembali, aku tidak akan ikut dalam rangkulanmu. Aku akan berhenti dan mulai memikirkan kebahagiaanku. Bukan kebahagiaanmu lagi. Dan bila suatu saat nanti engkau mencariku, nantilah aku. Nantilah hingga kamu merasa lelah. Merasakan semua yang pernah aku rasakan. Nantilah. Jika memang Tuhan menakdirkanku untuk kau rangkul. Aku pasti berhenti dalam rangkulanmu lagi.

Magelang, 3 Desember 2013
Annisa Ulfah Miah

Kamis, 28 November 2013

Permainan Keyboardmu Bukan yang Terakhir

            Disini. Di sudut lapangan ini. Aku hanya bisa melihatmu dari sini. Aku melihatmu nyata di hadapanku. Berbalut kaos hitam, celana tigaperempat, dan sepatu cats. Iya, aku tahu itu adalah gaya andalanmu ketika kamu beraksi. Aku sengaja memperhatikanmu selagi kamu sibuk berbincang dengan yang lain. Aku juga sengaja mencuri pandanganmu ketika kamu duduk sendiri sambil menghisap rokok yang ada ditanganmu. Aku tahu, kamu tak pernah mngacuhkan keberadaanku. Kamu juga tak perduli bahwa aku sempat berurai air mata sebelum aku benar-benar kuat melihatmu. Aku tahu. Kamu hanya mencampakkan hadirku.

            Kini kita benar-benar bertemu dalam waktu yang sama. Bertemu dalam satu ruang yang sama pula. Aku membayangkan seperti selaknya kita bertemu seperti biasa yang dibalut canda dan tawa. Pertemuan manis selayaknya kita dahulu ketika kita masih menjadi kita. Namun, ternyata itu berubah seketika. Aku seperti tak mengenalmu. Bahkan, kamu seperti orang asing yang sama sekali belum pernah ku kenal. Kamu menengok kepadaku saja enggan. Menatapku apa lagi. Kamu seperti bertemu dengan seseorang yang sangat kamu benci. Seburuk itukah aku dimatamu? Tanpa kamu menjawabnya, aku juga sudah tahu bahwa kamu sebenarnya tak inginkan kehadiranku disini.

            Disana, mata kita sempat bertatapan beberapa detik. Ku pastika jantungku berhenti berdetak beberapa detik juga. Aku juga sempat melihat senyummu yang begitu ku rindukan. Senyummu yang terus hadir dan membayangi mimpiku setiap malam. Aku melihatnya hari ini. Kamu benar-benar nyata dihadapanku. Berdiri membelakangiku seperti layaknya aku tak ada. Iya, itulah kamu sekarang. Pria yang dahulu sempat membahagiakanku, kini seperti dengan mudah meniadakan semua yang pernah kita lakukan bersama. Iya, itulah kamu sekarang.

            Aku melihatmu berjalan perlahan sambil membawa keyboard kesayanganmu itu menuju panggung. Aku masih memandangmu dari kejauhan. Melihatmu tajam. Benar-benar tajam. Aku mengamati setiap langkahmu sebelum menaiki panggung itu. Aku melihat setiap centi gerak gerikmu sampai kamu siap memainkan beberapa lagu. Sementara aku, aku mempersiapkan kekuatan hati kuar biasa sebelum aku berniat mendekat. Aku mempersiapkan ketegaran dan semuanya agar aku tak mengenal air mata untuk sesaat. Setelah aku merasa kuat, aku berjalan mendekat. Berharap melihatmu jelas. Dan aku benar-benar melihatmu nyata dan jelas. Aku tak ingin menoleh sedikitpun dari tempatku berdiri. Aku sangat bahagia ketika aku bisa melihatmu leluasa di atas panggung meski artinya sama aja aku menyakiti hatiku sendiri. Aku juga tak berniat mengedipkan mata hanya agar aku tak kehilanganmu sedetik saja. Aku terus melihatmu sampai kuatku melemah. Aku melihatmu hingga aku benar-benar tak sadar aku telah berurai air mata. Aku benar-benar tak menyadari semuanya. Semua berjalan begitu saja. Iya, tanpa sadar.

