Kamis, 28 November 2013

Permainan Keyboardmu Bukan yang Terakhir

            Disini. Di sudut lapangan ini. Aku hanya bisa melihatmu dari sini. Aku melihatmu nyata di hadapanku. Berbalut kaos hitam, celana tigaperempat, dan sepatu cats. Iya, aku tahu itu adalah gaya andalanmu ketika kamu beraksi. Aku sengaja memperhatikanmu selagi kamu sibuk berbincang dengan yang lain. Aku juga sengaja mencuri pandanganmu ketika kamu duduk sendiri sambil menghisap rokok yang ada ditanganmu. Aku tahu, kamu tak pernah mngacuhkan keberadaanku. Kamu juga tak perduli bahwa aku sempat berurai air mata sebelum aku benar-benar kuat melihatmu. Aku tahu. Kamu hanya mencampakkan hadirku.

            Kini kita benar-benar bertemu dalam waktu yang sama. Bertemu dalam satu ruang yang sama pula. Aku membayangkan seperti selaknya kita bertemu seperti biasa yang dibalut canda dan tawa. Pertemuan manis selayaknya kita dahulu ketika kita masih menjadi kita. Namun, ternyata itu berubah seketika. Aku seperti tak mengenalmu. Bahkan, kamu seperti orang asing yang sama sekali belum pernah ku kenal. Kamu menengok kepadaku saja enggan. Menatapku apa lagi. Kamu seperti bertemu dengan seseorang yang sangat kamu benci. Seburuk itukah aku dimatamu? Tanpa kamu menjawabnya, aku juga sudah tahu bahwa kamu sebenarnya tak inginkan kehadiranku disini.

            Disana, mata kita sempat bertatapan beberapa detik. Ku pastika jantungku berhenti berdetak beberapa detik juga. Aku juga sempat melihat senyummu yang begitu ku rindukan. Senyummu yang terus hadir dan membayangi mimpiku setiap malam. Aku melihatnya hari ini. Kamu benar-benar nyata dihadapanku. Berdiri membelakangiku seperti layaknya aku tak ada. Iya, itulah kamu sekarang. Pria yang dahulu sempat membahagiakanku, kini seperti dengan mudah meniadakan semua yang pernah kita lakukan bersama. Iya, itulah kamu sekarang.

            Aku melihatmu berjalan perlahan sambil membawa keyboard kesayanganmu itu menuju panggung. Aku masih memandangmu dari kejauhan. Melihatmu tajam. Benar-benar tajam. Aku mengamati setiap langkahmu sebelum menaiki panggung itu. Aku melihat setiap centi gerak gerikmu sampai kamu siap memainkan beberapa lagu. Sementara aku, aku mempersiapkan kekuatan hati kuar biasa sebelum aku berniat mendekat. Aku mempersiapkan ketegaran dan semuanya agar aku tak mengenal air mata untuk sesaat. Setelah aku merasa kuat, aku berjalan mendekat. Berharap melihatmu jelas. Dan aku benar-benar melihatmu nyata dan jelas. Aku tak ingin menoleh sedikitpun dari tempatku berdiri. Aku sangat bahagia ketika aku bisa melihatmu leluasa di atas panggung meski artinya sama aja aku menyakiti hatiku sendiri. Aku juga tak berniat mengedipkan mata hanya agar aku tak kehilanganmu sedetik saja. Aku terus melihatmu sampai kuatku melemah. Aku melihatmu hingga aku benar-benar tak sadar aku telah berurai air mata. Aku benar-benar tak menyadari semuanya. Semua berjalan begitu saja. Iya, tanpa sadar.

            Sempat terbesit beberapa kata yang ingin ku ucap ketika kamu duduk sendiri di sudut lapangan. Aku ingin menemuimu. Mengijinkan mataku bertemu dengan matamu. Mengijinkan hatiku untuk merasakan debar yang luar biasa. Aku ingin. Benar-benar ingin. Tapi sikapmu menyilaukan. Kamu bahkan tak ingin berbincang meski hanya beberapa detik denganku. Tak ingin melihatku dan terus berusaha tidak peduli akan hadirku. Terus saja seperti itu. Kekuatan hatiku sebenarnya telah melemah. Aku sudah tak sekuat dan setegar di awal kita bertemu. Aku sudah kehilangan banyak rasa dan bahagia hingga aku hanya mampu memberikan air mata. Aku bahkan hanya bisa membisu ketika hatiku menjerit karena merindukanmu. Aku sangat merindukan moment-moment seperti ini. Aku sangat merindukan kehadiranmu sebagai seorang pria yang ku miliki.
            Aku kini mulai melemah. Aku tak kuat melihat sikap acuhmu yang tak bisa ku jelaskan. Aku yakin suatu saat nanti kita kan bertemu. Bersama kembali. Aku yakin. Mungkin saat ini kita memang sedang dijauhkan. Percayalah, kita sedang diuji. Kita sedang diberi cobaan untuk kebahagiaan besar. Dan percayalah, permainan keyboardmu tadi bukan yang terakhir untukku. Kita pasti akan bertemu lagi. Pasti.


