Gitar yang sedari tadi aku mainkan seakan mengerti apa yang aku rasakan. Petikan-petikan yang mengandung unsur bahagia di setiap nadanya seakan membuat siapapun yang mendengarnya akan merasakan suka cita. Lagu klasik yang berasal dari Jerman-lah yang sedari tadi aku mainkan berulang-ulang. Entah ada atmosfer apa, rasanya lagu klasik ini selalu membawaku memasuki dunianya. Meskipun hanya dalam dunia maya yang tak nyata dan tak bisa aku lihat sepenuhnya. Meski begitu, rasa bahagia seakan merambat ke seluruh tubuh. Membuat tubuhku merasakan hawa sukacita yang luar biasa.
Tanganku
masih sibuk memetik senar gitar dan mengalunkan nada-nada bahagia yang lainnya.
Mataku aku pejamkan. Lembut nada yang ku petik menjalar keseluruh pikiran.
Indah dan nyenyak sekali. Aku benar-benar berada dalam sukacita yang selama ini
aku impikan. Beberapa detik aku sempat terlelap dalam buaian nada indah yang
aku mainkan sendiri. Aku membuka mataku. Masih dengan memetik nada indah yang
kali ini temponya lebih lambat. Suasana di Kedai Kopi sore ini membuatku
semakin menikmati keadaan yang tercipta secara tak sengaja. Hujan gerimis
diluar sana juga membuatku semakin cinta dengan apa yang aku rasakan saat ini.
Tiba-tiba
seorang pelayan datang menghampiriku. Ia membawa sebuah buku menu ditangan
kanannya. Sambil mengurai senyum ramah, ia bertanya, "Permisi kak.
Silahkan." tangan kanannya mengulurkan buku menu itu. Aku menghentikan
petikan gitarku kemudian menatap pelayan wanita itu. Tanganku meraih buku menu
yang warnanya kecoklatan seperti layaknya warna kopi. Bagian sampulnya
bertuliskan "Kedai Kopi Sore". Aku juga tidak tahu apa maksud dari
nama kedai kopi ini. Tapi yang jelas, ini adalah kedai kopi andalanku. Aku
membuka lembar demi lembar dari buku menu itu.
"Pesan hot cappuchino aja mbak." cetusku setelah memustukan pilihan.
"Baiklah. Tunggu sebentar
kak." pelayan itu kemudian berlalu sambil meninggalkan senyum hangat. Aku
kembali memainkan gitarku. Suasana kedai kopi yang remang-remang romantis
membuatku semakin lancar memainkan gitar. Aku melihat ke sekeliling, meski
bukan untuk pertama kalinya aku datang kesini, aku masih kagum melihat
arsitektur dindingnya yang khas. Ada banyak foto tua terpampang di dinding.
Semuanya bernuansa kayu. Dindingnya semi permanen. Indah sekali.
"Permisi kak. Hot Cappuchino." tiba-tiba seorang
pelayan datang memberikan pesananku.
"Terimakasih ya mbak."
Kataku sambil tersenyum.
Pelayan itu tidak langsung pergi,
melainkan memperhatikanku yang masih sibuk mengotak-atik senar gitar.
"Wah asyik sekali kak bisa
bermain gitar seperti itu." cetus pelayan kedai yang masih berdiri itu.
"Iya mbak. Musik adalah bagian
dari saya." jawabku sekenanya. Aku merasa agak salting dipuji seperti itu.
"Musik bisa mengundang cinta,
kak. Karena atmosfer musik bisa langsung masuk kehati." pelayan itu
kembali berurai kata.
"Ah iya mbak. Saya juga
tahu." kataku sambil memberikan senyum ramah. Aku tidak paham sebenarnya
pelayan itu berkata apa. Tapi entahlah aku memang sedang menunggu seseorang
disini. Seseorang yang berhasil membuatku jatuh cinta diam-diam padanya.