            Sempat terbesit beberapa kata yang ingin ku ucap ketika kamu duduk sendiri di sudut lapangan. Aku ingin menemuimu. Mengijinkan mataku bertemu dengan matamu. Mengijinkan hatiku untuk merasakan debar yang luar biasa. Aku ingin. Benar-benar ingin. Tapi sikapmu menyilaukan. Kamu bahkan tak ingin berbincang meski hanya beberapa detik denganku. Tak ingin melihatku dan terus berusaha tidak peduli akan hadirku. Terus saja seperti itu. Kekuatan hatiku sebenarnya telah melemah. Aku sudah tak sekuat dan setegar di awal kita bertemu. Aku sudah kehilangan banyak rasa dan bahagia hingga aku hanya mampu memberikan air mata. Aku bahkan hanya bisa membisu ketika hatiku menjerit karena merindukanmu. Aku sangat merindukan moment-moment seperti ini. Aku sangat merindukan kehadiranmu sebagai seorang pria yang ku miliki.
            Aku kini mulai melemah. Aku tak kuat melihat sikap acuhmu yang tak bisa ku jelaskan. Aku yakin suatu saat nanti kita kan bertemu. Bersama kembali. Aku yakin. Mungkin saat ini kita memang sedang dijauhkan. Percayalah, kita sedang diuji. Kita sedang diberi cobaan untuk kebahagiaan besar. Dan percayalah, permainan keyboardmu tadi bukan yang terakhir untukku. Kita pasti akan bertemu lagi. Pasti.


Magelang, 28 Nopember 2013

Annisa Ulfah Miah

Rabu, 27 November 2013

Seminggu Pertama Tanpamu

              Kenangan itu belum sirna setelah seminggu ini. Kenangan indah yang sempat kita lukis bersama dalam dimensi keabadian. Kenangan yang sebelumnya akan menjadi cerita pengantar tidur bagi anak kita nanti. Serta kenangan yang selalu kita banggakan selama ini. Iya, kini semua hanya tinggal cerita usang. Cerita yang gagal kita ceritakan pada anak kita nanti. Cerita yang hanya menjadi angan semu.

               Seminggu setelah kamu pergi. Aku masih berurai air mata dan tak kenal apa itu bahagia. Apa itu keikhlasan dan kenyataan. Aku masih menutup diri dan pikiran. Aku masih menguncinya dengan kasih sayang luar biasa atas nama kamu. Pria yang menorehkan luka dalam yang berbekas. Pria yang sebelumnya juga memberiku bahagia dan suka cita. Iya, pria yang aku maksud adalah kamu.

               Ini adalah seminggu yang sulit bagiku. Seminggu yang membuatku hancur luar biasa. Seminggu yang membawaku pada angan semu tanpa nyata. Seminggu yang benar-benar menguji kesabaranku. Dan ini adalah seminggu pertama tanpa kamu. Selama seminggu ini aku benar-benar merindukanmu walau kau tak pernah mau tahu. Bahkan diam-diam aku mencari jawaban kepergianmu yang begitu saja. Bertanya pada semua hal yang aku temui. Mereka bilang aku ini gila. Gila karena menanyakan pada waktu. Ya, kini aku hanya bisa memendam rindu yang sebenarnya hanya mampu memberikan sakit luar biasa. Tapi aku bahagia. Aku bahagia merindukan pria sepertimu. Setidaknya kamu sempat menghiasi hidupku tanpa cela. Memberikan warna-warna indah yang sebelumnya tak pernah ku lukis dalam kanvas kehidupanku. Kamu yang sebenarnya banyak memberikan perubahan padaku, pada hatiku, fikiranku, dan segalanya.
Ingatanku tentangmu sudah terlampau kuat. Kenangan yang indah ketika kamu disampingku masih jelas tergambar walaupun dalam bayang-bayang. Ketika suka cita itu datang, kamu bahkan menjadi bukan kamu. Kamu sempat menjelma sebagai sumber kebahagiaan dan tawaku. Aku tak mungkin memungkiri hal itu. Aku jelas ingat ketika tingkahmu yang tolol dan konyol itu melukis senyum indah di bibirku. Menorehkan ribuan kenangan indah yang memenuhi pikiranku. Atau mungkin saat kita pergi mencari angin segar bersama. Perhatian kecilmu itu membuat hatiku mendayu. Perlakuan manismu itu juga membuatku seakan menjadi tujuanmu. Iya, tujuanmu untuk selamanya. Bukan untuk sementara.

