Sabtu, 26 Juli 2014

Penjual Susu



  Penjual Susu
( from the real story)

 Pagi ini hujan turun tak terlalu deras. Langitnya mendung agak keputih-putihan. Udara dingin yang menerpa seakan memeluk erat tubuhku. Tanah di halaman depan rumah agak becek dan licin. Matahari belum tampak dengan sempurna. Ia masih bersembunyi di balik awan yang hitam keputih-putihan itu. Sesekali ada petir yang menggaris di langit. Suaranya tak terlalu keras tapi sempat membuatku begidik ketakutan. Aku menyambar jaket merah yang sedari tadi hanya aku letakkan di atas kursi. Aku ambil lalu memakainya. Udara pagi ini benar-benar dingin. Tak bisa aku bayangkan perjalanan jauh dari rumah hingga sekolah pasti akan lebih dingin dari ini. Hari ini adalah hari ke tujuh aku memasuki sekolah baru. Setelah lulus dari Sekolah Menengah Pertama, aku melanjutkan studiku ke sebuah Sekolah Menengah Atas yang ada di kota.
“Ayah, Intan berangkat ya!” sapaku kepada seorang pria separuh baya yang duduk menyendiri di depan rumah. Aku hampiri kemudian aku kecup tangannya.
“Hati-hati di jalan, nak.” Ayah mencium keningku lembut. Kemudian aku berlalu. Dengan agak tergesa-gesa, aku mengeluarkan motorku dari garasi yang ukurannya tidak lebih dari tiga meter itu. Setelah berpamitan dengan ayah, aku meninggalkan rumahku yang ada di daerah kaki Gunung Semeru.

Hujan masih mengiringiku dari rumah hingga di jalan. Aku tak mengenakan mantol atau apapun sebagai pelindungku dari air. Aku menikmati air itu menghujam tubuhku perlahan. Karena aku menyukai hujan. Aku sempat memiliki beberapa kenangan indah dengan hujan. Dengan seorang pria yang sempat melambungkan semua anganku. Melambungkan semua harapanku yang sebenarnya tak mungkin. Memberiku kenyamanan dan menjagaku dari apapun. Aku sempat menemukan rumah kedua dengan hadirnya dia. Aku sempat mempercayakan hatiku untuk dijaganya dan aku yakin ia tak akan melukainya. Sekilas kenangan masa lalu sempat terbesit jika aku mengingat tentang hujan. Tentang seorang pria yang melambungkan angan kemudian menghempaskannya keras hingga ke dalam lubang kekecewaan. Hati yang sempat aku titipkan malah ia lukai sebegitu dalamnya. Hal itu membuatku trauma. Membuatku enggan berhubungan lagi dengan seorang pria. Kenangan yang sedari tadi berlalu-lalang dalam pikiranku, aku tepis seketika. Aku buang jauh-jauh agar aku bisa berkonsentrasi pada jalanan yang sudah mulai padat ini. Dikanan-kiriku, aku dijepit oleh beberapa truk dan bis. Memang, jalan yang aku lalui ini adalah jalan aktif antar kota. Maka, aku harus ekstra hati-hati  untuk melewatinya.

                Tigapuluh menit berlalu dengan dramatis. Aku hampir saja berkali-kali bertabrakan dengan beberapa mobil. Tapi syukurlah, akhirnya aku sampai di sekolah dengan selamat. Aku menyusuri koridor sekolah dengan santai. Jaket merah yang agak basah itu tetap aku kenakan dengan nyaman. Langkah kakiku berjalan kecil ke arah deretan kelas XII IPA. Setiap hari aku harus menerima sedikit celotehan dari kakak kelas untuk sampai ke kelasku yang ada di belakang kelas XII IPA. Tapi, aku cukup kebal untuk menangkalnya. Semua celotehan kakak kelas itu aku diamkan. Tak aku hiraukan sama sekali.
“INTAN!!!” seru seorang pria yang ada dari balik pintu kelas XII IPA 2
Aku menengok ke kanan kemudian ke kiri. Namun tak aku temui siapapun. Aku mempercepat langkahku agar sampai ke kelas namun sekali lagi suara itu kembali menyerukan namaku. Aku berhenti. Di hadapanku muncul seorang pria yang memamerkan sebuah senyum tipis yang indah.
“Aku bisa minta tolong?” kata pria itu yang entah siapa namanya.
Aku mengangguk kecil. Aku hampir mati kutu. Berhenti diantara anak-anak kelas XII membuatku salah tingkah dan menjadi bahan celotehan.
“Tolong katakan pada semua temanmu, aku berjualan susu kedelai. Jika ada yang pesan, hubungi aku saja.” Pria itu menyerahkan kertas yang berisi nomor handphone. Aku kemudian mengangguk dan berlari menjauh. Perasaanku sungguh tidak enak bila selalu dijadikan bahan celotehan kakak kelas.