"KRINGG!!"
tiba-tiba lonceng kedai berbunyi. Pertanda ada seorang pelanggan baru yang
ingin menyeduh kopi di kedai ini. Mataku dengan sigap melirik siapa yang
datang. Ternyata dia. Pria yang sebenarnya aku tunggu sedari tadi disini dan
akhirnya datang. Pertemuan perdana kami adalah tiga minggu yang lalu tepat di
kedai ini. Meski di setiap pertemuan kami, dia tak pernah melirik ke arahku,
tapi entah mengapa kekuatan magnetnya begitu kuat menarikku untuk memperhatikannya
setiap detik. Dia adalah orang baru yang berhasil mengubah suasana hidupku. Dia,
pria yang secara misterius mencuri hatiku perlahan-lahan. Entah siapa namanya,
yang jelas aku menemukannya disini. Di kedai kopi andalan kami berdua. Masih
dengan memetik nada yang indah, mataku mengawasinya dari kejauhan. Dia duduk di
sudut. Ada majalah dan buku yang sengaja dia bawa kemudian dibaca. Dia tampak
seperti seorang malaikat yang sukarela menolongku agar aku tak berjalan dalam
kekecewaan lebih jauh lagi. Dia yang berhasil memberikan goresan warna baru di
kanvas kehidupanku. Indah sekali memang. Matanya yang selalu tajam meskipun tak
menatapku. Tubuhnya yang selalu gagah meskipun tak sedang berhadapan denganku.
Senyumnya yang bisa membius keadaan menjadi penuh dengan bahagia. Sebuah senyum
tipis dari pria hitam manis muncul secara sederhana.
Dengan
jari yang masih sibuk memetik lagu klasik, aku memandanginya. Aku sudah cukup
bahagia melihatnya sore ini. Sungguh, Sabtu sore yang indah. Sama seperti Sabtu
sore lalu, dan lalunya lagi, dan lalunya lagi. Sama-sama indah. Sama-sama
membuatku bahagia karena kehadirannya yang membuat suasana hatiku berubah.
Mataku masih sibuk mengawasinya. Kali ini, segelas hot cappuchino baru saja diseduhnya. Manis sekali. Wajahnya menebar
senyum lagi. Meski bukan untukku tapi aku membalasnya. Meski dia tak tahu dan
tak melihatnya. Lagu klasik dengan tempo lambat masih aku mainkan. Berharap ia
akan menengok sedikit dan melihatku bahwa sebenarnya aku bermain untuknya.
"Palingkan wajahmu. Lihatlah
aku!" ucapku agak gemetar. Aku berusaha memberinya kode agar ia
memalingkan wajahnya namun sepertinya tak berhasil. "Pria hitam manis yang
telah membuatku jatuh cinta diam-diam adalah kamu. Yang selalu aku tunggu
kehadirannya setiap sabtu sore. Yang selalu aku lihat dari kejauhan. Aku disini
untuk menemuimu. Palingkanlah wajahmu. Lihatlah aku." Kali ini aku hampir
seperti berdehem. Suaraku kecil sekali namun tatapanku tak berhenti. Aku harap
ia mengerti. Namun sayangnya tidak.
Aku
menyeduh hot cappuchino-ku yang
kesekian kalinya. Gitar akustikku masih aku pangku dan enggan aku letakkan. Aku
masih memandang ke arahmu. Sungguh, aku sama sekali tidak bisa berpaling jika
sudah seperti ini. Tanganku kembali menjamah segelas hot cappuchino itu. Aku teguk beberapa kali hingga habis. Mataku
bergerilya mencari pelayan untuk memesan segelas lagi.
"Mbak!" seruku memanggil
pelayan yang ada di ujung.
Pelayan itu berjalan ke arahku sambil
membawa buku menu yang berwarna coklat itu.
"Ada yang bisa saya bantu kak?"
tanya pelayan wanita itu yang ternyata orang yang sama yang tadi melayaniku.
"Saya tambah satu gelas lagi ya
mbak."
"Oh iya kak. Tunggu sebentar ya
kak." Pelayan itu kemudian berlalu.
Tak lama kemudian, pelayan itu datang
sambil membawakan pesananku. Ternyata ia menyadari bahwa aku sedang
memperhatikan pria hitam manis yang duduk disudut.
"Permisi kak. Ini pesanannya
kak." kata pelayan itu sambil meletakkan secangkir hot cappuchino-ku yang
kedua.
