Kamis, 08 Januari 2015

Seandainya Kita Menjemput Mentari




                      Kamu tau? Akan lebih menyenangkan jika bisa bersamamu disini. Akan lebih terasa indah suasana ini jika wajahmu ikut serta membuatnya lebih indah. Rasa-rasanya ingin mendaki bersama menentang medan. Tidak peduli akan lebih lama waktunya, asalkan bersama. Tidak peduli akan terasa lebih lelah, asalkan berdua. Tak peduli jika akan terasa lebih berat, karena aku tau. Menggenggam tanganmu akan membuat perjalanan ini lebih ringan. Tersenyum, bergandengan. Yang penting berdua, bersama.Menikmati setiap jengkal perjalanan. Tapi entah kenapa, kemarin tidak ku ajak kau ikut serta. Mungkin jika aku terlalu ingin, ini hanya akan membebanimu. Entah kenapa aku berpikir aku tidak bisa menjagamu dengan baik. Tidak, lebih baik memang ku urungkan ajakanku. Saat aku merasa belum bisa menjagamu melawan ketinggian. Ini alasan kenapa aku tidak memintamu ikut serta. Diam saja ketika kamu ingin. Sungguh, aku memang ingin berada disini bersamamu, sungguh ingin menatap indahnya gugusan bintang bersama. Sungguh. Aku hanya takut, ya takut tidak bisa menjagamu. Tidak bisa menghalangi dingin yang menerpamu. Ini alasan sebenarnya, jika kamu tau.

                    Jadi kemarin aku tetap berangkat sendiri. Ya sendiri, tetap melangkah. Melihat ladang penduduk, tersenyum kepada mereka yang asyik bekerja. Berkeringat. Sungguh nyaman dengan suasana seperti ini, sejenak meninggalkan beban sekolah. Ya walaupun ini liburan, tapi setidaknya ini bisa jadi liburan yang menyenangkan. Tunggu, menyenangkan? Ah, mungkin tidak semenyenangkan itu. Kamu tahu alasannya bukan? Kenapa jarak kita selalu jauh, selalu ada jarak untuk bekerja membatasi. Hanya dekat dalam ingatan bukan? Asal kau tau, aku selalu mengingatmu walau aku sering mempermasalahkan jarak. Tapi kali ini bukan jarak yang jadi masalah, kamu tau itu. Lupakan, mungkin benar ini tidak semenyenangkan yang aku kira.

                    Sudah tiga jam aku berjalan, terlihat tanda bertuliskan pos tiga. Aku memutuskan berhenti, mendirikan tenda. Tidak banyak yang mendaki kali ini, hanya beberapa pendaki yang terlihat mendirikan tenda. Beberapa menyapa, tersenyum. Aku membalas. Setelah beres, aku duduk di atas matras. Memakan mie dengan cepat supaya tidak terlanjur dingin. Sambil menikmati suguhan bintang yang bertebar luas. Indah. Tapi selalu, akan jauh lebih indah jika bisa menyenderkan kepala ini di pundakmu. Bercerita bersama. Sungguh, sudah kuduga ini tidak semenyenangkan yang aku kira. Sudah jelas pikiranku terpecah, tidak disini. Cukup, aku memutuskan tidur. Akan semakin rumit jika terlalu dipikirkan, toh sekeras apapun otak ini bekerja membayangkan, tidak akan merubah kenyataan. Serba salah. Kau tau itu. Malam ini, aku ingin memelukmu dalam dingin. Sungguh, kau tau itu bukan?

      Suara alarm bising menggetarkan, pukul dua pagi. Rasanya dingin tetap menusuk meski sudah di dalam tenda. Dingin sekali. Aku malas-malas memasukan barang yang akan aku bawa kedalam tas carrier. Menyiapkan senter, lantas keluar. Lebih terasa dingin, sial. Embun pagi sungguh bekerja dengan baik untuk membuat tempat ini lebih dingin. Aku harus bergegas. Aku harus sampai puncak saat matahari pagi menyapa. Aku sudah berjanji. Ini terlihat lebih sepi dari biasanya, hanya beberapa pendaki yang mendahului langkahku. Menyapa. Aku membalas senyum, mengikuti. Aku terus bergerak, akan terasa dingin jika diam terlalu lama. Tapi bukan soal dingin yang jadi masalah. Aku harus sampai di atas tepat waktu. Ada permintaan yang harus aku penuhi. Iya aku masih ingat. Saat mentari pagi keluar nanti, aku akan mengabadikannya. Titipan kecil. Aku memperlambat langkah melintasi padang bunga abadi. Bunga yang hanya akan muncul di ketinggian gunung. Yang akan besar dengan sinar matahari penuh. Jika sekali mekar, dia akan selalu begitu. Tak ingin layu, tak ingin mati. Tetap gagah bermekaran. Indah, harum. Kali ini aku hanya berdiri melihat, enggan memetik. Teringat sesuatu, aku harus bergegas. Sedikit lagi.

   Hingga pada saatnya, aku sudah berada disini. Melihat semburat merah yang mengawali. Detik-detik berharga. Hingga sang mentari perlahan menyembul gagah, kemerahan. Indah, begitu indah malah. Dan kau tau? Aku lebih suka untuk membawamu langsung kesini, melihatnya. Sungguh, aku ingin menikmati ini berdua.  Melihatmu tersenyum, melihatmu terkagum. Sama halnya bunga abadi itu, aku tidak ingin membawakannya untukmu. Sungguh, aku ingin membawamu langsung kepadanya. Membiarkan kau mencium sendiri harumnya. Sungguh aku sangat ingin sekali bersamamu disini. Kau tau itu, bukan? Selalu ada alasan sebenarnya. Selalu.



"This post was written by My Dhul. Thanks for everything you've given. Don't forget to take me there. Keep writing. Cause I would always be the first reader."