Malam yang indah. Langit
yang hitam pekat dihiasi oleh bintang-bintang kecil yang manis menjadi daya
tarik tersendiri. Pancaran cahaya dari puluhan lampion yang ada di sekitarku,
membentuk sebuah bayangan hitam besar yang seakan mengikutiku. Iya, bayanganku
sendiri. Angin yang terus bertiup perlahan menghempas tubuh mungilku. Tak peduli
seberapa kencangnya, aku tetap berjalan perlahan mendekati sumber suara
keroncong yang menggema pelan di ujung sana.
Di tengah-tengah puluhan lampion, ada sebuah panggung
kecil yang berdiri. Sederhana memang, namun tetap memberikan kesan berbeda. Panggung
itu tidak lebar. Tidak juga penuh dengan sound system yang berderet
dimana-mana. Tidak ada banner besar seperti layaknya konser tunggal. Ini adalah
panggung sederhana yang hanya digunakan untuk pentas musisi lokal tradisional. Meski
sederhana, panggung ini tetap menjadi daya tarik tersendiri bagiku dan bagi
orang lain yang saat ini ikut berdiri dan menatap tajam ke arah panggung. Dari sekian
banyak manusia yang ikut melihat ke arah panggung, ada yang hanya sekedar
melihat-lihat. Ada yang memang sengaja ingin melihat penampilan kekasih dan
kerabatnya. Ada pula yang datang hanya untuk melepas rindu. Iya, seperti yang
aku lakukan. Merindukan seorang penyanyi keroncong yang suaranya sudah pasti
menggetarkan hatiku. Pria sederhana yang selalu membawa blangkon di kepalanya sudah
berhasil membuatku datang ke taman lampion setiap minggu. Entahlah, aku juga
tidak mengenalnya tapi rasanya hati ini selalu menggebu ingin bertemu. Aku berjalan
maju mendekati panggung. Menunggu penampilan pria sederhana itu bersama grup
keroncongnya. Mataku melirik ke segala arah. Sesekali aku menengok ke kanan dan
ke kiri. Terselip harapan ketika aku menghadap ke arah panggung lagi, aku sudah
bisa melihatnya duduk dan mulai melantunkan lagu keroncong dengan merdunya.
Pria manis itu masih belum nampak. Mungkinkah ia terlambat?
Bisa jadi. Aku hafal benar jadwal penampilannya. Ia selalu memulai performnya
setiap pukul delapan malam. Kadang juga lebih. Tapi entahlah sudah hampir pukul
setengah sembilan malam, pria sederhana itu belum menampakkan diri. Aku terus
menatap tajam ke arah panggung kecil itu. Grup keroncong lain sudah
berkali-kali membawakan lagu yang berbeda. Aku masih terus menunggu. Berharap pria
itu datang dan melantunkan suara andalannya itu. Aku sudah rindu hatiku dibuat
gemetar olehnya. Aku rindu melihat stylenya yang benar-benar membuatku semakin
jatuh cinta. Aku juga rindu akan senyum manis yang selalu ia kembangkan di
sela-sela bernyanyinya. Aku sangat rindu merasakan hal itu. Hal yang mungkin
baginya hanyalah hal sepele yang biasa saja. Namun bagiku itu adalah hal yang
luar biasa.
Ini adalah minggu kesembilanku aku kembali ke taman
lampion hanya untuk mengobati rindu. Selama ini, pria sederhana itu tidak
pernah terlambat untuk muncul dihadapanku. Tapi entahlah, ada apa dengan minggu
kesembilan ini? Kenapa dia tak hadir dan tak menyumbangkan suara indahnya di
hadapanku. Tidak datang untuk bertatap muka denganku. Sadarkah? Pria sederhana
itu menambah rindu ini semakin menggebu. Aku melirik jam tangan, sudah hampir
jam sembilan malam. Namun, dia belum juga datang. Sudah hampir dua kali aku
melihat pergantian grup keroncong di panggung sederhana ini. Aku berharap sosok
pria itu terselip di antara yang lain. Namun sayangnya, tidak. Aku rasa dia
memang tidak datang malam ini.
Aku memutuskan meninggalkan panggung. Berjalan ke arah utara
bersama bayanganku sendiri. Muncul rasa kecewa yang tidak bisa dijelaskan. Rasa
kecewa yang bercampur rindu yang sungguh sangat menyiksa. Ketika aku hampir
sampai di pintu keluar, ada sosok yang mengagetkanku. Sosok pria sederhana itu
yang berjalan dengan seorang wanita yang entah siapa namanya. Diantara mereka
terselip canda dan senyum bahagia yang berhasil membuat hatiku tumbang. Pria yang
selama ini selalu berhasil mengambil waktuku di setiap minggu hanya untuk mengobati
rindu ternyata sekarang memberi luka yang luar biasa. Mingguku yang pertama
sampai yang kedelapan adalah minggu yang paling indah. Minggu yang paling
manis. Terimakasih pria sederhana. Kini, minggu ke sembilanku yang akan menjadi
minggu yang terakhir aku datang ke taman lampion untuk mengobati rinduku. Karena
untuk minggu ke sepuluh dan seterusnya aku tidak akan datang lagi.
Aku mengalihkan pandangan. Menghapus beberapa air mata
yang sempat menetes. Aku tidak berani melihat kebelakang lagi. Melihat pria
sederhana yang selama ini aku tunggu ternyata memiliki bidadari lain. Aku rasa,
aku memang sudah seharusnya berhenti. Menutup buku dan menjadikan pria
sederhana itu salah satu bab penting dalam cerita di buku hidupku.
Annisa Ulfah Miah
30 Januari 2014