"Terimakasih mbak." kataku
sambil tetap memperhatikan pria itu tanpa menatap pelayan kedai.
"Kak, sedang memperhatikan
siapa?" tanya pelayan itu bingung.
"Ah tidak." jawabku
sekenanya. Aku baru tersadar ternyata aku tertangkap basah memperhatikan
seorang pria.
"Pria yang ada di sudut itu
selalu datang setiap sabtu sore, kak. Dia selalu datang sendiri. Tidak pernah
membawa teman atau pacar. Tempat duduknya juga tidak pernah berubah. Selalu
saja disitu. Dia memesan minuman yang sama seperti kamu kak, hot cappuchino. Dia adalah pelanggan
tetap kami. Namanya Agus. Seorang mahasiswa sastra. Makanya penampilannya agak
beda dengan yang lainnya bukan?" kata pelayan itu panjang lebar.
"Lalu apalagi yang kamu tahu
tentang dia?"
"Dia selalu membawa majalah,
koran, terkadang juga buku sastra yang tebalnya hampir setebal kitab. Dia tidak
banyak bicara. Untuk memesan saja, ia menulis di sebuah kertas. Namun setelah
kami hafal apa pesanannya, tanpa ia pesan kami sudah tahu dan cepat
mengantarkannya. Ya begitulah kak. Memang misterius. Ada apa kak kok menanyakan
Agus?" tanya pelayan itu yang mulai curiga.
"Ah tidak mbak. Tidak
apa-apa." Aku berusaha menutupi kecurigaan pelayan itu.
"Baiklah. Ada yang lain,
kak?"
"Tidak terimakasih mbak."
Pelayan itu pergi sambil meninggalkan
senyum ramah untuk kesekian kalinya.
Lagu klasik
yang sudah aku mainkan berulang kali itu akhirnya aku akhiri. Aku tutup dengan
petikan apoyando yang sedikit menggantung. Sementara itu, dengan wajah kecewa
aku melihatnya beranjak dari kursi yang ada disudut. Senja yang sudah berganti
petang memaksanya untuk mengakhiri waktunya di hadapanku. Aku melihat
langkahnya yang berjalan menuju pintu utama dan akhirnya keluar. Ada sekelebat
rasa kecewa yang selalu muncul ketika aku tak berhasil menarik perhatiannya
saat pertemuan kami. Baiklah, kini aku mulai mengemasi gitarku. Aku masukkan ke
dalam tempatnya seperti semula. Kemudian ikut keluar kedai.
Aku
berjalan pelan sambil menenteng tas gitarku yang ukurannya cukup besar. Letak
kedai kopi dengan rumahku tak terlalu jauh. Jadi aku tidak membutuhkan kendaraan
untuk pulang. Sambil berjalan pulang, otakku masih memikirkan pria itu, Agus.
Aku tidak tahu sejak pertemuan kami setiap sabtu sore. Selalu ada rasa yang
memuncak. Rasa yang tidak aku pahami. Rasa yang muncul begitu saja. Rasa yang
muncul tanpa paksaan. Dan mengembang dengan baik di hatiku.
Seminggu berlalu begitu saja. Dan Sabtu sore
yang kelima datang. Aku sangat menanti-nanti hari ini. Karena hanya hari inilah
aku bisa bertemu dengan Agus di kedai kopi andalan kami. Seperti biasa aku
selalu membawa gitar kesayanganku ke kedai kopi. Untuk sekedar memainkannya
atau untuk menarik perhatian Agus adalah salah satu visi utamaku. Berharap,
bahwa Agus akan menengok dan memperhatikan permainan gitarku. Seharusnya, jika
peka dan sadar, Agus akan tahu bahwa aku memainkan gitar untuknya. Dengan
petikan apoyando yang landai dan menyejukkan. Aku selalu memainkannya dengan
tempo yang pelan namun tetap mendayu.
Seperti
biasanya, aku selalu duduk di dekat jendela. Kursiku tepat mengarah di meja
sudut tempat biasa Agus duduk untuk menyeduh segelas hot cappuchino. Aku selalu meyukai tempatku ini karena disini aku
bisa melihat Agus dengan jelas. Meskipun rasanya akan mustahil bila aku bisa
mendekat. Aku tentu saja sadar diri bahwa aku hanya penggemarnya. Dan Agus adalah
pria yang sama sekali tak pernah berfikir tentangku. Karena aku hanya jatuh
cinta diam-diam.