              Aku berharap agar kamu dan aku menjadi kita. Menjadi kita kembali suatu saat nanti. Aku berjanji akan membukakan pintu selebar mungkin jika kamu kembali. Aku juga berjanji akan mengajakmu untuk melukis kembali di kanvasku. Kembali mengulang dan membuat kenangan baru sebagai cerita baru untuk anak-anak kita kelak. Aku akan menunggu hingga suatu saat nanti kamu akan mencariku lagi. Membutuhkan ku untuk memberi semangat mengawali hari indahmu seperti sebelumnya. Aku yakin Tuhan akan memberikan bahagia yang luar biasa suatu saat nanti bersamamu. Karena aku tahu, kamulah kuas yang akan tetap member warna indah pada hidupku dahulu, sekarang, dan selamanya.



Magelang, 27 Nopember 2013

Annisa Ulfah Miah

Rabu, 16 Oktober 2013

Rinduku Dalam Imajinasiku

           Seminggu yang lalu, kamu masih sempat merangkulku dan memeluk erat tanganku. Seminggu yang lalu juga, kita masih jalan bersama keliling kota, lunch, dinner, bahkan menonton konser bersama. Hal yang kita lakukan memang monoton, namun aku tetap menyukainya. Segala hal, sekecil apapun itu, aku masih merasa senang bila berada disampingmu. Iya, mungkin aku terlalu berharap. Tapi, mungkinkah semua itu memang hal yang seharusnya kita lakukan sebagai sepasang kekasih?

          Aku tak tahu saat ini kamu sedang berfikir apa. Mungkin kamu memirkanku? ahh rasanya mustahil. Sekali lagi aku tak mau banyak berharap. Tapi aku ingin diantara hal yang kamu fikirkan, sisakan sedikit memorimu untuk mengingatku, entah itu kebodohanku, ketololanku, atau bahkan kebencianmu padaku. Silahkan, aku tidak meminta banyak waktu saat kau memikirkanku. Satu menit juga tak apa, ohh mungkin terlalu lama, sedetik pun juga tak masalah. Aku ingin disaat kamu mengingatku, kamu masih mengingatku sebagai kekasihmu.

          Kini, di tempat biasa kita bertemu, aku duduk termangu sendiri. Bagaikan whiteboard yang kehilangan boardmarkernya, yang menggelinding entah kemana. Aku masih sabar. Ada banyak hal yang lebih setia menemaniku disini. Ada udara yang masih bisa ku rasakan. Meskipun sejujurnya aku berharap ada suara nafasmu diantara ribuan derai udara ini. Ada juga pohon-pohon yang rindang seakan menari bersama kawan sejatinya, angin. Aku iri. Sangat iri. Sebuah pohon bisa menari bersama angin yang tak pernah bisa terlihat. Namun sangat nyaman dirasakan. Kamu, kamu dapat aku lihat dengan kesilauan. Aku ingin menari bersamamu seperti pohon-pohon yang menari bersama angin. Tapi, kesilauanmu menggangguku. Aku tak dapat menyentuhmu. Bahkan melihatmu. Aku semakin iri setelah ada dua burung terbang bersama. Dengan jari telunjukku yang lemah, aku menunjuk seekor burung jantan. Aku mulai menangis, ya menangis melihat keirian yang sangat menyayat perasaan.

          Aku masih setia. Duduk sendiri dengan sebuah novel manis ditangan. Aku ingat betul. Sangat-sangat ingat ketika kau merangkulku di suatu perjalanan yang indah. Kita saling berpamer kemesraan. Kita tak pernah lepas, bahkan kita sempat berjanji. Tapi kemana kamu sekarang? kemana janjimu? Alasan yang tak logis beribu-ribu ku terima. Aku masih sabar. Sabar dalam keheningan. Sabar dalam kegelisahan. Sabar dalam kebimbangan. Bahkan aku masih sabar dalam kemunafikkan. Aku terima. Iya, aku terima. Aku anggap ini usaha mempertahankanmu.

          Semakin lama termangu, aku semakin sadar. Aku mengerti keadaan. Aku menunggu semua ini berakhir dengan indah. Tuhan tak pernah tidur, tak diam, dan Dia menghitung semua air mataku yang ku jatuhkan karna kamu. Air mata yang akan diganti dengan kebahagiaan oleh Tuhan. Aku percaya keajaiban. Aku percaya kamu mendengar dari kejauhan.

