Senin, 04 Agustus 2014

Kedai Kopi Sore





           Gitar yang sedari tadi aku mainkan seakan mengerti apa yang aku rasakan. Petikan-petikan yang mengandung unsur bahagia di setiap nadanya seakan membuat siapapun yang mendengarnya akan merasakan suka cita. Lagu klasik yang berasal dari Jerman-lah yang sedari tadi aku mainkan berulang-ulang. Entah ada atmosfer apa, rasanya lagu klasik ini selalu membawaku memasuki dunianya. Meskipun hanya dalam dunia maya yang tak nyata dan tak bisa aku lihat sepenuhnya. Meski begitu, rasa bahagia seakan merambat ke seluruh tubuh. Membuat tubuhku merasakan hawa sukacita yang luar biasa.

            Tanganku masih sibuk memetik senar gitar dan mengalunkan nada-nada bahagia yang lainnya. Mataku aku pejamkan. Lembut nada yang ku petik menjalar keseluruh pikiran. Indah dan nyenyak sekali. Aku benar-benar berada dalam sukacita yang selama ini aku impikan. Beberapa detik aku sempat terlelap dalam buaian nada indah yang aku mainkan sendiri. Aku membuka mataku. Masih dengan memetik nada indah yang kali ini temponya lebih lambat. Suasana di Kedai Kopi sore ini membuatku semakin menikmati keadaan yang tercipta secara tak sengaja. Hujan gerimis diluar sana juga membuatku semakin cinta dengan apa yang aku rasakan saat ini.

            Tiba-tiba seorang pelayan datang menghampiriku. Ia membawa sebuah buku menu ditangan kanannya. Sambil mengurai senyum ramah, ia bertanya, "Permisi kak. Silahkan." tangan kanannya mengulurkan buku menu itu. Aku menghentikan petikan gitarku kemudian menatap pelayan wanita itu. Tanganku meraih buku menu yang warnanya kecoklatan seperti layaknya warna kopi. Bagian sampulnya bertuliskan "Kedai Kopi Sore". Aku juga tidak tahu apa maksud dari nama kedai kopi ini. Tapi yang jelas, ini adalah kedai kopi andalanku. Aku membuka lembar demi lembar dari buku menu itu.
"Pesan hot cappuchino aja mbak." cetusku setelah memustukan pilihan.
"Baiklah. Tunggu sebentar kak." pelayan itu kemudian berlalu sambil meninggalkan senyum hangat. Aku kembali memainkan gitarku. Suasana kedai kopi yang remang-remang romantis membuatku semakin lancar memainkan gitar. Aku melihat ke sekeliling, meski bukan untuk pertama kalinya aku datang kesini, aku masih kagum melihat arsitektur dindingnya yang khas. Ada banyak foto tua terpampang di dinding. Semuanya bernuansa kayu. Dindingnya semi permanen. Indah sekali.
"Permisi kak. Hot Cappuchino." tiba-tiba seorang pelayan datang memberikan pesananku.
"Terimakasih ya mbak." Kataku sambil tersenyum.
Pelayan itu tidak langsung pergi, melainkan memperhatikanku yang masih sibuk mengotak-atik senar gitar.
"Wah asyik sekali kak bisa bermain gitar seperti itu." cetus pelayan kedai yang masih berdiri itu.
"Iya mbak. Musik adalah bagian dari saya." jawabku sekenanya. Aku merasa agak salting dipuji seperti itu.
"Musik bisa mengundang cinta, kak. Karena atmosfer musik bisa langsung masuk kehati." pelayan itu kembali berurai kata.
"Ah iya mbak. Saya juga tahu." kataku sambil memberikan senyum ramah. Aku tidak paham sebenarnya pelayan itu berkata apa. Tapi entahlah aku memang sedang menunggu seseorang disini. Seseorang yang berhasil membuatku jatuh cinta diam-diam padanya.