"Permisi kak, silahkan mau pesan
apa?" tanya seorang pelayan wanita yang kali ini berbeda dengan pelayan
yang melayaniku seminggu yang lalu.
"Tidak usah mbak." aku
menolak buku menu yang diberikan pelayan itu. "Segelas hot cappuchino saja." sambungku.
"Baik kak. Tunggu
sebentar." katanya kemudian berlalu.
Mataku kembali mencarinya. Tempat
duduknya masih kosong. Lagipula ini masih siang beranjak sore. Sepertinya aku
terlalu cepat datang. Masih beberapa jam lagi Agus datang.
Tanganku
kembali memetik senar yang paling bawah. Kali ini aku memainkan lagu Romance De Amor. Ini adalah lagu
kesukaanku. Lagu yang menggambarkan tentang rasa cinta itu seakan pas dengan
apa yang aku rasakan. Meski lagu lama, entah kenapa lagu itu selalu membawa
atmosfer yang berbeda ketika secara bersamaan Agus muncul di depan mataku.
Tanganku masih lincah memainkan lagu itu dengan petikan al’aire. Sementara itu, mataku tetap mengawasi pintu kedai yang
akan membawa Agus ke hadapanku. Tidak ikut kalah, telingaku juga terpasang
sebagai pendengar yang baik untuk mendengar bunyi bel kedai kalau-kalau nanti
Agus datang.
"Permisi kak, ini
pesanannya." pelayan yang tadi menghampiriku sambil meletakkan hot cappuchino yang aku pesan tadi.
"Terimakasih mbak." jawabku
sambil menebar senyum.
"Ada yang bisa dibantu lagi
kak?"
Aku menggeleng tanda tidak ada.
Kemudian pelayan itu pergi.
Aku masih dengan asyik berkutat
dengan gitarku. Terkadang beberapa orang sempat menengok ke arahku ketika tempo
yang aku mainkan cukup cepat. Ada juga yang memberi tepuk tangan sambil
tersenyum ke arahku. Hal itu membuatku agak malu. Aku bermain gitar untuk Agus,
bukan untuk orang lain. Namun Agus tak melakukan semua itu. Ia hanya diam dan
tak merespon apapun. Aku meneguk hot cappuchinoku beberapa kali.
Beberapa
menit berlalu dengan manis. Ditemani dengan Romance
De Amor yang masih enggan berhenti. Aku masih setia. Mataku menatap lurus
meski sebenarnya belum ada tanda-tanda Agus akan datang. Aku tetap menunggu
meski harus terbelenggu dengan rasa kecewa, cemas, dan kangen yang tumpah jadi
satu. Aku masih berusaha untuk menyuara. Berusaha memainkan gitarku dengan
lebih apik lagi meskipun Agus belum tampak dari balik pintu kaca diseberang
sana. Namun, aku tetap meyakinkan diriku. Sabtu sore kelima ini dia pasti akan
datang. Seperti biasa akan duduk di sana, di depanku.
"Permisi kak," sapa seorang
pelayan wanita yang tak lain adalah pelayan yang bercerita tentang Agus padaku
seminggu yang lalu. Aku hanya tersenyum membalas sapaannya.
"Menunggu Agus?" pelayan
itu bertanya sambil mengernyitkan dahinya. Seakan-akan tebakannya benar.
"Tidak. Hanya biasalah em,
menyeduh cappuchino." jawabku
sekenanya.
"Agus selalu datang jam empat
sore. Ia ontime. Tak pernah lebih,
dan tak pernah kurang." jelas si pelayan.
"Emm be-begitu ya." kataku
agak terbata-bata.
"Iya kak. Agus selalu seperti
itu. Datang tak pernah ada salam. Pergi juga demikian."
"Apa dia bisu?" tanyaku
semakin penasaran.