Sekolah memang selalu membosankan. Aku sangat benci dengan mata pelajaran hari ini, Fisika dan Kimia. Bagiku, itu tidak penting. Aku tidak suka menghitung berat yang membuatku menjadi migran. Toh, ilmu ini tidak akan aku bawa bila aku sudah menikah nanti. Aku tidak perlu menghitung berapa lama jodohku akan melamarku setelah aku sempat merasakan sakit hati yang teramat sangat. Ilmu itu juga tidak bisa memastikan apakah aku akan mendapat satu pria atau lebih dari satu? Itulah alasanku. Tidak logis, memang. Tapi sungguh aku benar-benar benci. Fisika dan Kimia seperti menutup mataku dan membuat duniaku menjadi hitam pekat. Tak ada kebahagiaan yang nyata melainkan hanya harapan semu. Penderitaanku berakhir setelah bunyi bel istirahat berdering ria melalui speaker kelas. Aku bergegas gabung dengan teman-temanku yang sedang berkumpul di belakang kelas. Aku menyampaikan pesan kakak kelas tadi tentang susu kedelai yang ia jual mulai hari ini. Dan tak lama kemudian, tiba-tiba dua orang kakak kelas masuk ke dalam kelasku.
“Susu!! Susu!!” seruan kakak kelas itu terdengar khas. Beda seperti penjual lainnya. Ia membawa banyak susu kedelai semua rasa. Mulai dari coklat, strawberry, original, bahkan sampai gula jawa. Ia membawanya di dalam sebuah box besar yang selalu ia tenteng dengan tangan kanan. Sementara yang satunya, ia tak banyak bicara. Ia cenderung diam sambil menghitung uang yang ia dapat bersama rekannya.
“Mas, aku beli yang coklat satu ya!” seruku dari tempat duduk yang ada di belakang kelas. Aku tidak beranjak. Aku masih sibuk mendengarkan cerita dari beberapa temanku.
Langkah berat seorang pria perlahan-lahan menghampriku. Badannya tegap berisi. Kulitnya sawo matang dan kumis tipis menghiasi wajahnya. Seragam osisnya masih putih bersih. Rambutnya rapi tak terlalu mengikuti model. Tapi harus aku akui, ia sangat tampan. Aku memperhatikannya sejak ia berjalan lurus menuju mejaku sambil membawa sebuah susu kedelai coklat di genggamannya.
“Ini dek,” pria itu menaruh susu pesananku di meja. Aku mendongak memperhatikan wajahnya yang manis sekali. Senyumnya yang masih agak malu-malu itu ia sembunyikan. Aku mengambil uang seribu dari dalam kantong kemudian aku berikan kepadanya, “Ini mas, terimakasih.” Pria itu kemudian berbalik badan sambil meninggalkan senyumnya yang kali ini terlihat sangat jelas. Langkah beratnya menjauh dariku. Suara sepatu PDH yang ia kenakan membuatnya bersuara. Ia kembali mendekati rekannya. Menghitung uang yang ia dapat kemudian beralih ke kelas sebelah. Sebelum ia pergi, aku sempat melirik di dadanya. Melihat sebuah nama yang terpampang indah di dada sebelah kanannya. “Muhammad Iqbal”. Aku terus saja mengingat-ingat namanya. Dan setelah pertemuan pertama ini, pria itu mulai membuatku penasaran.