            "KRINGG!!" tiba-tiba lonceng kedai berbunyi. Pertanda ada seorang pelanggan baru yang ingin menyeduh kopi di kedai ini. Mataku dengan sigap melirik siapa yang datang. Ternyata dia. Pria yang sebenarnya aku tunggu sedari tadi disini dan akhirnya datang. Pertemuan perdana kami adalah tiga minggu yang lalu tepat di kedai ini. Meski di setiap pertemuan kami, dia tak pernah melirik ke arahku, tapi entah mengapa kekuatan magnetnya begitu kuat menarikku untuk memperhatikannya setiap detik. Dia adalah orang baru yang berhasil mengubah suasana hidupku. Dia, pria yang secara misterius mencuri hatiku perlahan-lahan. Entah siapa namanya, yang jelas aku menemukannya disini. Di kedai kopi andalan kami berdua. Masih dengan memetik nada yang indah, mataku mengawasinya dari kejauhan. Dia duduk di sudut. Ada majalah dan buku yang sengaja dia bawa kemudian dibaca. Dia tampak seperti seorang malaikat yang sukarela menolongku agar aku tak berjalan dalam kekecewaan lebih jauh lagi. Dia yang berhasil memberikan goresan warna baru di kanvas kehidupanku. Indah sekali memang. Matanya yang selalu tajam meskipun tak menatapku. Tubuhnya yang selalu gagah meskipun tak sedang berhadapan denganku. Senyumnya yang bisa membius keadaan menjadi penuh dengan bahagia. Sebuah senyum tipis dari pria hitam manis muncul secara sederhana.

            Dengan jari yang masih sibuk memetik lagu klasik, aku memandanginya. Aku sudah cukup bahagia melihatnya sore ini. Sungguh, Sabtu sore yang indah. Sama seperti Sabtu sore lalu, dan lalunya lagi, dan lalunya lagi. Sama-sama indah. Sama-sama membuatku bahagia karena kehadirannya yang membuat suasana hatiku berubah. Mataku masih sibuk mengawasinya. Kali ini, segelas hot cappuchino baru saja diseduhnya. Manis sekali. Wajahnya menebar senyum lagi. Meski bukan untukku tapi aku membalasnya. Meski dia tak tahu dan tak melihatnya. Lagu klasik dengan tempo lambat masih aku mainkan. Berharap ia akan menengok sedikit dan melihatku bahwa sebenarnya aku bermain untuknya.
"Palingkan wajahmu. Lihatlah aku!" ucapku agak gemetar. Aku berusaha memberinya kode agar ia memalingkan wajahnya namun sepertinya tak berhasil. "Pria hitam manis yang telah membuatku jatuh cinta diam-diam adalah kamu. Yang selalu aku tunggu kehadirannya setiap sabtu sore. Yang selalu aku lihat dari kejauhan. Aku disini untuk menemuimu. Palingkanlah wajahmu. Lihatlah aku." Kali ini aku hampir seperti berdehem. Suaraku kecil sekali namun tatapanku tak berhenti. Aku harap ia mengerti. Namun sayangnya tidak.

            Aku menyeduh hot cappuchino-ku yang kesekian kalinya. Gitar akustikku masih aku pangku dan enggan aku letakkan. Aku masih memandang ke arahmu. Sungguh, aku sama sekali tidak bisa berpaling jika sudah seperti ini. Tanganku kembali menjamah segelas hot cappuchino itu. Aku teguk beberapa kali hingga habis. Mataku bergerilya mencari pelayan untuk memesan segelas lagi.
"Mbak!" seruku memanggil pelayan yang ada di ujung.
Pelayan itu berjalan ke arahku sambil membawa buku menu yang berwarna coklat itu.
"Ada yang bisa saya bantu kak?" tanya pelayan wanita itu yang ternyata orang yang sama yang tadi melayaniku.
"Saya tambah satu gelas lagi ya mbak."
"Oh iya kak. Tunggu sebentar ya kak." Pelayan itu kemudian berlalu.
Tak lama kemudian, pelayan itu datang sambil membawakan pesananku. Ternyata ia menyadari bahwa aku sedang memperhatikan pria hitam manis yang duduk disudut.
"Permisi kak. Ini pesanannya kak." kata pelayan itu sambil meletakkan secangkir hot cappuchino-ku yang kedua.
"Terimakasih mbak." kataku sambil tetap memperhatikan pria itu tanpa menatap pelayan kedai.
"Kak, sedang memperhatikan siapa?" tanya pelayan itu bingung.
"Ah tidak." jawabku sekenanya. Aku baru tersadar ternyata aku tertangkap basah memperhatikan seorang pria.
"Pria yang ada di sudut itu selalu datang setiap sabtu sore, kak. Dia selalu datang sendiri. Tidak pernah membawa teman atau pacar. Tempat duduknya juga tidak pernah berubah. Selalu saja disitu. Dia memesan minuman yang sama seperti kamu kak, hot cappuchino. Dia adalah pelanggan tetap kami. Namanya Agus. Seorang mahasiswa sastra. Makanya penampilannya agak beda dengan yang lainnya bukan?" kata pelayan itu panjang lebar.
"Lalu apalagi yang kamu tahu tentang dia?"
"Dia selalu membawa majalah, koran, terkadang juga buku sastra yang tebalnya hampir setebal kitab. Dia tidak banyak bicara. Untuk memesan saja, ia menulis di sebuah kertas. Namun setelah kami hafal apa pesanannya, tanpa ia pesan kami sudah tahu dan cepat mengantarkannya. Ya begitulah kak. Memang misterius. Ada apa kak kok menanyakan Agus?" tanya pelayan itu yang mulai curiga.
"Ah tidak mbak. Tidak apa-apa." Aku berusaha menutupi kecurigaan pelayan itu.
"Baiklah. Ada yang lain, kak?"
"Tidak terimakasih mbak."
Pelayan itu pergi sambil meninggalkan senyum ramah untuk kesekian kalinya.

