Jumat, 13 Maret 2015

Pertemuan di Perbatasan



                Kami hadir ketika hari sudah beranjak senja. Ketika matahari sudah berada di ufuk yang tentu saja tidak akan berjalan kembali keatas. Kami berada di perbatasan. Entah berapa lama lagi akan tenggelam, atau entah sampai kapan akan terus berdiri tanpa tujuan. Kami berada di antara laut dan udara. Begitulah kami. Ada di perbatasan. Menyesal mengapa tak sejak matahari muncul dari ufuk timur. Mengapa tak sejak tadi ada di daratan. Kadang hanya bisa menyesal. Menghela nafas. Ya, begitulah. Pertemuan memang tidak selalu tepat pada waktunya. Mungkin, Tuhan punya alasan atas pertemuan di perbatasan.
                Kami berdua berani menyatu dalam satu jalan. Berani bersama dalam satu tujuan. Meski kami tau, kaki kami yang sebelah tentu saja sudah menapaki air. Yang satunya menapaki tanah. Sudah berbeda. Waktu yang kami miliki untuk memutuskan bersatu tidak banyak. Kami harus bersaingan dengan senja yang mau tak mau selalu ingin “pergi”. Kami harus pandai membagi waktu agar kami tidak ikut tenggelam bersama senja. Tidak ikut terbawa air seperti kaki sebelah kami. Kami harus mengatur strategi. Bagaimanapun, keputusan untuk bersatu adalah sebuah komitmen. Sedalam apapun nanti senja akan tenggelam, sejauh apapun nanti tubuh kami terbawa air. Tangan kami harus tetap bergandengan. Tidak peduli akan seberapa  jauh jarak terbentang. Yang jelas, kami tetap menumbuhkan komitmen. Tidak mau jika harus mengalah pada senja. Tidak! Sia-sia saja semua yang sudah kami lakukan selama ini. Senja pasti tidak akan cukup kuat menenggelamkan kami hingga dasar. Kami yakin. Toh, senja tidak punya kaki tangan seperti kami. Tentu saja dia tidak bisa menghalangi kami bukan? Nah, seharusnya kami lebih kuat dari senja.
                Ingin tahu bagaimana rasanya bertemu di perbatasan? Jika boleh memilih, tentu saja kami tidak ingin bertemu di perbatasan. Kami ingin bertemu sejak awal. Kau tahu? Bertemu di perbatasan tidak bisa dinikmati. Selalu tergesa. Tak ingin kalah dengan senja. Selalu begitu. Dan yang paling menjadi beban pikiran adalah jika nanti waktu perbatasan kami sudah habis. Apakah kami bisa bertahan? Apakah komitmen kami masih bisa tetap dijalankan? Itu satu-satunya yang menjadi beban pikiran yang paling berat. Kau tahu tidak bagaimana rasanya teramat sayang pada waktu yang salah? Nah, ini yang kami rasakan juga. Sedikit kecewa. Kenapa tidak dari dulu. Nah, berkali kali mungkin kami sudah mengumpat demikian. Tapi sekali lagi, matahari pun tidak pernah selalu diatas bukan? Sama halnya dengan kami, pertemuan di perbatasan juga tidak akan selalu berakhir di perbatasan. Dan kami akan selalu yakin bahwa kami akan berakhir di muara. Tempat yang jauh. Abadi. Dan tentu saja, tempat segala komitmen kami berlabuh.
                Sewajarnya, jika memang waktu di perbatasan kami adalah waktu terbaik bagi pertemuan, kami mungkin akan menerima dengan senang hati. Bersyukur. Memaki dalam diri bahwa selama ini salah. Tapi masalahnya, kami belum tahu ujung dari ini semua. Akankah, sebuah muara, atau hanya tenggelam tanpa pesan. Tidak ada yang bertahan. Pasrah saja ketika ombak menggulung. Tidak ada komitmen yang semakin menguat. Kami tidak tahu, siapa diantara kami yang akan menjadi penguat. Dan siapa yang akan dikuatkan. Kami buta. Tidak tahu menahu. Bertemu meski hanya diperbatasan saja sudah bersyukur. Layaknya di pertemukan di awal, kami harus bisa bertahan. Lebih tepatnya tetap mempertahankan satu komitmen. Untuk tetap menyatu. Tanpa berpisah. Sesulit apapun nantinya.
                Nah, untuk bertahan dari ini semua kami tidak hanya membutuhkan rasa untuk mengalahkan senja. Menerjang ombak yang menggulung. Mempererat genggaman tangan, atau yang lainnya. Bertahan tidak hanya demikian. Tapi, bagaimana kami bisa menjadi sebuah matahari. Bukan hanya senja. Jadi, kami hadir setiap saat. Tak mengenal waktu. Seperti apa yang kami inginkan. Nah, bagaimana lagi jika memang kami tidak bisa melakukan banyak hal. Mengintip malam? Tentu saja kami takut, kedua kaki kami sudah menapak air. Kami takut salah satu dari kami tertinggal. Tidak mau. Jangan sampai. Kami sudah merelakan kaki sebelah kami menapaki air. Dan tolong jangan minta semuanya. Kami masih harus menyusun strategi bagaimana kami bisa melewati waktu di perbatasan. Sekali lagi, kami hanya tidak mau pertemuan ini berhenti di perbatasan. Mengerti?
                Jadi, kami masih terus bertahan. Bertahan dalam keadaan yang sebenarnya tidak memaksa, namun sulit. Keadaan dimana sebenarnya kami harus mempertahankan diri agar tidak tenggelam bersama senja. Atau kami harus siap diobrak-abrik oleh ombak. Sejujurnya, kami ingin merasakan bagaimana bertemu pada waktu yang tepat. Agar kami tidak perlu bersusah payah untuk mempertahankan. Tapi tunggu, ada baiknya juga kami dipertemukan di perbatasan. Karena dengan ini, kami bisa belajar menjadi penguat. Belajar bertahan pada sebuah komitmen yang sudah diciptakan. Nah, sekarang, kami hanya perlu tetap menguatkan satu sama lain hingga nanti tidak ada lagi yang harus dikuatkan. Hingga kami sudah terpisah jauh berbeda dimensi. Kami masih bisa saling berkomunikasi. Dengan doa. Semoga. Semoga muara adalah tempat kami. Tempat semua komitmen kami terkumpul. Tumbuh indah. Hingga mengembang. Dan kami, masih bisa bergandengan. Memperlihatkan pada senja dan ombak dengan gagah. Bahwa kami bisa melewatinya dengan bahagia.
Because I never feel complete If I life without you, baymax.”




