Rabu, 16 Oktober 2013

Rinduku Dalam Imajinasiku

           Seminggu yang lalu, kamu masih sempat merangkulku dan memeluk erat tanganku. Seminggu yang lalu juga, kita masih jalan bersama keliling kota, lunch, dinner, bahkan menonton konser bersama. Hal yang kita lakukan memang monoton, namun aku tetap menyukainya. Segala hal, sekecil apapun itu, aku masih merasa senang bila berada disampingmu. Iya, mungkin aku terlalu berharap. Tapi, mungkinkah semua itu memang hal yang seharusnya kita lakukan sebagai sepasang kekasih?

          Aku tak tahu saat ini kamu sedang berfikir apa. Mungkin kamu memirkanku? ahh rasanya mustahil. Sekali lagi aku tak mau banyak berharap. Tapi aku ingin diantara hal yang kamu fikirkan, sisakan sedikit memorimu untuk mengingatku, entah itu kebodohanku, ketololanku, atau bahkan kebencianmu padaku. Silahkan, aku tidak meminta banyak waktu saat kau memikirkanku. Satu menit juga tak apa, ohh mungkin terlalu lama, sedetik pun juga tak masalah. Aku ingin disaat kamu mengingatku, kamu masih mengingatku sebagai kekasihmu.

          Kini, di tempat biasa kita bertemu, aku duduk termangu sendiri. Bagaikan whiteboard yang kehilangan boardmarkernya, yang menggelinding entah kemana. Aku masih sabar. Ada banyak hal yang lebih setia menemaniku disini. Ada udara yang masih bisa ku rasakan. Meskipun sejujurnya aku berharap ada suara nafasmu diantara ribuan derai udara ini. Ada juga pohon-pohon yang rindang seakan menari bersama kawan sejatinya, angin. Aku iri. Sangat iri. Sebuah pohon bisa menari bersama angin yang tak pernah bisa terlihat. Namun sangat nyaman dirasakan. Kamu, kamu dapat aku lihat dengan kesilauan. Aku ingin menari bersamamu seperti pohon-pohon yang menari bersama angin. Tapi, kesilauanmu menggangguku. Aku tak dapat menyentuhmu. Bahkan melihatmu. Aku semakin iri setelah ada dua burung terbang bersama. Dengan jari telunjukku yang lemah, aku menunjuk seekor burung jantan. Aku mulai menangis, ya menangis melihat keirian yang sangat menyayat perasaan.

          Aku masih setia. Duduk sendiri dengan sebuah novel manis ditangan. Aku ingat betul. Sangat-sangat ingat ketika kau merangkulku di suatu perjalanan yang indah. Kita saling berpamer kemesraan. Kita tak pernah lepas, bahkan kita sempat berjanji. Tapi kemana kamu sekarang? kemana janjimu? Alasan yang tak logis beribu-ribu ku terima. Aku masih sabar. Sabar dalam keheningan. Sabar dalam kegelisahan. Sabar dalam kebimbangan. Bahkan aku masih sabar dalam kemunafikkan. Aku terima. Iya, aku terima. Aku anggap ini usaha mempertahankanmu.

          Semakin lama termangu, aku semakin sadar. Aku mengerti keadaan. Aku menunggu semua ini berakhir dengan indah. Tuhan tak pernah tidur, tak diam, dan Dia menghitung semua air mataku yang ku jatuhkan karna kamu. Air mata yang akan diganti dengan kebahagiaan oleh Tuhan. Aku percaya keajaiban. Aku percaya kamu mendengar dari kejauhan.