Lagu klasik yang sudah aku mainkan berulang kali itu akhirnya aku akhiri. Aku tutup dengan petikan apoyando yang sedikit menggantung. Sementara itu, dengan wajah kecewa aku melihatnya beranjak dari kursi yang ada disudut. Senja yang sudah berganti petang memaksanya untuk mengakhiri waktunya di hadapanku. Aku melihat langkahnya yang berjalan menuju pintu utama dan akhirnya keluar. Ada sekelebat rasa kecewa yang selalu muncul ketika aku tak berhasil menarik perhatiannya saat pertemuan kami. Baiklah, kini aku mulai mengemasi gitarku. Aku masukkan ke dalam tempatnya seperti semula. Kemudian ikut keluar kedai.

            Aku berjalan pelan sambil menenteng tas gitarku yang ukurannya cukup besar. Letak kedai kopi dengan rumahku tak terlalu jauh. Jadi aku tidak membutuhkan kendaraan untuk pulang. Sambil berjalan pulang, otakku masih memikirkan pria itu, Agus. Aku tidak tahu sejak pertemuan kami setiap sabtu sore. Selalu ada rasa yang memuncak. Rasa yang tidak aku pahami. Rasa yang muncul begitu saja. Rasa yang muncul tanpa paksaan. Dan mengembang dengan baik di hatiku.

             Seminggu berlalu begitu saja. Dan Sabtu sore yang kelima datang. Aku sangat menanti-nanti hari ini. Karena hanya hari inilah aku bisa bertemu dengan Agus di kedai kopi andalan kami. Seperti biasa aku selalu membawa gitar kesayanganku ke kedai kopi. Untuk sekedar memainkannya atau untuk menarik perhatian Agus adalah salah satu visi utamaku. Berharap, bahwa Agus akan menengok dan memperhatikan permainan gitarku. Seharusnya, jika peka dan sadar, Agus akan tahu bahwa aku memainkan gitar untuknya. Dengan petikan apoyando yang landai dan menyejukkan. Aku selalu memainkannya dengan tempo yang pelan namun tetap mendayu.

            Seperti biasanya, aku selalu duduk di dekat jendela. Kursiku tepat mengarah di meja sudut tempat biasa Agus duduk untuk menyeduh segelas hot cappuchino. Aku selalu meyukai tempatku ini karena disini aku bisa melihat Agus dengan jelas. Meskipun rasanya akan mustahil bila aku bisa mendekat. Aku tentu saja sadar diri bahwa aku hanya penggemarnya. Dan Agus adalah pria yang sama sekali tak pernah berfikir tentangku. Karena aku hanya jatuh cinta diam-diam.
"Permisi kak, silahkan mau pesan apa?" tanya seorang pelayan wanita yang kali ini berbeda dengan pelayan yang melayaniku seminggu yang lalu.
"Tidak usah mbak." aku menolak buku menu yang diberikan pelayan itu. "Segelas hot cappuchino saja." sambungku.
"Baik kak. Tunggu sebentar." katanya kemudian berlalu.
Mataku kembali mencarinya. Tempat duduknya masih kosong. Lagipula ini masih siang beranjak sore. Sepertinya aku terlalu cepat datang. Masih beberapa jam lagi Agus datang.