"Tidak. Aku pernah berbincang
dengannya. Ia mengajariku bagaimana menjadi penulis yang baik ketika aku
diminta membuat sajak oleh bosku. Ia membantuku ketika melihat aku kebingungan
merangkai kata. Ia menawarkan bantuan kemudian menuliskan beberapa kata yang
indah di note ku. Kami sempat berkenalan. Makadari itu aku tahu namanya. Namun
setelah itu, kami sudah jarang berbicara lagi. Hanya tersenyum bila
berpapasan." pelayan itu menerawang kejadian yang pernah dialaminya dan
berbagi padaku.
"Kamu memiliki hubungan khusus
dengannya?" kali ini adalah pertanyaan final yang aku tanyakan pada si
pelayan. Jika iya, maka aku harus mundur. Semoga saja ia menjawab tidak.
"Tentu saja tidak, kak. Aku
tidak menyukai pria pendiam seperti dia."
Mendengar jawaban itu, aku langsung
sangat lega. Kami berdua kemudian terdiam. Tak berapa lama, pelayan itu pergi.
Ia akan mengurusi pelanggan lain yang membutuhkan bantuannya. Aku terdiam.
Gitar yang aku bawa tak aku mainkan lagi. Ini sudah pukul empat sore dan Agus
belum juga tampak.
"KRIING….”
Bel kedai berbunyi tiba-tiba. Aku melihat sosok pria hitam manis yang selama
ini aku tunggu. Agus. Agus datang! Seperti biasa ada majalah dan buku yang
sengaja ia bawa. Rasa kecewa, cemas, dan kangen yang tadi sempat memuncak, kini
tiba-tiba meleleh seketika. Entah apa yang membuat rasa itu hancur lebur. Aku
tak paham. Yang aku tahu adalah senyumnya selalu menjadi magnet bagiku. Selalu
menjadi semangat yang menggelora sehingga aku mulai memainkan petikan baru yang
akan aku pamerkan padanya. Agus berjalan pelan menuju tempat duduknya. Ia duduk
di tempat yang tak pernah berubah sejak pertama aku melihatnya. Tempat yang
sudah aku prediksi sejak awal bahwa aku akan melihatnya dengan jelas dan nyata
disana. Meskipun aku tidak akan bisa menyentuh atau bahkan mengambil
perhatiannya, semua itu tak akan jadi masalah. Yang jelas, aku sudah bahagia
memainkan gitar ini untuknya.
Aku
menatapnya. Semua yang ada pada dirinya. Baru kali ini aku menatapnya dengan
detail. Rambutnya gondrong keriting yang terurai bebas. Alisnya tebal hampir
menyatu. Hidungnya mancung. Kumis tipis yang menghiasi wajahnya membuat dia
terlihat sangat sempurna. Sesekali tangannya mengusap rambut yang mengganggu
penglihatannya. Manis sekali. Disekelilingnya ada buku besar dan majalah juga
secangkir hot cappuchino. Pria sastra
memang identik dengan kemisteriusannya. Tak ada sepatah katapun keluar dari
bibirnya. Ia benar-benar menguncinya rapat dan matanya terfokus pada satu hal,
sajak. Tangannya yang terlihat kuat itu sesekali menghentikan pena yang
digenggamnya. Sambil menatap langit-langit, ia mangut-mangut seakan mendapatkan
hembusan kata-kata indah dari surga. Dia benar- benar terlihat mempesona. Hati
wanita mana yang tak takjub melihat pria seperti itu? Pria yang tampil apa adanya.
Sesederhana itulah aku jatuh cinta diam-diam kepadanya.
Sambil
memainkan petikan baru, mataku terus melirik ke arahnya. Hot Cappuchino yang sudah dipesan didiamkan begitu saja. Belum sempat
ia jamah. Matanya masih tertuju pada buku tebal yang tadi ia bawa untuk
menemaninya di kedai. Aku tetap memperhatikannya. Mata itu, kumis tipis yang
melekat entah kenapa selalu bisa membius tiap nafas yang aku hirup. Senyum
sederhana yang merekah meskipun tidak untukku, tetap saja selalu membuatku
menghiraukannya. Selalu. Tidak akan pernah tidak.
"Agus, berpalinglah ke arahku.
Aku lah wanita yang jatuh cinta diam-diam padamu. Yang menunggumu ketika sabtu
sore tiba. Yang selalu membiaskan rindunya dengan memperhatikanmu." Ucapku
lirih.