Sejak saat itu aku jadi sering membeli susu yang ia jajakan setiap istirahat bersama rekannya. Kami juga sering bertemu di kantin atau dihalaman sekolah di dekat kelas XII IPA. Semakin sering aku bertemu dengannya membuatku mempunyai rasa. Rasa yang sudah lama tidak aku rasakan setelah luka yang menggores sadis di hatiku. Degub jantung yang frekuensinya menjadi lebih cepat jika aku bertatapan dengan matanya. Hembusan rasa nyaman yang selalu mengalir disela-sela jemariku jika aku berjalan melewatinya. Rasa yang entah bisa dikatakan jatuh cinta atau tidak. Karena aku hanya memendam rasa. Belum berani berucap dan mengungkapkan segalanya. Rasa yang masih aku pendam dalam-dalam karena aku hanya junior yang masih dianggap sebagai anak kecil. Rasanya tidak biasa saja bila aku menyukai seorang pedagang susu kedelai yang tak lain adalah seniorku sendiri.

***

“Susu!! Susu!!” suara yang selalu aku nantikan itu terdengar lagi. Dan pria yang aku tunggu juga selalu ada diantara box susu yang berjajar rapi. Semakin kesini, aku semakin yakin bahwa aku jatuh cinta diam-diam kepada seorang pedagang susu kedelai di sekolahku. Parasnya yang selalu membuatku jatuh. Jatuh diantara hati yang tutur katanya sangat lembut. Aku sudah tidak bisa menahan degub jantung yang semakin membara. Aku beranikan melangkahkan kakiku menuju Mas Iqbal dan rekannya yang sedang sibuk melayani pembeli.
“Hey, intan! Masih ingat kan sama aku? Terimakasih ya.” Suara pria yang agak cempreng itu menyambutku. Tentu saja itu bukan suara Mas Iqbal. Melainkan suara rekannya yang sempat memberiku nomor handphone dan menyuruhku menyebarluaskan bahwa ia berjualan susu kedelai. Sampai saat ini-pun aku tidak tahu siapa namanya.
“Iya mas, sama-sama ya. Aku juga senang sekali bisa membantumu dan Mas Iqbal.” kataku sambil sedikit melirik ke arah Mas Iqbal yang sibuk melayani pembeli.
“Intan mau beli nggak? Ini, kesukaanmu susu coklat.” Sebuah tangan yang kuat mengulurkan susu kedelai coklat ke arahku. Aku mendongak, itu tangan Mas Iqbal.
“Terimakasih, mas.” Ucapku agak sedikit gemetar. Aku mengambil susu coklat yang diberikan Mas Iqbal kemudian aku tukar dengan uang seribuan. “Oya, ngomong-ngomong aku belum mengerti namamu siapa mas.” Sambungku sambil menatap ke arah rekan Mas Iqbal.
“Jadi selama ini kamu belum tahu? Bagaimana pula kau ini. Aku Setyo, dek. Aku hafal sama kamu soalnya kamu anak asuhku waktu MOS.” Mas Setyo berbicara dengan logat yang berbeda membuatku agak geli kemudian tertawa kecil.
“Kamu kurang terkenal sih yok. Kayak aku dong, hampir semuanya mengenaliku. Iya kan, tan?” Mas Iqbal ikut meyambar obrolan kami.
“Mas Iqbal satu kelas dengan Mas Setyo?” tanyaku mulai sedikit mencari tahu tentang Iqbal.
Mas Setyo tiba-tiba pergi meninggalkan kami berdua karena telah dipanggil beberapa pelanggan setianya dari kelas sebelah. Tinggallah aku dan Mas Iqbal yang saling bertatap muka.