            Tanganku kembali memetik senar yang paling bawah. Kali ini aku memainkan lagu Romance De Amor. Ini adalah lagu kesukaanku. Lagu yang menggambarkan tentang rasa cinta itu seakan pas dengan apa yang aku rasakan. Meski lagu lama, entah kenapa lagu itu selalu membawa atmosfer yang berbeda ketika secara bersamaan Agus muncul di depan mataku. Tanganku masih lincah memainkan lagu itu dengan petikan al’aire. Sementara itu, mataku tetap mengawasi pintu kedai yang akan membawa Agus ke hadapanku. Tidak ikut kalah, telingaku juga terpasang sebagai pendengar yang baik untuk mendengar bunyi bel kedai kalau-kalau nanti Agus datang.
"Permisi kak, ini pesanannya." pelayan yang tadi menghampiriku sambil meletakkan hot cappuchino yang aku pesan tadi.
"Terimakasih mbak." jawabku sambil menebar senyum.
"Ada yang bisa dibantu lagi kak?"
Aku menggeleng tanda tidak ada. Kemudian pelayan itu pergi.
Aku masih dengan asyik berkutat dengan gitarku. Terkadang beberapa orang sempat menengok ke arahku ketika tempo yang aku mainkan cukup cepat. Ada juga yang memberi tepuk tangan sambil tersenyum ke arahku. Hal itu membuatku agak malu. Aku bermain gitar untuk Agus, bukan untuk orang lain. Namun Agus tak melakukan semua itu. Ia hanya diam dan tak merespon apapun. Aku meneguk hot cappuchinoku beberapa kali.

            Beberapa menit berlalu dengan manis. Ditemani dengan Romance De Amor yang masih enggan berhenti. Aku masih setia. Mataku menatap lurus meski sebenarnya belum ada tanda-tanda Agus akan datang. Aku tetap menunggu meski harus terbelenggu dengan rasa kecewa, cemas, dan kangen yang tumpah jadi satu. Aku masih berusaha untuk menyuara. Berusaha memainkan gitarku dengan lebih apik lagi meskipun Agus belum tampak dari balik pintu kaca diseberang sana. Namun, aku tetap meyakinkan diriku. Sabtu sore kelima ini dia pasti akan datang. Seperti biasa akan duduk di sana, di depanku.
"Permisi kak," sapa seorang pelayan wanita yang tak lain adalah pelayan yang bercerita tentang Agus padaku seminggu yang lalu. Aku hanya tersenyum membalas sapaannya.
"Menunggu Agus?" pelayan itu bertanya sambil mengernyitkan dahinya. Seakan-akan tebakannya benar.
"Tidak. Hanya biasalah em, menyeduh cappuchino." jawabku sekenanya.
"Agus selalu datang jam empat sore. Ia ontime. Tak pernah lebih, dan tak pernah kurang." jelas si pelayan.
"Emm be-begitu ya." kataku agak terbata-bata.
"Iya kak. Agus selalu seperti itu. Datang tak pernah ada salam. Pergi juga demikian."
"Apa dia bisu?" tanyaku semakin penasaran.
"Tidak. Aku pernah berbincang dengannya. Ia mengajariku bagaimana menjadi penulis yang baik ketika aku diminta membuat sajak oleh bosku. Ia membantuku ketika melihat aku kebingungan merangkai kata. Ia menawarkan bantuan kemudian menuliskan beberapa kata yang indah di note ku. Kami sempat berkenalan. Makadari itu aku tahu namanya. Namun setelah itu, kami sudah jarang berbicara lagi. Hanya tersenyum bila berpapasan." pelayan itu menerawang kejadian yang pernah dialaminya dan berbagi padaku.
"Kamu memiliki hubungan khusus dengannya?" kali ini adalah pertanyaan final yang aku tanyakan pada si pelayan. Jika iya, maka aku harus mundur. Semoga saja ia menjawab tidak.
"Tentu saja tidak, kak. Aku tidak menyukai pria pendiam seperti dia."
Mendengar jawaban itu, aku langsung sangat lega. Kami berdua kemudian terdiam. Tak berapa lama, pelayan itu pergi. Ia akan mengurusi pelanggan lain yang membutuhkan bantuannya. Aku terdiam. Gitar yang aku bawa tak aku mainkan lagi. Ini sudah pukul empat sore dan Agus belum juga tampak.

