Kamis, 30 Januari 2014

Menanti Seorang Pria Sederhana



                                       ???????????????

             Malam yang indah. Langit yang hitam pekat dihiasi oleh bintang-bintang kecil yang manis menjadi daya tarik tersendiri. Pancaran cahaya dari puluhan lampion yang ada di sekitarku, membentuk sebuah bayangan hitam besar yang seakan mengikutiku. Iya, bayanganku sendiri. Angin yang terus bertiup perlahan menghempas tubuh mungilku. Tak peduli seberapa kencangnya, aku tetap berjalan perlahan mendekati sumber suara keroncong yang menggema pelan di ujung sana.

            Di tengah-tengah puluhan lampion, ada sebuah panggung kecil yang berdiri. Sederhana memang, namun tetap memberikan kesan berbeda. Panggung itu tidak lebar. Tidak juga penuh dengan sound system yang berderet dimana-mana. Tidak ada banner besar seperti layaknya konser tunggal. Ini adalah panggung sederhana yang hanya digunakan untuk pentas musisi lokal tradisional. Meski sederhana, panggung ini tetap menjadi daya tarik tersendiri bagiku dan bagi orang lain yang saat ini ikut berdiri dan menatap tajam ke arah panggung. Dari sekian banyak manusia yang ikut melihat ke arah panggung, ada yang hanya sekedar melihat-lihat. Ada yang memang sengaja ingin melihat penampilan kekasih dan kerabatnya. Ada pula yang datang hanya untuk melepas rindu. Iya, seperti yang aku lakukan. Merindukan seorang penyanyi keroncong yang suaranya sudah pasti menggetarkan hatiku. Pria sederhana yang selalu membawa blangkon di kepalanya sudah berhasil membuatku datang ke taman lampion setiap minggu. Entahlah, aku juga tidak mengenalnya tapi rasanya hati ini selalu menggebu ingin bertemu. Aku berjalan maju mendekati panggung. Menunggu penampilan pria sederhana itu bersama grup keroncongnya. Mataku melirik ke segala arah. Sesekali aku menengok ke kanan dan ke kiri. Terselip harapan ketika aku menghadap ke arah panggung lagi, aku sudah bisa melihatnya duduk dan mulai melantunkan lagu keroncong dengan merdunya.

            Pria manis itu masih belum nampak. Mungkinkah ia terlambat? Bisa jadi. Aku hafal benar jadwal penampilannya. Ia selalu memulai performnya setiap pukul delapan malam. Kadang juga lebih. Tapi entahlah sudah hampir pukul setengah sembilan malam, pria sederhana itu belum menampakkan diri. Aku terus menatap tajam ke arah panggung kecil itu. Grup keroncong lain sudah berkali-kali membawakan lagu yang berbeda. Aku masih terus menunggu. Berharap pria itu datang dan melantunkan suara andalannya itu. Aku sudah rindu hatiku dibuat gemetar olehnya. Aku rindu melihat stylenya yang benar-benar membuatku semakin jatuh cinta. Aku juga rindu akan senyum manis yang selalu ia kembangkan di sela-sela bernyanyinya. Aku sangat rindu merasakan hal itu. Hal yang mungkin baginya hanyalah hal sepele yang biasa saja. Namun bagiku itu adalah hal yang luar biasa.

            Ini adalah minggu kesembilanku aku kembali ke taman lampion hanya untuk mengobati rindu. Selama ini, pria sederhana itu tidak pernah terlambat untuk muncul dihadapanku. Tapi entahlah, ada apa dengan minggu kesembilan ini? Kenapa dia tak hadir dan tak menyumbangkan suara indahnya di hadapanku. Tidak datang untuk bertatap muka denganku. Sadarkah? Pria sederhana itu menambah rindu ini semakin menggebu. Aku melirik jam tangan, sudah hampir jam sembilan malam. Namun, dia belum juga datang. Sudah hampir dua kali aku melihat pergantian grup keroncong di panggung sederhana ini. Aku berharap sosok pria itu terselip di antara yang lain. Namun sayangnya, tidak. Aku rasa dia memang tidak datang malam ini.