“Oiya dek, kami satu kelas di XII IPA 2. Dekat kan dengan kelasmu.” Mas Iqbal menunjuk letak kelasnya yang hanya terpisah lima meter dari kelasku. Setelah itu, kami berdua terdiam. Sepertinya Mas Iqbal salah tingkah karena kami berlum pernah bertemu sedekat ini. Belum pernah membiarkan mata kami bertemu pada satu titik. Aku merasakan betapa degub jantungku berdetak lebih hebat. Suhu tubuhku yang mulai berubah dan mataku yang semakin menunduk.
“Aku nyamperin Setyo dulu ya dek.” Tiba-tiba Mas Iqbal memecahkan kesunyian yang tumbuh diantara kami. Aku hanya bisa mengangguk meskipun sebenarnya aku ingin menatapnya lebih lama lagi. Lebih dekat lagi. Agar ia tahu bahwa ia telah berhasil membuatku jatuh cinta diam-diam kepadanya. Tapi sayangnya, itu belum terlaksana. Belum bisa aku wujudkan untuk saat ini karena aku tahu, hati Mas Iqbal tidak sama denganku. Aku hanyalah seorang junior yang jatuh cinta pada seniornya. Sedangkan ia, ia pasti hanya menganggapku senior yang selalu menjadi pelanggan tetapnya ketika ia menjajakan susu kedelainya bersama Mas Setyo. Perbedaannya  adalah, aku jatuh cinta diam-diam kepada Mas Iqbal, dan dia, tidak merasakannya sama sekali.
                 Meski begitu, aku tetap menyukai pria sederhana yang menjual susu kedelai setiap istirahat itu. Aku mulai mencari banyak info tentangnya. Tanpa malu, aku bertanya pada Mas Setyo yang nomor handphonenya masih aku simpan. Aku sempat berfikir aku bisa menghubungi Mas Setyo untuk sekedar mencari tahu informasi kecil tentang Mas Iqbal.
Aku berjalan santai menuju kantin sekolah yang terletak di sebelah Gedung Laboratotium Bahasa. Bersama beberapa temanku, kami berjalan sambil diselingi beberapa senda gurau dan tawa kecil menghiasi langkah kami.
“Tan, kae Mas Iqbal lagi makan.” Tangan Tyas menunjuk seorang pria yang duduk di meja sudut sedang asyik menyantap hidangannya.
“Sini bentar. Nemenin aku ngeliatin dia dong! Nggak usah jajan, nanti aja.” Kataku sambil menggandeng tangan Tyas. Tyas tak menjawab apapun. Ia hanya mendengus pelan kemudian mengumpat. Dari sini, aku bisa melihat Mas Setyo memasukkan beberapa makanan di mulutnya. Ada segelas the manis yang menjadi teman makannya kali ini. Meski dari kejauhan, aku bisa melihat jelas pergerakan Mas Iqbal dari senti per senti. Dari kejauhan juga aku masih bisa mendengar suaranya yang menyapa beberapa teman seangkatannya yang melintasi meja Mas Iqbal. Dia memang sangat ramah. Dia selalu menggunakan tutur kata yang halus pada semua orang, entah itu pria ataupun wanita. Sungguh, dia adalah pria yang termanis yang aku temui. Pria dengan daya pikat luar biasa yang mampu membuatku jatuh cinta lagi meski dalam diam. Yang mampu mengusik perhatianku meski juga dalam diam. Yang mampu menjadi tempat menaruh harapan juga dalam diam. Karena aku jatuh cinta sendirian. Tanpa ia tahu, tanpa ia paham, aku melabuhkan hatiku dalam diam. Dalam sunyi yang bahkan tak akan ada gemanya. Karena ia tak tahu. Karena ia mungkin tak menyadari. Dan karena ia tak merasakan apa itu jatuh cinta diam-diam yang aku rasakan. Atau mungkin dia tahu, tapi tak ia tampakan.
“Udah kali liatnya. Nanti tambah kesengsem.” Tyas menyeletuk sekenanya. Aku hanya meringis membalas celetukan sahabatku itu. Kami berdua kemudian berjalan ke luar kantin meninggalkan Mas Iqbal bersama makan siangnya.

