Malam itu entah mengapa, rasa-rasanya aku enggan
memejamkan mata. Masih ingin berkhayal. Masih ingin menggantungkan harapan di
langit-langit kamar. Berharap ada malaikat datang kemudian dengan sukarela
mengubahnya menjadi nyata. Ya, andai saja. Lebih menyenangkan lagi bila ada
dia. Iya, dia. Pria khayalan yang entah hingga saat ini benar-benar meracuni
pikiranku. Dia tak banyak bicara, apalagi berkisah tentang hidupnya. Seperti
pria normal lainnya, ia tetap memiliki daya tarik luar biasa. Khusunya bagiku.
Sialnya, dia benar-benar meracuni segalanya. Meracuni pikiranku. Membuatku tak
henti memikirkan betapa beruntungnya aku mengenalnya. Mungkin aku adalah orang
paling beruntung. Meski aku tak perah bertatap mata, tak pernah merasakannya
dalam nyata, tapi aku yakin. Dia sungguh akan menjadi nyata bagiku. Tak puas
meracuni pikiranku, ia begitu saja berjalan ke hatiku. Seperti racun yang
melesat sepersekian detik hingga akhirnya ia bisa menyentuh hatiku. Ya, racun
yang lembut. Menggores pelan dan tanpa luka. Seperti itu saja. Aku nyaman
merasakannya, atau memang aku ingin merasakannya? Entah. Aku masih belum tahu.
Yang jelas, aku sudah merasakan betapa aku tersengat hebat olehnya.
Selarut ini aku masih enggan terpejam. Masih ada
banyak harapan yang ingin aku gantungkan di langit-langit kamar. Banyak sekali.
Harapan tentang perasaan. Oya, percaya atau tidak, entah sejak kapan namanya
sudah mulai tersebut dalam doaku. Mangadahkan tangan, menyapa Tuhan dengan
lembut. Berdoa. Kemudian tiba-tiba namanya tersebut. Tidak, bukan tersebut.
Mungkin lebih tepatnya menyebut. Ya begitulah. Aku menggantungkan namanya
dengan keadaan berbeda. Dengan doa. Dengan perasaan hati yang penuh dengan
sukacita. Ya, semua itu begitu saja. Aku juga tidak mengerti mengapa kini
namanya harus selalu aku sebut dalam doa. Selalu muncul setelah aku menyebut
nama ayah dan nama ibu. Dia mendadak menjadi orang yang penting bagiku. Ya,
kini racunnya memang sudah berhasil mengikatku sepenuhnya. Berhasil dengan
sempurna.
Mungkin semua orang akan menertawakanku. Bagaimana
mungkin aku bisa menggantungkan semua harapan pada langit-langit kamar. Sungguh
berambisi akan menjadikannya menjadi kenyataan. Mungkin semua akan berpikir aku
gila. Aku kurang kerjaan, atau apalah. Tapi lihatlah, bukankah Tuhan tak pernah
meminta bayaran ketika kita menggantungkan harapan? Tapi, ia selalu bisa
melakukannya. Membuat semua harapan itu berubah menjadi nyata. Hanya dengan
sedikit kesabaran. Ya, sedikit kesabaran dan rasa yakin. Dan itulah yang sedang
aku terapkan. Yakin dan sabar. Kelak, semua akan menjadi nyata. Dia, tak akan hanya
hadir dalam seruan dering handphone. Tak hanya hadir dalam suara singkat setiap
malam. Tapi, akan benar-benar hadir dengan nyata. Berdiri tegak disampingku. Melindungiku.
Membelai halus rambutku. Ya, semua itu. Semua itu nyata! Namun tidak untuk saat
ini.
Aku benar-benar menaruh
setumpuk harapan padanya. Tak hanya dilangit-langit kamar. Tak hanya untaian doa
dengan namanya. Tidak. Aku benar-benar menyukainya, hingga aku berani menaruh
banyak harapan padanya. Aku tidak lelah menunggunya hingga larut malam. Aku bahagia
membaca pesan singkatnya setiap hari. Aku sangat tersipu ketika perhatiannya
menyapaku lembut. Wanita mana yang tak suka diperlakukan bak seorang putri? Diagungkan,
diistimewakan. Aku selalu merasa aku adalah putri baginya. Yang ingin mendapat
pelukan hangat. Yang ingin membuatnya jengkel dengan sedikit rengekkan. Yang tak
mau pergi jauh hanya karena masih rindu. Ya, namun sekali lagi, itu belum nyata.
Menatap langit-langit kamar terus menerus
membuatku rindu. Rindu kepadanya. Entahlah, kali ini rasa rinduku adalah nyata.
Aku rindu melihatnya duduk sendiri bersama tumpukan buku yang rapi. Melihatnya mengusap
rambut perlahan karena pening. Mengamatinya ketika ia bergurau dan melempar
senyum. Sungguh aku rindu! Tak sabar rasanya aku menunggu saat itu tiba. Saat semua
harapan langit-langit kamar menjadi nyata. Saat semua angan-angan yang omong
kosong menjadi buah perbincangan. Aku tak sabar. Langit-langit kamar yang
semakin redup memaksaku untuk terpejam. Memaksaku menutup mata. Mengistirahatkan
pikiran dan berhenti untuk berharap. Atau mngkin sebenarnya ia terlampau lelah?
Menampung semua harapanku dan khayalanku yang mungkin tak masuk akal? Atau tunggu
dulu, jangan-jangan dia bosan? Bosan mendengar aku mengucap namanya ribuan
kali. Bosan mendengar namanya yang selalu aku bawa-bawa dalam doa. Langit-langit
kamar meski semakin redup, aku sungguh tahu ia sebenarnya lelah. Lihatlah,
sudah berapa banyak harapan yang aku gantungkan? Sudah berapa lama aku
memandangnya berharap semua akan nyata, nyata, dan nyata.
Maaf. Maafkan aku. Mungkin aku terlampau
bersemangat untuk mengubah semua harapan konyol itu menjadi nyata. Tapi percayalah,
aku sungguh ingin mengubahnya menjadi nyata. Mengubah dia menjadi benar-benar
ada. Tidak hanya hadir sebagai pecundang. Hanya berada dalam angan. Aku sungguh
ingin melihat senyum itu bukan khayalan. Aku sungguh ingin menatapnya lebih
dalam. Menyelami matanya. Menemukan racun yang selama ini aku rasakan. Aku sungguh
ingin ikut mengusap rambutnya. Menawarkan sapu tangan untuk membasuh peluhnya. Aku
sungguh ingin melakukannya!
Baiklah, aku harus berhenti. Semua harus selesai.
Langit-langit kamar, aku tahu semua akan selalu nyata. Dan kini aku sudah
menemukan jawabannya.....
Semua akan selalu nyata ketika berkhayal harus aku ubah dengan tindakan.Annisa Ulfah Miah
29 November 2014