Entah
sudah berapa lama aku memainkan petikan al’aire
dengan lagu baru Cavatina ini
mengalun lembut. Tapi rasanya Agus memang enggan melirik. Aku bermain untuknya.
Aku ingin melihat senyum sederhana itu merekah. Aku ingin dia tahu bahwa akulah
yang tak pernah bosan ke kedai kopi setiap Sabtu sore hanya untuk mengobati
rindu. Tiba-tiba Agus berdiri dari tempat duduknya. Matanya melihat ke
sekeliling kemudian langkah pelan menuju mejaku. Mataku sempat terbelalak.
Entahlah apa yang akan terjadi setelah ini. Yang jelas, langkah sepatunya yang
berat telah mengantarkannya ke mejaku.
"Permainan gitarmu bagus."
Ucapnya datar.
Aku terdiam. Aku sempat berfikir
apakah pria sastra selalu berbicara dengan nada datar atau tidak.
"Aku ingin mendengarnya
lagi." Agus berkata sambil menarik kursi di depanku.
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku
kaget bukan kepalang. jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya. Mulutku
seperti terkunci secara otomatis. Mataku tertancap menikam matanya. Badanku
dingin. Tanganku basah. Bahkan tidak bisa digerakkan leluasa. Aku tidak
mengerti apa yang terjadi padaku kali ini.
"Hey!" Agus menggerakkan
tangannya di depan wajahku.
"Ah iya, ada apa?" tanyaku
kebingungan.
"Permainan gitarmu bagus. Aku
ingin mendengarnya lagi." katanya sambil sedikit tersenyum.
"Ah terimaksih." jawabku
sekenanya.
"Kenalkan, namaku Agus.
Sebenarnya aku sudah sering mendengarkan permainan gitarmu setiap Sabtu sore di
kedai ini. Selama ini, aku sangat menyukai permainanmu." kali ini nada
bicara Agus tak datar.
"Em, aku Violina. Panggil saja
Vio. Ah, terimakasih banyak. Aku juga masih dalam proses belajar kok."
"Kamu kuliah atau?"
pertanyaan Agus mulai mengarah ke sebuah fase pengenalan.
"Iya. Aku kuliah di musik. Kamu
anak sas…tra?" aku mengernyitkan dahi.
"Benar. Bagaimana kamu bisa
tahu?"
"Oh, hanya menebak."
Kami berbincang-bincang cukup lama.
Hal ini membuatku sangat bahagia. Bisa mengizinkan hatiku untuk bertemu dengan
hatinya. Menatap wajahnya lekat-lekat. Memperhatikan tangan yang mengusap
rambutnya pelan itu sangat membuatku benar-benar jatuh.
"Jadi begini Vio, aku mau kamu
mengisi di acara launching buku
sajakku Sabtu sore minggu depan. Aku ingin kamu bermain gitar di acaraku.
Bagaimana?" Agus mulai berbicara serius kepadaku.
"Ha?" mataku melotot. Tanganku
mengepal dan wajahku berubah aneh seketika.
"Bagaimana? Ayolah kamu bisa
kan?"
Aku benar-benar tidak bisa menolak
kesempatan yang diberikan Tuhan. Aku langsung mengangguk cepat.
"Baiklah, deal?" Agus
mengulurkan tangganya.
"Deal!" kataku sambil
menjabat uluran tangan Agus.
Kami berdua duduk cukup lama.
Membahas banyak hal yang akan dilaksanakan Sabtu sore minggu depan. Kami membahas
segala macam topik. Mulai dari sajak hingga musik. Sesekali tangan Agus
mengusap rambutnya yang mengganggu. Wajahnya yang khas itu terlihat sangat
sempurna ketika ia berbicara panjang lebar. Hingga akhirnya waktu harus
memisahkan kami. Agus terburu-buru untuk pamit karena ia harus pergi ke
percetakan untuk mengecek bukunya. Sedangkan aku mulai mengemasi gitar kemudian
berjalan keluar bersama Agus. Sampai di persimpangan jalan, kami berpisah.