          Semakin diam, aku semakin tersiksa. Seakan aku tak dapat bernafas dalam keheningan sore ini. Aku seakan mati suri dalam kenyataan. Aku sekan berjalan sendiri tanpa tujuan. Aku seakan.... Ah sudahlah, semuanya tak berarti. Semua hancur. Aku sabar. Aku sabar, Tuhan. Aku memejamkan mata, dan mulai memainkan imajinasiku, kamu sedang datang. Iya datang untuk menemuiku. Berjalan dengan mengukir senyum indah disudut bibirmu. Berjalan dengan tergesa-gesa seakan rindu yang telah mendorongmu. Berjalan dengan membuka kedua tanganmu yang seakan-akan siap memelukku dalam naungan kerinduan. Aku semakin tenggelam. Tenggelam dan tenggelam dalam bayang semu dirimu. Dalam manisnya pertemuan singkat yang semakin membuat luka menganga di hatiku. Luka karena rindu. Iya, karena rindu. Aku merindukanmu dan hanya dapat ku abadikan dalam imajinasiku.

          Semua kini berlalu, perlahan lahan mataku terbuka. Aku tersadar aku masih disini. Ditempat biasa kita bertemu. Tempat yang menayangkan indah sorot matamu. Tempat yang membuatku selalu merindukan wangi tubuhmu. Kini kawan setia ku mulai lelah, udara kini bertambah ganas. Pohon mulai berhenti menari bersama angin. Mungkin mereka lelah. Mereka lelah menungguku yang asyik berimajinasi dalam rindu. Atau mereka memang berhenti. Agar aku berhenti mengimajinasikanmu. Karna mungkin mereka tau, aku terlalu rapuh. Rapuh untuk menyadari bahwa kerinduanku hanya ku abadikan dalam naungan imajinasiku :')

Hujan Terakhir

           Ini tempat favoritku. Disudut ruang, berdampingan dengan rak buku dan lampunya remang-remang romantis. Di dindingnya ada beberapa foto yang memang ku pasang sengaja untuk memberi warna pada dindingku. Ada foto bersama sahabat-sahabat, orang tua, keluarga, dan bersama dia. Seseorang dengan mata indah dan bulu mata lentik yang tak pernah bosan ku pandang. Dalam foto itu, dia berbalut kemeja hitam, celana tiga per empat hitam, dan sepatu hitam pula. Aku menyukainya. Gaya itu adalah gaya andalannya. Ada sekitar 5 foto kenanganku bersamanya dalam balutan hujan yang manis.

          Di tempat favoritku ini memang punya kekhasan sendiri. Tempat dimana pertama kali aku melihatnya dari jendela mungil di sampingku. Dia yang berdiri diantara ribuan tetes hujan bersama setangkai mawar merah di genggamannya. Dia manis sekali. Aku mengukir senyum spesial ketika ia mendongak keatas dan mencari sedikit celah dari jendelaku untuk sekedar memberiku senyuman kecil. Aku membalasnya ketika ia tersenyum manis. Seakan-akan waktu terhenti dan semua pohon-pohon, burung, angin, langit, bahkan semut memperhatikan kami. Aku memang terlalu berkhayal. Iya, aku terlalu berkhayal. Namun aku menyukainya. Berkhayal itu menyenangkan. Berkhayal itu bebas. Bahkan terkadang ada yang benar-benar nyata. Benar-benar terjadi. Namun banyak juga yang hanya khayalan. Hanya khayalan, sama seperti yang sedang aku rasakan.

          Novel ini. Iya, novel ini yang selalu aku baca setiap hari. Meski telah berulang-ulang ku baca. Namun tetap saja menjadi yang terspesial. Novel ini novel yang ia berikan saat hujan deras datang. Meski sedikit rusak dan terlipat-lipat karena air hujan waktu itu, aku tetap menyukainya. Ceritanya dramatis. Sama seperti aku dan dia. Dramatis. Aku melirik ke dinding. Iya benar, tujuanku melihat foto kenangan itu. Entah mengapa, aku kini merasa seperti diterpa rindu ketika melihat foto kenangan itu. Rindu yang teramat sangat. Rindu yang tak bisa ku kendalikan. Ahh... aku terlalu  hampa untuk merasakan ini semua. Aku hampa untuk merasakan kerinduan. Aku hampa untuk merasakan ketenangan. Bahkan aku terlalu hampa untuk merasakan cinta yang lain. Aku, aku, aku terlalu merindukannya saat ini. Karena foto mesra kita yang tak mungkin dapat terulang. Aku menyadari. Menyadari bahwa aku berkhayal lagi. Stop! Cukup! ini terlalu menyiksa. Kan ku alihkan pandanganku dari foto kenangan kita sebulan yang lalu itu.