          Semakin diam, aku semakin tersiksa. Seakan aku tak dapat bernafas dalam keheningan sore ini. Aku seakan mati suri dalam kenyataan. Aku sekan berjalan sendiri tanpa tujuan. Aku seakan.... Ah sudahlah, semuanya tak berarti. Semua hancur. Aku sabar. Aku sabar, Tuhan. Aku memejamkan mata, dan mulai memainkan imajinasiku, kamu sedang datang. Iya datang untuk menemuiku. Berjalan dengan mengukir senyum indah disudut bibirmu. Berjalan dengan tergesa-gesa seakan rindu yang telah mendorongmu. Berjalan dengan membuka kedua tanganmu yang seakan-akan siap memelukku dalam naungan kerinduan. Aku semakin tenggelam. Tenggelam dan tenggelam dalam bayang semu dirimu. Dalam manisnya pertemuan singkat yang semakin membuat luka menganga di hatiku. Luka karena rindu. Iya, karena rindu. Aku merindukanmu dan hanya dapat ku abadikan dalam imajinasiku.

          Semua kini berlalu, perlahan lahan mataku terbuka. Aku tersadar aku masih disini. Ditempat biasa kita bertemu. Tempat yang menayangkan indah sorot matamu. Tempat yang membuatku selalu merindukan wangi tubuhmu. Kini kawan setia ku mulai lelah, udara kini bertambah ganas. Pohon mulai berhenti menari bersama angin. Mungkin mereka lelah. Mereka lelah menungguku yang asyik berimajinasi dalam rindu. Atau mereka memang berhenti. Agar aku berhenti mengimajinasikanmu. Karna mungkin mereka tau, aku terlalu rapuh. Rapuh untuk menyadari bahwa kerinduanku hanya ku abadikan dalam naungan imajinasiku :')

Hujan Terakhir

           Ini tempat favoritku. Disudut ruang, berdampingan dengan rak buku dan lampunya remang-remang romantis. Di dindingnya ada beberapa foto yang memang ku pasang sengaja untuk memberi warna pada dindingku. Ada foto bersama sahabat-sahabat, orang tua, keluarga, dan bersama dia. Seseorang dengan mata indah dan bulu mata lentik yang tak pernah bosan ku pandang. Dalam foto itu, dia berbalut kemeja hitam, celana tiga per empat hitam, dan sepatu hitam pula. Aku menyukainya. Gaya itu adalah gaya andalannya. Ada sekitar 5 foto kenanganku bersamanya dalam balutan hujan yang manis.

          Di tempat favoritku ini memang punya kekhasan sendiri. Tempat dimana pertama kali aku melihatnya dari jendela mungil di sampingku. Dia yang berdiri diantara ribuan tetes hujan bersama setangkai mawar merah di genggamannya. Dia manis sekali. Aku mengukir senyum spesial ketika ia mendongak keatas dan mencari sedikit celah dari jendelaku untuk sekedar memberiku senyuman kecil. Aku membalasnya ketika ia tersenyum manis. Seakan-akan waktu terhenti dan semua pohon-pohon, burung, angin, langit, bahkan semut memperhatikan kami. Aku memang terlalu berkhayal. Iya, aku terlalu berkhayal. Namun aku menyukainya. Berkhayal itu menyenangkan. Berkhayal itu bebas. Bahkan terkadang ada yang benar-benar nyata. Benar-benar terjadi. Namun banyak juga yang hanya khayalan. Hanya khayalan, sama seperti yang sedang aku rasakan.

          Novel ini. Iya, novel ini yang selalu aku baca setiap hari. Meski telah berulang-ulang ku baca. Namun tetap saja menjadi yang terspesial. Novel ini novel yang ia berikan saat hujan deras datang. Meski sedikit rusak dan terlipat-lipat karena air hujan waktu itu, aku tetap menyukainya. Ceritanya dramatis. Sama seperti aku dan dia. Dramatis. Aku melirik ke dinding. Iya benar, tujuanku melihat foto kenangan itu. Entah mengapa, aku kini merasa seperti diterpa rindu ketika melihat foto kenangan itu. Rindu yang teramat sangat. Rindu yang tak bisa ku kendalikan. Ahh... aku terlalu  hampa untuk merasakan ini semua. Aku hampa untuk merasakan kerinduan. Aku hampa untuk merasakan ketenangan. Bahkan aku terlalu hampa untuk merasakan cinta yang lain. Aku, aku, aku terlalu merindukannya saat ini. Karena foto mesra kita yang tak mungkin dapat terulang. Aku menyadari. Menyadari bahwa aku berkhayal lagi. Stop! Cukup! ini terlalu menyiksa. Kan ku alihkan pandanganku dari foto kenangan kita sebulan yang lalu itu.