            Aku memutuskan meninggalkan panggung. Berjalan ke arah utara bersama bayanganku sendiri. Muncul rasa kecewa yang tidak bisa dijelaskan. Rasa kecewa yang bercampur rindu yang sungguh sangat menyiksa. Ketika aku hampir sampai di pintu keluar, ada sosok yang mengagetkanku. Sosok pria sederhana itu yang berjalan dengan seorang wanita yang entah siapa namanya. Diantara mereka terselip canda dan senyum bahagia yang berhasil membuat hatiku tumbang. Pria yang selama ini selalu berhasil mengambil waktuku di setiap minggu hanya untuk mengobati rindu ternyata sekarang memberi luka yang luar biasa. Mingguku yang pertama sampai yang kedelapan adalah minggu yang paling indah. Minggu yang paling manis. Terimakasih pria sederhana. Kini, minggu ke sembilanku yang akan menjadi minggu yang terakhir aku datang ke taman lampion untuk mengobati rinduku. Karena untuk minggu ke sepuluh dan seterusnya aku tidak akan datang lagi.

            Aku mengalihkan pandangan. Menghapus beberapa air mata yang sempat menetes. Aku tidak berani melihat kebelakang lagi. Melihat pria sederhana yang selama ini aku tunggu ternyata memiliki bidadari lain. Aku rasa, aku memang sudah seharusnya berhenti. Menutup buku dan menjadikan pria sederhana itu salah satu bab penting dalam cerita di buku hidupku.

Annisa Ulfah Miah

30 Januari 2014

Sabtu, 18 Januari 2014

Manisnya Sabtu Sore #1




            Gitar yang sedari tadi aku mainkan seakan mengerti apa yang aku rasakan. Petikan-petikan yang mengandung unsur bahagia di setiap nadanya seakan membuat siapapun yang mendengarnya akan merasakan suka cita. Lagu klasik yang berasal dari Jerman-lah yang sedari tadi aku mainkan berulang-ulang. Entah ada atmosfer apa, rasanya lagu klasik ini selalu membawaku memasuki duniamu. Meskipun hanya dalam dunia maya yang tak nyata dan tak bisa aku lihat sepenuhnya. Meski begitu, rasa bahagia seakan merambat ke seluruh tubuh. Membuat tubuhku merasakan hawa sukacita yang luar biasa.

            Tanganku masih sibuk memetik senar gitar dan mengalunkan nada-nada bahagia yang lainnya. Mataku aku pejamkan. Lembut nada yang ku petik menjalar keseluruh pikiran. Indah dan nyenyak sekali. Aku benar-benar berada dalam sukacita yang selama ini aku impikan. Beberapa detik aku sempat terlelap dalam buaian nada indah yang aku mainkan sendiri. Aku membuka mataku. Masih dengan memetik nada indah yang kali ini temponya lebih lambat. Suasana di Kedai Kopi sore ini membuatku semakin menikmati keadaan yang tercipta secara tak sengaja. Hujan gerimis diluar sana juga membuatku semakin cinta dengan apa yang aku rasakan saat ini.

