Sabtu, 29 November 2014

Harapan Langit Langit Kamar





 Malam itu entah mengapa, rasa-rasanya aku enggan memejamkan mata. Masih ingin berkhayal. Masih ingin menggantungkan harapan di langit-langit kamar. Berharap ada malaikat datang kemudian dengan sukarela mengubahnya menjadi nyata. Ya, andai saja. Lebih menyenangkan lagi bila ada dia. Iya, dia. Pria khayalan yang entah hingga saat ini benar-benar meracuni pikiranku. Dia tak banyak bicara, apalagi berkisah tentang hidupnya. Seperti pria normal lainnya, ia tetap memiliki daya tarik luar biasa. Khusunya bagiku. Sialnya, dia benar-benar meracuni segalanya. Meracuni pikiranku. Membuatku tak henti memikirkan betapa beruntungnya aku mengenalnya. Mungkin aku adalah orang paling beruntung. Meski aku tak perah bertatap mata, tak pernah merasakannya dalam nyata, tapi aku yakin. Dia sungguh akan menjadi nyata bagiku. Tak puas meracuni pikiranku, ia begitu saja berjalan ke hatiku. Seperti racun yang melesat sepersekian detik hingga akhirnya ia bisa menyentuh hatiku. Ya, racun yang lembut. Menggores pelan dan tanpa luka. Seperti itu saja. Aku nyaman merasakannya, atau memang aku ingin merasakannya? Entah. Aku masih belum tahu. Yang jelas, aku sudah merasakan betapa aku tersengat hebat olehnya.

Selarut ini aku masih enggan terpejam. Masih ada banyak harapan yang ingin aku gantungkan di langit-langit kamar. Banyak sekali. Harapan tentang perasaan. Oya, percaya atau tidak, entah sejak kapan namanya sudah mulai tersebut dalam doaku. Mangadahkan tangan, menyapa Tuhan dengan lembut. Berdoa. Kemudian tiba-tiba namanya tersebut. Tidak, bukan tersebut. Mungkin lebih tepatnya menyebut. Ya begitulah. Aku menggantungkan namanya dengan keadaan berbeda. Dengan doa. Dengan perasaan hati yang penuh dengan sukacita. Ya, semua itu begitu saja. Aku juga tidak mengerti mengapa kini namanya harus selalu aku sebut dalam doa. Selalu muncul setelah aku menyebut nama ayah dan nama ibu. Dia mendadak menjadi orang yang penting bagiku. Ya, kini racunnya memang sudah berhasil mengikatku sepenuhnya. Berhasil dengan sempurna.

Mungkin semua orang akan menertawakanku. Bagaimana mungkin aku bisa menggantungkan semua harapan pada langit-langit kamar. Sungguh berambisi akan menjadikannya menjadi kenyataan. Mungkin semua akan berpikir aku gila. Aku kurang kerjaan, atau apalah. Tapi lihatlah, bukankah Tuhan tak pernah meminta bayaran ketika kita menggantungkan harapan? Tapi, ia selalu bisa melakukannya. Membuat semua harapan itu berubah menjadi nyata. Hanya dengan sedikit kesabaran. Ya, sedikit kesabaran dan rasa yakin. Dan itulah yang sedang aku terapkan. Yakin dan sabar. Kelak, semua akan menjadi nyata. Dia, tak akan hanya hadir dalam seruan dering handphone. Tak hanya hadir dalam suara singkat setiap malam. Tapi, akan benar-benar hadir dengan nyata. Berdiri tegak disampingku. Melindungiku. Membelai halus rambutku. Ya, semua itu. Semua itu nyata! Namun tidak untuk saat ini. 

Aku benar-benar menaruh setumpuk harapan padanya. Tak hanya dilangit-langit kamar. Tak hanya untaian doa dengan namanya. Tidak. Aku benar-benar menyukainya, hingga aku berani menaruh banyak harapan padanya. Aku tidak lelah menunggunya hingga larut malam. Aku bahagia membaca pesan singkatnya setiap hari. Aku sangat tersipu ketika perhatiannya menyapaku lembut. Wanita mana yang tak suka diperlakukan bak seorang putri? Diagungkan, diistimewakan. Aku selalu merasa aku adalah putri baginya. Yang ingin mendapat pelukan hangat. Yang ingin membuatnya jengkel dengan sedikit rengekkan. Yang tak mau pergi jauh hanya karena masih rindu. Ya, namun sekali lagi, itu belum nyata. 

Menatap langit-langit kamar terus menerus membuatku rindu. Rindu kepadanya. Entahlah, kali ini rasa rinduku adalah nyata. Aku rindu melihatnya duduk sendiri bersama tumpukan buku yang rapi. Melihatnya mengusap rambut perlahan karena pening. Mengamatinya ketika ia bergurau dan melempar senyum. Sungguh aku rindu! Tak sabar rasanya aku menunggu saat itu tiba. Saat semua harapan langit-langit kamar menjadi nyata. Saat semua angan-angan yang omong kosong menjadi buah perbincangan. Aku tak sabar. Langit-langit kamar yang semakin redup memaksaku untuk terpejam. Memaksaku menutup mata. Mengistirahatkan pikiran dan berhenti untuk berharap. Atau mngkin sebenarnya ia terlampau lelah? Menampung semua harapanku dan khayalanku yang mungkin tak masuk akal? Atau tunggu dulu, jangan-jangan dia bosan? Bosan mendengar aku mengucap namanya ribuan kali. Bosan mendengar namanya yang selalu aku bawa-bawa dalam doa. Langit-langit kamar meski semakin redup, aku sungguh tahu ia sebenarnya lelah. Lihatlah, sudah berapa banyak harapan yang aku gantungkan? Sudah berapa lama aku memandangnya berharap semua akan nyata, nyata, dan nyata. 

Maaf. Maafkan aku. Mungkin aku terlampau bersemangat untuk mengubah semua harapan konyol itu menjadi nyata. Tapi percayalah, aku sungguh ingin mengubahnya menjadi nyata. Mengubah dia menjadi benar-benar ada. Tidak hanya hadir sebagai pecundang. Hanya berada dalam angan. Aku sungguh ingin melihat senyum itu bukan khayalan. Aku sungguh ingin menatapnya lebih dalam. Menyelami matanya. Menemukan racun yang selama ini aku rasakan. Aku sungguh ingin ikut mengusap rambutnya. Menawarkan sapu tangan untuk membasuh peluhnya. Aku sungguh ingin melakukannya! 

Baiklah, aku harus berhenti. Semua harus selesai. Langit-langit kamar, aku tahu semua akan selalu nyata. Dan kini aku sudah menemukan jawabannya.....
Semua akan selalu nyata ketika berkhayal harus aku ubah dengan tindakan.

Annisa Ulfah Miah


29 November 2014