***

Bulan demi bulan berlalu. Selama itu juga aku masih sanggup jatuh cinta diam-diam pada sosok Mas Iqbal. Sudah satu semester aku hanya bisa memperhatikannya dari balik layar. Mendengar suaranya dari kejauhan. Tak ada nyali untuk mendekat apalagi menyatakan perasaan. Aku sudah sangat bahagia ketika aku bisa membeli susunya setiap hari kerika istirahat. Setidaknya aku selalu membuat dia hafal tentang apa susu kedelai favoritku. Hal itu sudah cukup untukku. Aku sudah seperti diperhatikan lebih olehnya.
“Susu!! Susu!!” suara Mas Setyo sudah menggema hingga terdengar di seluruh kelas. Aku menghampirinya dan berusaha mencari Mas Iqbal yang hari ini tidak ikut menjajakan susu kedelai dengannya.
“Mas Iqbal kemana?” tanyaku heran. “Kok dia nggak ikut jualan sih mas? Gek pergi po?” sambungku.
“Iqbal nggak masuk, Tan. Sakit dia.” Jawab Mas Setyo singkat. Ia sedang sibuk melayani pembeli susu yang berebut untuk mendapatkan rasa susu coklat yang diinginkan.
“Mas, boleh nggak aku minta nomor handphone nya Mas Iqbal? Aku to mau kasi ucapan semoga lekas sembuh buat dia.” Tanganku menghentikan pergerakan tangan Mas Setyo. Seperti anak kecil yang merengek kepada ibunya agar kemauannya dituruti. Mas iqbal menatapku sejenak. Mungkin ia heran, ada hubungan apa hingga aku meminta nomor telepon Mas Iqbal darinya.
“Yasudah tunggu sebentar.” Mas Setyo merogoh kantong celananya. Ia mengambil sebuah handphone jadul dari dalam kantongnya. Tangannya lincah memencet tombol handphone yang sudah kusam dan kehilangan tulisan hurufnya itu. “Ini nomornya. Catat saja.” Ia mengulurkan handphonenya padaku.
“Wah makasih lho mas! Kamu baik sekali.” Kataku sambil mencatat nomor handphone Mas Iqbal. aku berusaha menata hati agar euphoria kebahagiaanku tidak membuat Mas Setyo curiga.
“Iya, sama-sama ya. Aku keliling dulu.” Mas Setyo melangkahkan kakinya keluar dari kelasku. Sontak aku langsung meloncat kegirangan. Langsung saja aku mengirim pesan teks kepada Mas Iqbal yang sedang sakit dirumah.
“Mas, semoga cepat sembuh ya. Intan.”  Pesan pertama sudah aku kirim. Aku tidak sabar menunggu pesan balasan dari Mas Iqbal. aku sangat yakin, pesanku ini pasti akan dibalas olehnya. Tak lama kemudian handphone yang aku letakkan di laci meja bergetar. Aku lihat display name-nya yang bertuliskan Mas Iqbal. “Terimakasih. Ini Intan siapa ya?”
Ah sial! Mas Iqbal kenapa tidak mengenaliku begini, aku cepat-cepat membalas pesan teksnya lagi, “Ini Intan Mas, anak kelas X yang suka beli susu kedelai coklat.”
“Oh iya, Intan.” Mas Iqbal tiba-tiba membalasnya dengan cepat sehingga aku ada kesempatan untuk berhubungan dengannya meski hanya melalui pesan teks.
“Mas, sakit apa? Besok sudah bisa masuk sekolah kan?”
“Aku ada sedikit masalah dengan pencernaan. Insyaallah ya.”
Aku bercengkrama ria hingga Mas Iqbal tidak membalas pesan teks ku yang terakhir. Tapi tak masalah, semua yang kami bicarakan dalam pesan teks sudah cukup membuat rinduku terobati. Sampai pada suatu malam aku kembali mengirim pesan teks kepada Mas Iqbal. Yah, hanya sekedar menayakan kondisi kesehatannya. Rasa khawatir yang berlebihan menggerogoti pikiranku terus-menerus. Membuatku selalu terpikir akan Mas Iqbal yang sedang terbaring lemah di rumahnya.
“Mas Iqbal, gimana keadaannya?” Pesan singkatku yang pertama tepat aku kirim pukul tujuh malam.
“Sudah mendingan dek. Ada apa ya?”
Aku sempat menelantarkan balasan pesan teks dari Mas Iqbal. Aku tidak bisa memendam perasaan lebih lama lagi. Aku sudah memendam ini semua lebih dari enam bulan lamanya. Aku tidak mau bersembunyi di balik perasaan yang diam-diam. Aku sudah mempersiapkan mental. Mempersiapkan hati dan juga pikiran. Aku sudah siap untuk mengatakan semuanya kepada Mas Iqbal. Tanganku mulai mengetik beberapa kalimat dengan tangan yang agak gemetar. “Mas Iqbal, aku mau bilang sesuatu.”
“Mau bilang apa?”
Tanganku mulai memencet tombol handphone dengan hati-hati. Mencoba mencari kalimat yang tepat agar aku tak salah menyatakan perasaanku padanya. “Mas, aku suka sama Mas Iqbal. dan itu sudah lama.” Aku benar-benar deg-degan setelah mengirim pesan teks tentang perasaanku padanya. Entah harus senang atau sedih aku juga tak tahu. Semua perasaan bercampur aduk.
Tak lama kemudian, Mas Iqbal membalas pesan teksku. Aku hampir tidak ingin melihatnya. Aku tidak mau sakit hati lagi bila ditolak Mas Iqbal nantinya. Tapi apa boleh buat, aku membuka pesan teks itu “Lalu? Apa yang harus aku lakukan?”
Melihat jawaban seperti itu sepertinya Mas Iqbal benar-benar tidak ada rasa denganku. aku kembali mengetik sebuah pertanyaan final kepada Mas Iqbal, “Single or Taken?” Rasanya lama sekali menunggu jawaban atas pertanyaan final yang aku ajukan kepada Mas Iqbal. Lima menit berlalu dengan cepat. Masih belum ada tanda-tanda Mas Iqbal membalas pesan singkatku.
Handphoneku bergetar, aku berusaha berdoa kepada Tuhan jika Mas Iqbal sebenarnya masih single. Tapi ternyata kenyataannya, “Taken.” Seketika itu juga hatiku tiba-tiba sesak dan sulit bernafas. Aku hampir tidak mau melihat handphoneku lagi yang jelas-jelas masih membuka pesan teks berisi jawaban taken dari Mas Iqbal. Rasanya hati ini tercabik-cabik sedemikian rupa. Aku yang selama ini jatuh cinta diam-diam kepadanya ternyata akan berakhir dengan penuh luka. Dengan tak adanya akhir bahagia seperti FTV remaja pada umumnya. Aku sadar, aku hanya junior yang rapuh. Yang hanya bisa memberikan air mata ketika kenyataan tak sesuai dengan harapan.