            "KRIING….” Bel kedai berbunyi tiba-tiba. Aku melihat sosok pria hitam manis yang selama ini aku tunggu. Agus. Agus datang! Seperti biasa ada majalah dan buku yang sengaja ia bawa. Rasa kecewa, cemas, dan kangen yang tadi sempat memuncak, kini tiba-tiba meleleh seketika. Entah apa yang membuat rasa itu hancur lebur. Aku tak paham. Yang aku tahu adalah senyumnya selalu menjadi magnet bagiku. Selalu menjadi semangat yang menggelora sehingga aku mulai memainkan petikan baru yang akan aku pamerkan padanya. Agus berjalan pelan menuju tempat duduknya. Ia duduk di tempat yang tak pernah berubah sejak pertama aku melihatnya. Tempat yang sudah aku prediksi sejak awal bahwa aku akan melihatnya dengan jelas dan nyata disana. Meskipun aku tidak akan bisa menyentuh atau bahkan mengambil perhatiannya, semua itu tak akan jadi masalah. Yang jelas, aku sudah bahagia memainkan gitar ini untuknya.

            Aku menatapnya. Semua yang ada pada dirinya. Baru kali ini aku menatapnya dengan detail. Rambutnya gondrong keriting yang terurai bebas. Alisnya tebal hampir menyatu. Hidungnya mancung. Kumis tipis yang menghiasi wajahnya membuat dia terlihat sangat sempurna. Sesekali tangannya mengusap rambut yang mengganggu penglihatannya. Manis sekali. Disekelilingnya ada buku besar dan majalah juga secangkir hot cappuchino. Pria sastra memang identik dengan kemisteriusannya. Tak ada sepatah katapun keluar dari bibirnya. Ia benar-benar menguncinya rapat dan matanya terfokus pada satu hal, sajak. Tangannya yang terlihat kuat itu sesekali menghentikan pena yang digenggamnya. Sambil menatap langit-langit, ia mangut-mangut seakan mendapatkan hembusan kata-kata indah dari surga. Dia benar- benar terlihat mempesona. Hati wanita mana yang tak takjub melihat pria seperti itu? Pria yang tampil apa adanya. Sesederhana itulah aku jatuh cinta diam-diam kepadanya.

            Sambil memainkan petikan baru, mataku terus melirik ke arahnya. Hot Cappuchino yang sudah dipesan didiamkan begitu saja. Belum sempat ia jamah. Matanya masih tertuju pada buku tebal yang tadi ia bawa untuk menemaninya di kedai. Aku tetap memperhatikannya. Mata itu, kumis tipis yang melekat entah kenapa selalu bisa membius tiap nafas yang aku hirup. Senyum sederhana yang merekah meskipun tidak untukku, tetap saja selalu membuatku menghiraukannya. Selalu. Tidak akan pernah tidak.
"Agus, berpalinglah ke arahku. Aku lah wanita yang jatuh cinta diam-diam padamu. Yang menunggumu ketika sabtu sore tiba. Yang selalu membiaskan rindunya dengan memperhatikanmu." Ucapku lirih.