            Lonceng kedai berbunyi. Pertanda ada seorang pelanggan baru yang ingin menyeduh kopi di kedai ini. Mataku dengan sigap melirik siapa yang datang. Kamu. Pria yang sebenarnya aku tunggu sedari tadi disini dan akhirnya datang. Pertemuan perdana kita adalah tiga minggu yang lalu tepat di kedai ini. Meski di setiap pertemuan kita, kamu tak pernah melirik ke arahku, tapi entah mengapa kekuatan magnetmu begitu kuat menarikku untuk memperhatikanmu setiap detik. Kamu adalah orang baru yang berhasil mengubah suasana hidupku. Kamu, pria itu yang secara misterius mencuri hatiku perlahan-lahan. Entah siapa namamu, yang jelas aku menemukanmu disini. Di kedai kopi andalan kita berdua. Masih dengan memetik nada yang indah, mataku mengawasimu dari kejauhan. Kamu duduk di sudut. Ada majalah yang sengaja kamu bawa kemudian kamu baca. Kamu tampak seperti seorang malaikat yang sukarela menolongku agar aku tak berjalan dalam kekecewaan lebih jauh lagi. Kamu yang berhasil memberikan goresan warna baru di kanvas kehidupanku. Indah sekali memang. Matamu yang selalu tajam meskipun tak menatapku. Tubuhmu yang selalu gagah meskipun tak sedang berhadapan denganku. Senyummu yang bisa membius keadaan menjadi penuh dengan bahagia. Sebuah senyum tipis dari pria hitam manis muncul secara sederhana.

            Dengan jari yang masih sibuk memetik lagu klasik yang selalu aku mainkan, aku memandangimu. Aku sudah cukup bahagia melihatmu sore ini. Sungguh, Sabtu sore yang indah. Sama seperti Sabtu sore lalu, dan lalunya lagi, dan lalunya lagi. Sama-sama indah. Sama-sama membuatku bahagia karena kehadiranmu yang membuat suasana hatiku berubah. Mataku masih sibuk mengawasimu. Kali ini, segelas kopi hangat baru saja kamu seduh. Manis sekali. Wajahmu menebar senyum lagi. Meski bukan untukku tapi aku membalasnya. Meski kamu tak tahu dan tak melihatnya. Lagu klasik dengan tempo lambat masih aku mainkan. Berharap kamu menengok sedikit dan melihatku bahwa sebenarnya aku bermain untukmu.
“Ayolah, palingkan wajah indahmu….” Seruku dalam hati. Aku benar-benar tak tahan. Ingin rasanya aku mendekat dan mengetahui namamu. Agar kelak ketika aku melihatnya lagi, aku bisa menyerukan namamu dan menghampirimu. Sungguh, semua itu akan sangat manis bila benar-benar terjadi.

            Lagu klasik yang sudah aku mainkan berulang kali itu akhirnya aku akhiri. Aku tutup dengan petikan apoyando yang sedikit menggantung. Sementara itu, dengan wajah kecewa aku melihatmu beranjak dari kursi yang ada disudut. Senja yang sudah berganti petang memaksamu untuk mengakhiri waktumu di hadapanku. Aku melihat langkahmu yang berjalan menuju pintu utama dan akhirnya keluar. Ada sekelebat rasa kecewa yang selalu muncul ketika aku tak berhasil menarik perhatianmu saat pertemuan kita. Baiklah, kini aku mulai mengemasi gitarku. Aku masukkan ke dalam tempatnya seperti semula. Kemudian ikut keluar kedai. 

            Sungguh, Sabtu sore yang indah kau berikan padaku sekali lagi. Sampai bertemu di Sabtu sore berikutnya.  Semoga, aku bisa menarik perhatianmu dengan petikan nada indahku. Semoga juga aku bisa mengetahui namamu. Agar aku bisa menyerukan namamu saat kita bertemu lagi, nanti.

Bersambung....

Annisa Ulfah Miah

18 January 2014

Rabu, 08 Januari 2014

Dengan Sukarela Merindu

            




            Kaca yang penuh embun itu sesekali aku gores dengan jemari kecilku. Kemudian, aku usap-usap untuk sesekali melihat keadaan luar yang masih basah. Tetesan air hujan masih terdengar meskipun tak seramai semalam. Meski begitu,  jalanan di depan  tampak becek tak karuan. Awan yang sebenarnya cerah tapi entah mengapa masih saja menurunkan hujan. Sebenarnya aku suka hujan datang. Suka melihat percikan air dimana-mana. Suka merasakan udara dingin yang perlahan melewati tubuh kemudian membalutnya. Hujan sebenarnya menyenangkan. Tapi tidak ketika ia mampu merenggut kebahagiaan.