                    Malam ini aku memutuskan berhenti mengejar Mas Iqbal. Mencoba menghilangkan semua rasa yang sempat tumbuh dan menjalar dalam hatiku. Aku sudah mencoba tidak lagi jatuh cinta diam-diam dan mulai bertindak sebagai junior yang normal. Maksudnya, junior yang tidak menaruh hati pada pedagang susu kedelai yang tak lain adalah seniornya.

***

                  Hari-hari kini aku lewati dengan penuh kekecewaan. Tak ada lagi suara seruan susu yang aku rindukan. Tak ada lagi sosok pria sederhana yang aku harapkan kehadirannya. Tak ada lagi melihatnya diam-diam dari balik layar. Semuanya bagiku sudah usai. Meski rasa ini masih menjalar hebat. Tapi aku harus menepisnya. Aku tidak mau terlalu jatuh dalam kekecewaan yang telah aku ciptakan sendiri.
Meski aku sudah berhenti untuk memperhatikannya, Tuhan selalu mempertemuka kami dalam kesempatan yang tak terduga. Sebenarnya aku sudah tidak mau melewati deretan kelas XII IPA dan lebih memilih berputar melalui kelas XI IPS yang lebih jauh. Namun, kami malah sering dipertemukan. Di kantin, di taman sekolah, bahkan ketika ia hendak ke toilet kami sering bertemu. Pertemuan-pertemuan yang tak sengaja itu membuat rasa ini malah semakin meletup. Bukan semakin redup. Apa yang harus aku lakukan saat ini bila hati sebenarnya masih jatuh cinta diam-diam dan enggan berpaling. Aku juga masih sering mengirim pesan teks kepada Mas Iqbal meskipun aku tahu, pesanku itu tak pernah dibalasnya. Hingga akhirnya ia tak masuk ke sekolah selama dua minggu lebih. Aku sempat bertanya kepada Mas Setyo, namun ia mengaku tidak tahu. Aku juga sudah mengirim pesan teks kepada Mas Iqbal puluhan kali dalam sehari tapi hasilnya nihil. Perasaanku mulai tidak karuan. Rasa khawatir yang luar biasa menjalar ke seluruh pikiran.
Suatu malam, ketika aku sedang bermain twitter. Ada kabar mengejutkan dari kalangan kelas XII dan official account dari sekolahku. Ada kabar tentang meninggalnya anak kelas XII yang sakit. Aku sempat tak percaya dengan kabar yang beredar bahkan menghiraukannya begitu saja. Setelah aku selidiki, aku menemukan ucapan bela sungkawa yang ditujukan langsung kepada Muhammad Iqbal. Aku kaget bukan kepalang. Rasanya jantung ini berhenti. Semua yang ada disekelilingku beku. Mataku tajam membaca dengan cermat nama yang disebutkan oleh akun twitter dari sekolahku. Aku tidak percaya. Sama sekali.