            Entah sudah berapa lama aku memainkan petikan al’aire dengan lagu baru Cavatina ini mengalun lembut. Tapi rasanya Agus memang enggan melirik. Aku bermain untuknya. Aku ingin melihat senyum sederhana itu merekah. Aku ingin dia tahu bahwa akulah yang tak pernah bosan ke kedai kopi setiap Sabtu sore hanya untuk mengobati rindu. Tiba-tiba Agus berdiri dari tempat duduknya. Matanya melihat ke sekeliling kemudian langkah pelan menuju mejaku. Mataku sempat terbelalak. Entahlah apa yang akan terjadi setelah ini. Yang jelas, langkah sepatunya yang berat telah mengantarkannya ke mejaku.
"Permainan gitarmu bagus." Ucapnya datar.
Aku terdiam. Aku sempat berfikir apakah pria sastra selalu berbicara dengan nada datar atau tidak.
"Aku ingin mendengarnya lagi." Agus berkata sambil menarik kursi di depanku.
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku kaget bukan kepalang. jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya. Mulutku seperti terkunci secara otomatis. Mataku tertancap menikam matanya. Badanku dingin. Tanganku basah. Bahkan tidak bisa digerakkan leluasa. Aku tidak mengerti apa yang terjadi padaku kali ini.
"Hey!" Agus menggerakkan tangannya di depan wajahku.
"Ah iya, ada apa?" tanyaku kebingungan.
"Permainan gitarmu bagus. Aku ingin mendengarnya lagi." katanya sambil sedikit tersenyum.
"Ah terimaksih." jawabku sekenanya.
"Kenalkan, namaku Agus. Sebenarnya aku sudah sering mendengarkan permainan gitarmu setiap Sabtu sore di kedai ini. Selama ini, aku sangat menyukai permainanmu." kali ini nada bicara Agus tak datar.
"Em, aku Violina. Panggil saja Vio. Ah, terimakasih banyak. Aku juga masih dalam proses belajar kok."
"Kamu kuliah atau?" pertanyaan Agus mulai mengarah ke sebuah fase pengenalan.
"Iya. Aku kuliah di musik. Kamu anak sas…tra?" aku mengernyitkan dahi.
"Benar. Bagaimana kamu bisa tahu?"
"Oh, hanya menebak."
Kami berbincang-bincang cukup lama. Hal ini membuatku sangat bahagia. Bisa mengizinkan hatiku untuk bertemu dengan hatinya. Menatap wajahnya lekat-lekat. Memperhatikan tangan yang mengusap rambutnya pelan itu sangat membuatku benar-benar jatuh.
"Jadi begini Vio, aku mau kamu mengisi di acara launching buku sajakku Sabtu sore minggu depan. Aku ingin kamu bermain gitar di acaraku. Bagaimana?" Agus mulai berbicara serius kepadaku.
"Ha?" mataku melotot. Tanganku mengepal dan wajahku berubah aneh seketika.
"Bagaimana? Ayolah kamu bisa kan?"
Aku benar-benar tidak bisa menolak kesempatan yang diberikan Tuhan. Aku langsung mengangguk cepat.
"Baiklah, deal?" Agus mengulurkan tangganya.
"Deal!" kataku sambil menjabat uluran tangan Agus.
Kami berdua duduk cukup lama. Membahas banyak hal yang akan dilaksanakan Sabtu sore minggu depan. Kami membahas segala macam topik. Mulai dari sajak hingga musik. Sesekali tangan Agus mengusap rambutnya yang mengganggu. Wajahnya yang khas itu terlihat sangat sempurna ketika ia berbicara panjang lebar. Hingga akhirnya waktu harus memisahkan kami. Agus terburu-buru untuk pamit karena ia harus pergi ke percetakan untuk mengecek bukunya. Sedangkan aku mulai mengemasi gitar kemudian berjalan keluar bersama Agus. Sampai di persimpangan jalan, kami berpisah.

            Aku melihatnya hingga ia hilang diujung jalan. Percakapan kami beberapa menit yang lalu masih hangat dalam otakku. Bayangan wajahnya, tutur katanya, semua yang ia lakukan hati ini membuatku semakin cinta. Kini, aku rasa aku sudah benar-benar jatuh cinta. Meski masih dalam diam. Meski hanya aku yang memperjuangkan. Tapi aku bahagia. Masih ada waktu seminggu untuk lebih memperbaiki permainan gitarku. Aku janji, aku akan tampil memukau demi pria hitam manis itu. Agar ia melirikku dan tahu bahwa aku bermain untuknya.