          "tik...tik...tik..." hujan datang lagi. Senandungnya memang selalu ku tunggu. Aku mnyukai hujan. Hujan itu selalu membawanya kepelukanku. Dia selalu hadir bersama hujan. Seperti sepasang kekasih yang tak pernah terpisahkan. Senandung hujan semakin jelas terdengar. Hujan semakin deras dan aku semakin senang. Ku berharap dia ada diluar sana dan sedang mengamati jendelaku. Menunggu aku memperhatikan dia dan menebar senyuman indah. Aku beranjak. Mulai memperhatikan suasana luar dari jendela mungilku. Dia, dia datang. Itu dia! Berbalut baju serba putih. Dia bercahaya. Dia berkilau bagai emas diantara air keruh. Aku bergeming dalam kebahagiaan. Aku tersenyum lebar sambil meraih novel kesayanganku dari ranjang. Aku kembali menatap luar jendela. Namun, Kosong. Kosong. Benar-benar kosong. Mimik mukaku seketika berubah. Dia kemana? Dia kan tadi dia disana, dia... dia kan tadi ber...cahaya, ber...ki...lau. Tapi dimana kemilauan itu? Dimana dia yang bercahaya. Ah sudahlah aku hanya berhalusinasi saja ternyata. Aku salah. Iya, aku salah.

          Senandung hujan kesayanganku kini bertambah geram. Kini ada angin yang sedang mengamuk hebat diluar sana. Aku berharap dia ada diluar sana kembali bersama angin yang datang. Aku sungguh berharap. Sungguh-sungguh ingin melihatnya saat ini. Kini hujan mungil keluar dari mata kecilku. Menetes sedikit demi sedikit. Hingga sekarang nafasku tersenggal-senggal menahannya. Aku terisak. Benar-benar terisak hebat. Aku kembali melirik luar jendela. Tapi cahaya itu, kemilau itu, dan dia tak ku temukan. Hanya rumput-rumput yang bergoyang diterpa hembusan angin. Semuanya basah. Basah. Seperti pipiku yang kini juga basah. Tolonglah, aku ingin melihat dia. Sebentar saja. Dia sangat manis dengan balutan pakaian serba putih itu. Aku ingin melihatnya lagi. Tolonglah. Rengekkanku sepertinya percumah. Tak ada yang berarti. Deru tangisanku juga biasa saja. tak dapat mengubah keadaan.

           Senandung hujan itu belum berhenti juga. Masih setia. Bahkan bertambah deras. Ayolah, aku masih berharap dia akan hadir. Aku berharap dia disini mengobati rasa rinduku. Aku, aku, aku merindukannya. Astaga, ternyata aku kembali berkhayal. Aku ingat. sekarang aku ingat. Dia ternyata sudah meninggalkanku seminggu yang lalu. Dia tertidur pulas dalam dekapan lembut Tuhan. Iya, aku ingat betul kejadian itu. Dia terjatuh dengan lemah dalam siraman hujan. Dia sangat lemah. Merah. Merah membalut tubuhnya. Aku memang sedikit miris melihatnya seperti itu. Aku ingin memeluknya, namun aku dicegah. Iya aku ingat. Dia tertidur pulas bersama hujan. Astaga, aku kini menjadi lupa akan kenyataan. Lalu, Lalu siapa tadi yang bercahaya itu? Yang berkilau? Yang berbalut dengan pakaian serba putih itu? siapa? Kini, aku masih terisak dalam deru tangisku.

           Sekarang aku menjadi benci. Aku benci hujan datang. Hujan memang membawa dia dalam pelukan sederhanaku. Tapi, hujan juga menidurkan dia dalam dekapan Tuhan. Aku benci hujan. Aku benci. Tolonglah hentikan senandungmu. Aku tak ingin melihatmu dari jendela mungil ini. Aku ingin kembali pada kenyataan. Aku ingin berhenti berkhayal. Tolonglah...