                   Keesokan harinya aku melewati Ruang Osis dan melihat beberapa kelas XII menangis histeris. Ini semakin membuatku rapuh. Berita yang tersebar di twitter semakin menguat dengan adanya bukti ini. Aku mulai berlari melewati deretan kelas XII IPA yang selama ini aku hindari. Banyak dari mereka mengeluarkan air mata dan merasakan sakit luar biasa. Aku berusaha menengok ke kelas Mas Iqbal, tapi tak aku temui sosoknya. Mataku kembali bergerilya mencari Mas Setyo, namun juga tak berhasil. Aku berlati menuju kelasku. Tyas yang sudah menungguku di pintu, tiba-tiba mengutarakan sesuatu, “Intan,  yang sabar ya. Mas Iqbal meninggal tadi malam.” Sontak aku syok bukan main, mataku langsung berair sembari berharap itu semua tidak benar. “Tyas, kamu gila? Kamu bohong kan? Kamu bohong? Mas Iqbal itu gakpapa!!” aku seperti orang kesetanan. Beberapa orang disekelilingku sempat memperhatikan tingkahku.
“Sabar. Sabar dulu. Mas Iqbal meninggal semalam karena sakit peradangan usus. Dia lama nggak masuk sekolah karna dirawat di RS Sarjito Jogja.” Tyas mulai menepuk pundakku perlahan. Aku syok! Syok sekali. Ini mimpi atau nyata. Kenapa sepahit ini. Hatiku benar-benar remuk! Hancur berkeping-keping! Darah yang mengalir di tubuhku seakan berhenti dan membuatku beku seketika. Aku menangis di depan pintu. Benar-benar menangis sejadi-jadinya. Kenapa pria yang aku cintai itu pergi begitu cepat tanpa sempat aku memperbaiki rasaku.

Siang harinya aku mengikuti upacara pemakaman Mas Iqbal di pemakaman umum yang terletak di depan Kompleks Akademi Militer. Aku adalah satu-satunya anak kelas X yang hadir dalam upacara pemakaman Mas Iqbal. Aku tidak bisa memendam air mata yang terus memaksa keluar hingga membuat mataku sembab luar biasa. Saat jenazah Mas Iqbal hendak diturunkan, rasanya aku ingin sekali menariknya kemudian aku hidupkan kembali. Tapi, aku bisa apa? Setelah jenazah Mas Iqbal diturunkan, makamnya mulai ditutup dengan tanah. Isak tangis terdengar nyata dari sanak saudara dan teman-teman yang ikut mengantarkannya untuk yang terakhir kali. Mereka menangis sambil mengelus batu nisan Mas Iqbal yang masih berupa bambu. Sedangkan aku, aku hanya bisa berdiri menunggu semua pelayat pulang dan menjadi orang terakhir yang ada di makam Mas Iqbal.

Satu persatu dari para pelayat pulang meninggalkan makam Mas Iqbal dengan isak tangis yang masih terdengar kuat. Tertinggal satu wanita yang masih sangat histeris. Wanita itu bersandar pada batu nisan Mas Iqbal sambil mengelu-elukan namanya. Aku tidak berani mendekat. Aku hanya melihatnya dari kejauhan. Dari balik pohon yang tinggi beberapa meter dari makam Mas Iqbal.
“Sayang, tenang ya disana….” Aku memetik sebuah kalimat dari wanita itu. “Sayang” berarti ia adalah orang spesial milik Mas Iqbal. Jadi, selama ini dialah pacar Mas Iqbal. Wanita yang benar-benar beruntung yang berhasil memikat pria sederhana seperti Mas Iqbal. Baiklah, mungkin aku memang tidak bisa menjadi orang terakhir yang ada di makam Mas Iqbal karena aku tidak mungkin menggeser posisi bidadari Mas Iqbal yang masih histeris mengelu-elukan namanya dan meniup nisannya berkali-kali.

Maafkan aku Mas Iqbal, bahkan sampai kamu pergi pun, aku masih menjadi penggemarmu diam-diam.karena hanya bisa bersembunyi dibalik layar. Hadirku tak mampu menggeser orang-orang yang lebih bisa membahagiakanmu. Tapi, terimakasih. Aku cukup bahagia karena aku sempat jatuh cinta diam-diam kepadamu.
“Selamat jalan Mas Iqbal. Aku akan selalu merindukanmu.” Ucapku pada Mas Iqbal untuk yang terakhir kalinya.


Annisa Ulfah Miah
4 Agustus 2014