          "tik...tik...tik..." hujan datang lagi. Senandungnya memang selalu ku tunggu. Aku mnyukai hujan. Hujan itu selalu membawanya kepelukanku. Dia selalu hadir bersama hujan. Seperti sepasang kekasih yang tak pernah terpisahkan. Senandung hujan semakin jelas terdengar. Hujan semakin deras dan aku semakin senang. Ku berharap dia ada diluar sana dan sedang mengamati jendelaku. Menunggu aku memperhatikan dia dan menebar senyuman indah. Aku beranjak. Mulai memperhatikan suasana luar dari jendela mungilku. Dia, dia datang. Itu dia! Berbalut baju serba putih. Dia bercahaya. Dia berkilau bagai emas diantara air keruh. Aku bergeming dalam kebahagiaan. Aku tersenyum lebar sambil meraih novel kesayanganku dari ranjang. Aku kembali menatap luar jendela. Namun, Kosong. Kosong. Benar-benar kosong. Mimik mukaku seketika berubah. Dia kemana? Dia kan tadi dia disana, dia... dia kan tadi ber...cahaya, ber...ki...lau. Tapi dimana kemilauan itu? Dimana dia yang bercahaya. Ah sudahlah aku hanya berhalusinasi saja ternyata. Aku salah. Iya, aku salah.

          Senandung hujan kesayanganku kini bertambah geram. Kini ada angin yang sedang mengamuk hebat diluar sana. Aku berharap dia ada diluar sana kembali bersama angin yang datang. Aku sungguh berharap. Sungguh-sungguh ingin melihatnya saat ini. Kini hujan mungil keluar dari mata kecilku. Menetes sedikit demi sedikit. Hingga sekarang nafasku tersenggal-senggal menahannya. Aku terisak. Benar-benar terisak hebat. Aku kembali melirik luar jendela. Tapi cahaya itu, kemilau itu, dan dia tak ku temukan. Hanya rumput-rumput yang bergoyang diterpa hembusan angin. Semuanya basah. Basah. Seperti pipiku yang kini juga basah. Tolonglah, aku ingin melihat dia. Sebentar saja. Dia sangat manis dengan balutan pakaian serba putih itu. Aku ingin melihatnya lagi. Tolonglah. Rengekkanku sepertinya percumah. Tak ada yang berarti. Deru tangisanku juga biasa saja. tak dapat mengubah keadaan.

           Senandung hujan itu belum berhenti juga. Masih setia. Bahkan bertambah deras. Ayolah, aku masih berharap dia akan hadir. Aku berharap dia disini mengobati rasa rinduku. Aku, aku, aku merindukannya. Astaga, ternyata aku kembali berkhayal. Aku ingat. sekarang aku ingat. Dia ternyata sudah meninggalkanku seminggu yang lalu. Dia tertidur pulas dalam dekapan lembut Tuhan. Iya, aku ingat betul kejadian itu. Dia terjatuh dengan lemah dalam siraman hujan. Dia sangat lemah. Merah. Merah membalut tubuhnya. Aku memang sedikit miris melihatnya seperti itu. Aku ingin memeluknya, namun aku dicegah. Iya aku ingat. Dia tertidur pulas bersama hujan. Astaga, aku kini menjadi lupa akan kenyataan. Lalu, Lalu siapa tadi yang bercahaya itu? Yang berkilau? Yang berbalut dengan pakaian serba putih itu? siapa? Kini, aku masih terisak dalam deru tangisku.

           Sekarang aku menjadi benci. Aku benci hujan datang. Hujan memang membawa dia dalam pelukan sederhanaku. Tapi, hujan juga menidurkan dia dalam dekapan Tuhan. Aku benci hujan. Aku benci. Tolonglah hentikan senandungmu. Aku tak ingin melihatmu dari jendela mungil ini. Aku ingin kembali pada kenyataan. Aku ingin berhenti berkhayal. Tolonglah...