            Beberapa menit menikmati hujan di balik jendela, cukup membuatku jenuh. Melihat air yang terus saja turun dan membasahi pekarangan yang semakin becek. Membuatku semakin tak berniat menatapnya lagi. Aku beranjak. Meninggalkan goresan yang sempat aku ciptakan tadi di atas embun. Goresan sebuah nama yang aku rindukan. Goresan namamu. Langkahku tertuju pada sebuah benda kecil berwarna biru muda yang duduk rapi di samping meja. Aku ambil benda itu. Aku cermati lalu aku buka. Isinya adalah fotomu. Foto seorang pria dengan tatapan tajam dan senyum lebar mengarah ke wajahku. Tepat ke wajahku. Foto yang memang sengaja sampai sekarang masih aku simpan. Foto yang bisa membuatku mengusap rindu meski tak seberapa. Foto yang indah. Meski telah lama hanya ada di dalam kotak kecil yang berdebu. Tapi wajahnya tetap sama. Tak pernah ada debu sedikitpun. Tak ada.

            Sering aku bertatap muka pada foto itu. Seolah foto itu benda hidup yang bisa aku berikan seluruh ulasan kata hatiku kapan saja. Sempat aku berfikir, seberapa gilakah aku setelah cukup lama bertatap muka pada sebuah foto yang jelas-jelas adalah benda mati yang tak mungkin dapat bicara. Tapi, aku merasakan atmosfer berbeda. Foto itu adalah foto yang indah. Penggantimu setelah kamu pergi bersama hujan waktu itu. Masih segar diingatan. Masih sulit aku leyapkan. Dan sekarang, apa yang sedang kamu lakukan disana? Apa yang sedang membelenggumu sehingga kamu masih enggan kembali? Apakah kamu tidak peka? Disini ada hati yang masih menunggumu kembali. Ada hati yang sering merindu walau hanya terobati oleh foto yang hampir berdebu. Ada otak yang tak mati memikirkanmu dan hanya bisa membawanya ke dalam mimpi. Masih ada wanita yang seperti itu. Seharusnya kamu sadar dan peka. Seharusnya kamu bisa kembali dan membahagiakan wanita itu. Seharusnya.

            Fotomu yang hampir berdebu itu masih aku pandangi tampa henti. Ada cahaya yang tajam menembus mataku. Meski tak nyata, aku sudah cukup merasakan mata kita saling bertemu dan debar yang lama tak aku rasakan itu muncul. Semua seolah-olah nyata dan terjadi pagi ini. Ditemani hujan yang membawaku pada ingatan ketika kamu pergi. Dengan atmosfer bahagia dan kehilangan yang bertautan tanpa henti. Balutan udara yang seperti biasa, menusuk dan membalut lembut bersama suara hujan yang berubah jadi senandung kecil. Bahagia, kecewa, dan kehilangan menghiasi dan tergambar jelas pada langit-langit ruangan pagi ini. Aku adalah wanita yang menunggumu kembali jika kamu mau kembali. Aku adalah wanita yang berusaha menahan rindu sehingga hanya bisa melampiaskannya pada foto mungilmu yang masih aku simpan hingga saat ini. Aku juga wanita yang masih sabar menunggu kamu sadar bahwa hanya akulah wanita yang sukarela merindu tanpa meminta balasan dirindukan. Memikirkanmu tanpa meminta balasan untuk dipikirkan. Masih adakah wanita sukarela sepertiku di kehidupanmu yang sekarang?

