Disini.
Di sudut lapangan ini. Aku hanya bisa melihatmu dari sini. Aku melihatmu nyata
di hadapanku. Berbalut kaos hitam, celana tigaperempat, dan sepatu cats. Iya,
aku tahu itu adalah gaya andalanmu ketika kamu beraksi. Aku sengaja
memperhatikanmu selagi kamu sibuk berbincang dengan yang lain. Aku juga sengaja
mencuri pandanganmu ketika kamu duduk sendiri sambil menghisap rokok yang ada
ditanganmu. Aku tahu, kamu tak pernah mngacuhkan keberadaanku. Kamu juga tak
perduli bahwa aku sempat berurai air mata sebelum aku benar-benar kuat
melihatmu. Aku tahu. Kamu hanya mencampakkan hadirku.
Kini
kita benar-benar bertemu dalam waktu yang sama. Bertemu dalam satu ruang yang
sama pula. Aku membayangkan seperti selaknya kita bertemu seperti biasa yang
dibalut canda dan tawa. Pertemuan manis selayaknya kita dahulu ketika kita
masih menjadi kita. Namun, ternyata itu berubah seketika. Aku seperti tak
mengenalmu. Bahkan, kamu seperti orang asing yang sama sekali belum pernah ku
kenal. Kamu menengok kepadaku saja enggan. Menatapku apa lagi. Kamu seperti
bertemu dengan seseorang yang sangat kamu benci. Seburuk itukah aku dimatamu?
Tanpa kamu menjawabnya, aku juga sudah tahu bahwa kamu sebenarnya tak inginkan
kehadiranku disini.
Disana,
mata kita sempat bertatapan beberapa detik. Ku pastika jantungku berhenti
berdetak beberapa detik juga. Aku juga sempat melihat senyummu yang begitu ku
rindukan. Senyummu yang terus hadir dan membayangi mimpiku setiap malam. Aku
melihatnya hari ini. Kamu benar-benar nyata dihadapanku. Berdiri membelakangiku
seperti layaknya aku tak ada. Iya, itulah kamu sekarang. Pria yang dahulu
sempat membahagiakanku, kini seperti dengan mudah meniadakan semua yang pernah
kita lakukan bersama. Iya, itulah kamu sekarang.
Aku
melihatmu berjalan perlahan sambil membawa keyboard kesayanganmu itu menuju
panggung. Aku masih memandangmu dari kejauhan. Melihatmu tajam. Benar-benar
tajam. Aku mengamati setiap langkahmu sebelum menaiki panggung itu. Aku melihat
setiap centi gerak gerikmu sampai kamu siap memainkan beberapa lagu. Sementara
aku, aku mempersiapkan kekuatan hati kuar biasa sebelum aku berniat mendekat.
Aku mempersiapkan ketegaran dan semuanya agar aku tak mengenal air mata untuk
sesaat. Setelah aku merasa kuat, aku berjalan mendekat. Berharap melihatmu
jelas. Dan aku benar-benar melihatmu nyata dan jelas. Aku tak ingin menoleh
sedikitpun dari tempatku berdiri. Aku sangat bahagia ketika aku bisa melihatmu
leluasa di atas panggung meski artinya sama aja aku menyakiti hatiku sendiri.
Aku juga tak berniat mengedipkan mata hanya agar aku tak kehilanganmu sedetik
saja. Aku terus melihatmu sampai kuatku melemah. Aku melihatmu hingga aku
benar-benar tak sadar aku telah berurai air mata. Aku benar-benar tak menyadari
semuanya. Semua berjalan begitu saja. Iya, tanpa sadar.
Sempat
terbesit beberapa kata yang ingin ku ucap ketika kamu duduk sendiri di sudut
lapangan. Aku ingin menemuimu. Mengijinkan mataku bertemu dengan matamu.
Mengijinkan hatiku untuk merasakan debar yang luar biasa. Aku ingin.
Benar-benar ingin. Tapi sikapmu menyilaukan. Kamu bahkan tak ingin berbincang
meski hanya beberapa detik denganku. Tak ingin melihatku dan terus berusaha
tidak peduli akan hadirku. Terus saja seperti itu. Kekuatan hatiku sebenarnya
telah melemah. Aku sudah tak sekuat dan setegar di awal kita bertemu. Aku sudah
kehilangan banyak rasa dan bahagia hingga aku hanya mampu memberikan air mata.
Aku bahkan hanya bisa membisu ketika hatiku menjerit karena merindukanmu. Aku
sangat merindukan moment-moment seperti ini. Aku sangat merindukan kehadiranmu
sebagai seorang pria yang ku miliki.
Aku
kini mulai melemah. Aku tak kuat melihat sikap acuhmu yang tak bisa ku
jelaskan. Aku yakin suatu saat nanti kita kan bertemu. Bersama kembali. Aku
yakin. Mungkin saat ini kita memang sedang dijauhkan. Percayalah, kita sedang
diuji. Kita sedang diberi cobaan untuk kebahagiaan besar. Dan percayalah,
permainan keyboardmu tadi bukan yang terakhir untukku. Kita pasti akan bertemu
lagi. Pasti.
Magelang, 28 Nopember 2013
Annisa Ulfah Miah