            Sabtu sore keenam. Aku datang menuju kedai kopi seperti biasanya. Kali ini, pakaianku rapi. Tak seperti yang sebelumnya. Aku memakai dress selutut berwarna pink pasta dengan rambut terurai bebas. Ayah bilang aku sangat cantik. Aku sudah tahu apa yang ayah bilang akan seperti itu, tapi aku lebih ingin Agus yang mengatakannya nanti.

            Aku berjalan lurus menuju tempat dudukku. Sepertinya kedai kopi ini memang sudah disewa sepenuhnya oleh Agus. Tak terlihat ada pelanggan sama sekali. Hanya lalu lalang pelayan kedai dan beberapa tamu undangan Agus. Aku duduk dikursi sambil mengeluarkan gitarku dari tempatnya. Aku menyetem gitar itu beberapa kali hingga aku rasa suaranya sudah pas.
“Kak, butuh minum?” sapa seorang pelayan yang tiba-tiba menawariku hot cappuchino.
“Terimakasih ya mbak.” Kataku dengan senyum yang tersungging di bibir.
“Mengisi acaranya Agus, kak? Sebagai pemain musik?”
“Iya mbak. Kemarin saya dimintai tolong untuk mengisi acara Agus. Berhubung saya kosong tidak ada jadwal, boleh juga manggung disini.”
“Lima belas menit lagi acaranya dimulai kak, semoga lancar ya!” pelayan yang hingga saat ini aku tak mengetahui namanya itu tiba-tiba pergi tanpa menunggu jawaban dariku. Aku mengangkat pundak tanda terserah.

            Di sela-sela lalu lalang para tamu, aku masih sempat menjajal lagu Romance De Amor dan Cavatina sebagai pemanasan awal. Aku memetik dengan lembut dari senar yang paling bawah hingga aku terbuai dalam permainanku sendiri. Aku terus bermain dan tak sadar ternyata acaranya sudah dimulai.
“Vio!” Agus datang dari kejauhan sambil melambaikan tangan. “Bagaimana kamu sudah siap?” sambungnya.
Aku mengangguk pelan. Mataku melihat Agus dengan takjub. Sabtu sore ini ia sangat rapi. Ia memakai jas hitam dengan kemeja putih di dalamnya. Rambutnya tak ia sisir namun tetap rapi. Tubuhnya harum sekali. Wajahnya bersinar seperti bulan. Alisnya yang hampir menyatu itu rasanya semakin tebal saja. Ah, ia sungguh sangat sempurna malam ini.
“Vio, giliranmu sekarang! Good luck!” katanya sebelum aku beranjak naik ke panggung.
Aku tersenyum kemudian melangkahkan kaki ke atas panggung. Syukurlah, aku sudah tidak pernah demam panggung lagi. Aku sudah sering mementaskan permainan gitarku ketika ada pentas seni di kampus.