Annisa Ulfah Miah

8 Januari 2014

Sabtu, 04 Januari 2014

Tergenang Masa Lalu



       

            Ketika aku berjalan lurus menyusuri pinggiran Kota Jogja, ada sekelebat bayangmu menempel di mataku. Bayangan itu menetap. Sepertinya enggan berpindah. Entahlah, aku juga tak mengerti. Aku biarkan saja bayangan itu menemani langkahku. Aku masih berjalan lurus mencari tempat baru. Tempat yang bisa memberikan semua yang aku inginkan. Seperti kebahagiaan yang nyata, bukan kebahagiaan semu dan sementara. Karena hatiku memang telah lama merasakan kebahagian yang semu. Kebahagiaan yang ku kecap sementara. Dan entahlah, sudah sesering apa aku juga tak tahu. Rasanya penuh dengan ketidakpastian dan sangat pahit.


            Langkahku aku percepat. Berharap sekelebat bayangan itu hilang. Ternyata, lama-lama membiarkan bayangan itu menemani langkahku cukup membuatku tersiksa, terperangkap dalam genangan masa lalu. Tapi apa hasilnya? Bayangan itu malah semakin menempel. Semakin erat dan susah untuk pergi. Aku percepat lagi langkahku, masih untuk harapan yang sama. Cepat, lebih cepat, lebih cepat lagi, lagi, dan lagi. Tapi hasilnya sama. Aku mulai berlari. Menembus angin yang berhembus berlawanan. Semakin berlari, bayangan itu malah semakin erat. Dan kini, menempel dan tersimpan dihati.

            Aku duduk di bangku pojok di bawah pohon yang rindang. Anginnya berhembus tak berhenti. Aku duduk santai setelah lelah berlari kencang. Lalu, lihatlah bayangan itu masih tetap ada. Belum mau beranjak ataupun menghilang. Rasanya sia-sia aku berlari dan melangkah jauh meninggalkan semuanya. Entah berapa kali aku mengabaikan persimpangan yang sudah jelas dapat memberikanku kebahagiaan nyata. Aku malah sibuk berlari hanya untuk melepaskan sekelebat bayangan yang sepertinya tak penting. Hingga aku sampai disini. Di titik puncak. Di ujung lariku. Tetapi tetap saja masih enggan hilang. Masih enggan pergi.

            Ketika aku mengatur nafas yang mulai tersenggal-senggal, aku mulai sedikit tersadar. Sudah berapa lama waktu yang aku sia-siakan untuk berlari. Hanya rasa lelah yang aku dapatkan. Keinginanku sama sekali tak terkabul. Sudah berapa banyak kebahagiaan nyata yang aku abaikan hanya demi sebuah kebahagiaan semu. Hanya rasa sakit dan perih yang aku rasakan. Aku mulai berfikir logis. Sampai kapan aku berlari dan mengabaikan semuanya? Sampai kapan aku terus merasakan rasa lelah sedangkan hal yang aku inginkan tak juga terkabul? Entahlah. Sekelebat bayangan itu bisa juga membuatku seperti ini. Menumbangkan kebahagiaan yang aku rasakan dan menjebakku dalam genangan masa lalu. Padahal hanya sebuah bayangan. Bayangan yang seharusnya bisa aku musnahkan dengan sedikit keikhlasan. Sedikit saja. Namun nyatanya, memberikan sedikit keikhlasan juga tak semudah itu. Bisa jadi kalau aku memaksakan untuk ikhlas, bayangan itu justru tak mau pergi dan terus saja menetap.

            Ya sudah. Aku akan menikmati bayangan ini selagi aku masih bisa merasakannya. Tak akan ada lagi langkah cepat di pinggir Kota Jogja. Tak akan ada lagi persimpangan yang aku abaikan. Karena aku benar-benar butuh bahagia. Semua akan hilang dan musnah. Ketika aku, telah berhasil memberikan sedikit keikhlasan untuk menghilangkan sekelebat bayangan yang hingga saat ini masih hinggap dan memenuhi hati dan pikiranku.


Magelang, 2 Januari 2013
Annisa Ulfah Miah