Magelang, 28 Nopember 2013

Annisa Ulfah Miah

Rabu, 27 November 2013

Seminggu Pertama Tanpamu

              Kenangan itu belum sirna setelah seminggu ini. Kenangan indah yang sempat kita lukis bersama dalam dimensi keabadian. Kenangan yang sebelumnya akan menjadi cerita pengantar tidur bagi anak kita nanti. Serta kenangan yang selalu kita banggakan selama ini. Iya, kini semua hanya tinggal cerita usang. Cerita yang gagal kita ceritakan pada anak kita nanti. Cerita yang hanya menjadi angan semu.

               Seminggu setelah kamu pergi. Aku masih berurai air mata dan tak kenal apa itu bahagia. Apa itu keikhlasan dan kenyataan. Aku masih menutup diri dan pikiran. Aku masih menguncinya dengan kasih sayang luar biasa atas nama kamu. Pria yang menorehkan luka dalam yang berbekas. Pria yang sebelumnya juga memberiku bahagia dan suka cita. Iya, pria yang aku maksud adalah kamu.

               Ini adalah seminggu yang sulit bagiku. Seminggu yang membuatku hancur luar biasa. Seminggu yang membawaku pada angan semu tanpa nyata. Seminggu yang benar-benar menguji kesabaranku. Dan ini adalah seminggu pertama tanpa kamu. Selama seminggu ini aku benar-benar merindukanmu walau kau tak pernah mau tahu. Bahkan diam-diam aku mencari jawaban kepergianmu yang begitu saja. Bertanya pada semua hal yang aku temui. Mereka bilang aku ini gila. Gila karena menanyakan pada waktu. Ya, kini aku hanya bisa memendam rindu yang sebenarnya hanya mampu memberikan sakit luar biasa. Tapi aku bahagia. Aku bahagia merindukan pria sepertimu. Setidaknya kamu sempat menghiasi hidupku tanpa cela. Memberikan warna-warna indah yang sebelumnya tak pernah ku lukis dalam kanvas kehidupanku. Kamu yang sebenarnya banyak memberikan perubahan padaku, pada hatiku, fikiranku, dan segalanya.
Ingatanku tentangmu sudah terlampau kuat. Kenangan yang indah ketika kamu disampingku masih jelas tergambar walaupun dalam bayang-bayang. Ketika suka cita itu datang, kamu bahkan menjadi bukan kamu. Kamu sempat menjelma sebagai sumber kebahagiaan dan tawaku. Aku tak mungkin memungkiri hal itu. Aku jelas ingat ketika tingkahmu yang tolol dan konyol itu melukis senyum indah di bibirku. Menorehkan ribuan kenangan indah yang memenuhi pikiranku. Atau mungkin saat kita pergi mencari angin segar bersama. Perhatian kecilmu itu membuat hatiku mendayu. Perlakuan manismu itu juga membuatku seakan menjadi tujuanmu. Iya, tujuanmu untuk selamanya. Bukan untuk sementara.

              Aku berharap agar kamu dan aku menjadi kita. Menjadi kita kembali suatu saat nanti. Aku berjanji akan membukakan pintu selebar mungkin jika kamu kembali. Aku juga berjanji akan mengajakmu untuk melukis kembali di kanvasku. Kembali mengulang dan membuat kenangan baru sebagai cerita baru untuk anak-anak kita kelak. Aku akan menunggu hingga suatu saat nanti kamu akan mencariku lagi. Membutuhkan ku untuk memberi semangat mengawali hari indahmu seperti sebelumnya. Aku yakin Tuhan akan memberikan bahagia yang luar biasa suatu saat nanti bersamamu. Karena aku tahu, kamulah kuas yang akan tetap member warna indah pada hidupku dahulu, sekarang, dan selamanya.



Magelang, 27 Nopember 2013

Annisa Ulfah Miah