            Aku memainkan dua lagu, Romance De Amor yang pertama. Aku selalu mendapatkan feeling yang baik pada lagu ini. Lagu ini bisa membuatku mabuk. Aku bahkan heran mengapa aku bisa memainkannya selembut ini. Sudah dua kali aku mengulangi lagu ini, seluruh tamu undangan Agus memberiku tepuk tangan yang luar biasa. Tak terkecuali Agus. Menuju lagu kedua, aku sudah sangat rileks. Lagu Cavatina ini juga merupakan lagu favoritku. Aku selalu teringat akan Agus pada bagian yang menuju klimaks. Aku terbayang-bayang bagaimana jarinya memasuki celah rambutnya yang berayun terkena hembusan angin. Bagaimana ia yang terlalu fokus pada sajak-sajaknya itu. Bagaimana dia yang enggan berbicara banyak pada orang lain. Aku mendapatkannya. Aku mendapatkan rasa pada lagu ini karena Agus. Iya, karena pria itu. Pria yang ada dibawah panggung sambil memandangku. Memberiku tepuk tangan ketika aku selesai mementaskan permainan gitarku. Sungguh, pria sastra yang sudah berhasil membuatku tergila-gila. Dua lagu telah selesai. Aku kemudian turun dari panggung. Melihat senyum Agus yang menyapaku aku semakin yakin ia juga memiliki rasa yang sama padaku. Aku yakin dia juga memperjuangkanku. Bukan sekedar aku yang memperjuangkannya.
“Kamu hebat sekali!” sapa Agus yang sudah berdiri tepat di depanku.
“Terimakasih.” Aku tidak bisa berkata banyak. Rasanya sulit sekali ketika aku harus berhadapan dengan orang yang selama ini aku cintai.
“Ini hot cappuchino-mu.” Agus memberiku segelas hot cappuchino yang sudah ia pesankan untukku. Aku meminumnya beberapa teguk kemudian aku melirik ke Agus. Disamping Agus ada seorang wanita cantik sekali. Ia juga memakai dress, sama sepertiku. Agus awalnya hanya merangkulnya, namun kali ini rangkulan itu pindah di pinggang si wanita. Siapa sebenarnya wanita itu? Mengapa ia sedekat itu dengan Agus. Bukankah selama ini Agus memiliki hal yang sama sepertiku. Bukankah aku dan dia saling mencintai? Aku berjalan menuju Agus, mencoba menata hati serapi mungkin. Mempersiapkan mental luar biasa untuk mendekati Agus dan wanita itu.
“Hai Vio! Terimakasih banyak sudah mau mengisi acara dalam launching buku sajakku. Semoga lain kali kita bisa bertemu lagi.” Agus memelukku pelan. Setidaknya masih aku rasakan kehangatan yang menjalar.
“Terimakasih ya Vio, permainan kamu bagus sekali. Aku sangat suka dengan nadanya. Besok kalau aku dan Agus ada acara lagi, kamu pasti aku undang.” Wanita itu berkata hal yang sama padaku. Aku membalasnya dengan senyum tanpa sepatah katapun. Agus dan wanita itu beranjak, mereka berjalan kearah panggung. Tangan mereka bergandengan erat sekali. Itu membuatku semakin yakin bahwa dia bukan sekedar teman biasa untuk Agus. Dan pondasi hatiku yang sedari tadi aku bangun, tiba-tiba roboh begitu saja.

            Jadi, semua ini hanya angan-angan, memandangi wajahnya yang sungguh menggoda itu dari balik layar. Ingin rasanya aku mendekat. Memperhatikan kata demi kata yang berbaris rapi dalam sajaknya. Memberikan masukan kata-kata indah agar ia tak kesulitan ketika menggoreskan pena. Aku ingin berada di dekatnya agar bisa mengusap pelan rambut keritingnya ketika rambut itu mulai mengganggu penglihatannya. Ingin menaikkan jaketnya ketika angin yang mulai berhembus ganas. Betapa bahagianya aku bila semua itu bisa terjadi. Namun sayangnya tidak. Aku hanya jatuh cinta diam-diam. Tak pernah ada paksaan untuk mengungkapkan. Bahkan hingga Agus telah memiliki yang lain, ia belum sempat mengerti bahwa aku mencintainya.Akan tetap kuingat ketika ia enggan berbicara hingga tersenyum meskipun terpaksa. Semua hal yang semu bisa menjadi nyata. Semua yang buram bisa menjadi jelas. Semua yang biasa saja bisa menjadi luar biasa. Kekuatan pria sastra memang menakjubkan. Sederhana. Dan seterusnya. Maafkan aku Agus, aku belum sempat memberitahumu bahwa aku jatuh cinta diam-diam kepadamu.


Halal Bihalal Setelah Solat Ied


                Magelang, 29 Juli 2014. Para warga Paten Jurang, RT 04 RW 16 melaksanakan halal bihalal yang dilakukan setelah Solat Idul Fitri. Halal bihalal tersebut dilaksanakan oleh seluruh warga RT 04 RW 16 mulai dari anak kecil hingga orang yang sudah tua. Seluruh warga berkumpul di lapangan kampung seusai sodaqohan di musholla. Mereka membentuk barisan memanjang kemudian saling bermaaf-maafan satu sama lain. Banyak air mata yang mengalir ketika kata maaf yang tulus terucap. Meraka saling memeluk satu sama lain sambil berjabat tangan. Hal ini rutin dilakukan oleh para warga Paten Jurang di RT 04 RW 16 untuk mempererat tali silaturahmi satu sama lain. Serta sebagai sarana kumpul warga yang hanya bisa dilakukan setahun sekali.


Annisa Ulfah Miah
XII IPS 3/ 01