Aku
melihatnya hingga ia hilang diujung jalan. Percakapan kami beberapa menit yang
lalu masih hangat dalam otakku. Bayangan wajahnya, tutur katanya, semua yang ia
lakukan hati ini membuatku semakin cinta. Kini, aku rasa aku sudah benar-benar
jatuh cinta. Meski masih dalam diam. Meski hanya aku yang memperjuangkan. Tapi
aku bahagia. Masih ada waktu seminggu untuk lebih memperbaiki permainan
gitarku. Aku janji, aku akan tampil memukau demi pria hitam manis itu. Agar ia
melirikku dan tahu bahwa aku bermain untuknya.
Sabtu
sore keenam. Aku datang menuju kedai kopi seperti biasanya. Kali ini, pakaianku
rapi. Tak seperti yang sebelumnya. Aku memakai dress selutut berwarna pink
pasta dengan rambut terurai bebas. Ayah bilang aku sangat cantik. Aku sudah
tahu apa yang ayah bilang akan seperti itu, tapi aku lebih ingin Agus yang
mengatakannya nanti.
Aku
berjalan lurus menuju tempat dudukku. Sepertinya kedai kopi ini memang sudah
disewa sepenuhnya oleh Agus. Tak terlihat ada pelanggan sama sekali. Hanya lalu
lalang pelayan kedai dan beberapa tamu undangan Agus. Aku duduk dikursi sambil
mengeluarkan gitarku dari tempatnya. Aku menyetem gitar itu beberapa kali
hingga aku rasa suaranya sudah pas.
“Kak, butuh minum?” sapa seorang
pelayan yang tiba-tiba menawariku hot
cappuchino.
“Terimakasih ya mbak.” Kataku dengan
senyum yang tersungging di bibir.
“Mengisi acaranya Agus, kak? Sebagai
pemain musik?”
“Iya mbak. Kemarin saya dimintai
tolong untuk mengisi acara Agus. Berhubung saya kosong tidak ada jadwal, boleh
juga manggung disini.”
“Lima belas menit lagi acaranya
dimulai kak, semoga lancar ya!” pelayan yang hingga saat ini aku tak mengetahui
namanya itu tiba-tiba pergi tanpa menunggu jawaban dariku. Aku mengangkat
pundak tanda terserah.
Di
sela-sela lalu lalang para tamu, aku masih sempat menjajal lagu Romance De Amor dan Cavatina sebagai pemanasan awal. Aku memetik dengan lembut dari
senar yang paling bawah hingga aku terbuai dalam permainanku sendiri. Aku terus
bermain dan tak sadar ternyata acaranya sudah dimulai.
“Vio!” Agus datang dari kejauhan
sambil melambaikan tangan. “Bagaimana kamu sudah siap?” sambungnya.
Aku mengangguk pelan. Mataku melihat
Agus dengan takjub. Sabtu sore ini ia sangat rapi. Ia memakai jas hitam dengan
kemeja putih di dalamnya. Rambutnya tak ia sisir namun tetap rapi. Tubuhnya
harum sekali. Wajahnya bersinar seperti bulan. Alisnya yang hampir menyatu itu
rasanya semakin tebal saja. Ah, ia sungguh sangat sempurna malam ini.
“Vio, giliranmu sekarang! Good luck!” katanya sebelum aku beranjak
naik ke panggung.
Aku tersenyum kemudian melangkahkan
kaki ke atas panggung. Syukurlah, aku sudah tidak pernah demam panggung lagi.
Aku sudah sering mementaskan permainan gitarku ketika ada pentas seni di
kampus.
Aku
memainkan dua lagu, Romance De Amor yang
pertama. Aku selalu mendapatkan feeling yang
baik pada lagu ini. Lagu ini bisa membuatku mabuk. Aku bahkan heran mengapa aku
bisa memainkannya selembut ini. Sudah dua kali aku mengulangi lagu ini, seluruh
tamu undangan Agus memberiku tepuk tangan yang luar biasa. Tak terkecuali Agus.
Menuju lagu kedua, aku sudah sangat rileks. Lagu Cavatina ini juga merupakan lagu favoritku. Aku selalu teringat
akan Agus pada bagian yang menuju klimaks. Aku terbayang-bayang bagaimana
jarinya memasuki celah rambutnya yang berayun terkena hembusan angin. Bagaimana
ia yang terlalu fokus pada sajak-sajaknya itu. Bagaimana dia yang enggan
berbicara banyak pada orang lain. Aku mendapatkannya. Aku mendapatkan rasa pada
lagu ini karena Agus. Iya, karena pria itu. Pria yang ada dibawah panggung
sambil memandangku. Memberiku tepuk tangan ketika aku selesai mementaskan
permainan gitarku. Sungguh, pria sastra yang sudah berhasil membuatku
tergila-gila. Dua lagu telah selesai. Aku kemudian turun dari panggung. Melihat
senyum Agus yang menyapaku aku semakin yakin ia juga memiliki rasa yang sama
padaku. Aku yakin dia juga memperjuangkanku. Bukan sekedar aku yang
memperjuangkannya.
“Kamu hebat sekali!” sapa Agus yang
sudah berdiri tepat di depanku.
“Terimakasih.” Aku tidak bisa berkata
banyak. Rasanya sulit sekali ketika aku harus berhadapan dengan orang yang
selama ini aku cintai.
“Ini hot cappuchino-mu.” Agus memberiku segelas hot cappuchino yang sudah ia pesankan untukku. Aku meminumnya
beberapa teguk kemudian aku melirik ke Agus. Disamping Agus ada seorang wanita
cantik sekali. Ia juga memakai dress, sama sepertiku. Agus awalnya hanya
merangkulnya, namun kali ini rangkulan itu pindah di pinggang si wanita. Siapa
sebenarnya wanita itu? Mengapa ia sedekat itu dengan Agus. Bukankah selama ini
Agus memiliki hal yang sama sepertiku. Bukankah aku dan dia saling mencintai?
Aku berjalan menuju Agus, mencoba menata hati serapi mungkin. Mempersiapkan
mental luar biasa untuk mendekati Agus dan wanita itu.
“Hai Vio! Terimakasih banyak sudah
mau mengisi acara dalam launching buku
sajakku. Semoga lain kali kita bisa bertemu lagi.” Agus memelukku pelan.
Setidaknya masih aku rasakan kehangatan yang menjalar.
“Terimakasih ya Vio, permainan kamu
bagus sekali. Aku sangat suka dengan nadanya. Besok kalau aku dan Agus ada
acara lagi, kamu pasti aku undang.” Wanita itu berkata hal yang sama padaku.
Aku membalasnya dengan senyum tanpa sepatah katapun. Agus dan wanita itu
beranjak, mereka berjalan kearah panggung. Tangan mereka bergandengan erat
sekali. Itu membuatku semakin yakin bahwa dia bukan sekedar teman biasa untuk
Agus. Dan pondasi hatiku yang sedari tadi aku bangun, tiba-tiba roboh begitu
saja.
Jadi,
semua ini hanya angan-angan, memandangi wajahnya yang sungguh menggoda itu dari
balik layar. Ingin rasanya aku mendekat. Memperhatikan kata demi kata yang
berbaris rapi dalam sajaknya. Memberikan masukan kata-kata indah agar ia tak
kesulitan ketika menggoreskan pena. Aku ingin berada di dekatnya agar bisa
mengusap pelan rambut keritingnya ketika rambut itu mulai mengganggu
penglihatannya. Ingin menaikkan jaketnya ketika angin yang mulai berhembus
ganas. Betapa bahagianya aku bila semua itu bisa terjadi. Namun sayangnya
tidak. Aku hanya jatuh cinta diam-diam. Tak pernah ada paksaan untuk
mengungkapkan. Bahkan hingga Agus telah memiliki yang lain, ia belum sempat
mengerti bahwa aku mencintainya.Akan tetap kuingat ketika ia enggan berbicara
hingga tersenyum meskipun terpaksa. Semua hal yang semu bisa menjadi nyata.
Semua yang buram bisa menjadi jelas. Semua yang biasa saja bisa menjadi luar
biasa. Kekuatan pria sastra memang menakjubkan. Sederhana. Dan seterusnya. Maafkan
aku Agus, aku belum sempat memberitahumu bahwa aku jatuh cinta diam-diam
kepadamu.