Annisa Ulfah
12 Maret 2014

Sabtu, 07 Maret 2015

Ujung Dari Waktu Terbaik





                Kau tahu? Ingin rasanya aku kembali ke masa dimana problematika yang dihadapi tak sedalam ini. Tak menyangkut batin. Hanya logika.  Tak perlu aku berpikir panjang untuk menemukan ujungnya. Kadang, aku merasa rindu tertawa bebas. Menghadapkan wajah ke langit dengan mulut menganga, riang. Rindu merasakan mata berair karena terlalu banyak hal yang harus ditertawakan. Rindu juga bergandengan bersama. Mengenal satu dengan yang lain. Menjalin persahabatan erat. Nah, kadang aku merindukan masa itu. Masa dengan problematika rendah. Tapi aku bisa apa? Rasanya untuk kembali pun tidak akan mungkin. Mesin waktu sebaik apapun tak akan ada yang bisa menggeser takdir Tuhan, bukan? Sekalipun ada, apa bisa mengembalikan? Tuhan tentu tak akan memberi izin. Mau apa? Tuhan sudah jelas-jelas bekerja sesuai rencana-Nya. Berharap waktu semakin berlalu menjadi semakin baik. Tak peduli akan seberapa berat rintangan untuk menjadi “baik”. Akan seberapa lelah memperjuangkan. Bagi Tuhan, yang jelas Ia sudah bekerja sesuai dengan rencana-Nya. Memperbaiki apa yang seharusnya diperbaiki. Meninggalkan apa yang seharusnya ditinggalkan. Serta mempertahankan apa yang harus dipertahankan. Sebenarnya, maksud Tuhan sederhana. Hanya mengajarkan untuk menjadi lebih baik. Dan kau kembali benar dalam hal ini, komandan.
                Suasana seperti ini, rasa-rasanya sungguh tidak bisa berhenti menyeretku dari problematika kita. Pernah aku merasa tidak ingin memikirkannya. Pasrah. Ingin berjalan sesuai dengan kehendak Tuhan. Semakin menjauh malah semakin menguat. Semakin aku tangkis, malah semakin keras aku ditamparnya. Kau tahu, jika itu semua hanya sebuah tumpukan buku-buku tebal, ingin rasanya aku lempar jauh. Entah terbanting pada tembok, entah pada batu, yang jelas hingga hancur. Agar tak ada lagi problematika sedalam ini. Agar aku bisa merobek dinding waktu. Meminta izin pada Tuhan untuk melesatkannya, tanpa pandang bulu. Tapi sekali lagi, mau apa? Toh, ucapanku tak akan bisa mengubah apapun. Sekeras apapun buku tebal ini aku lempar, palingan hanya rusak. Sobek sedikit di ujung. Tak bisa hancur sempurna. Sama seperti dinding jarak yang akan kita hadapi kelak. Bah! Pikiran carut marut yang aku hadapi sungguh menguras. Dan aku hanya bisa diam. Menatap tumpukan buku tebal di hadapan. Menikmati detik jam yang semakin lama semakin mengeras. Membayangkan waktu-waktu terbaik. Nah, waktu-waktu terbaik? Belum, itu belum berujung. Bahkan baru dimulai. Dan entah, apakah waktu terbaik lainnya masih bisa aku wujudkan? Kau benar, akan ada hal buruk di sebaik apapun rencana kita.
                Nah, mau dikatakan bagaimanapun, hal buruk pasti terjadi. Aku tidak ingin membuat hal buruk itu sebagai penghancur. Melainkan sebagai penguat. Agar kita tetap berada pada satu jalur. Bukankah kau sudah memintaku untuk menjadi penguatnya? Nah, kali ini aku tegaskan, aku mau. Aku akui, aku memang belum bisa menjadi penguat yang sempurna. bahkan kadang aku merasa, aku masih belum bisa memilikimu sepenuhnya. Entahlah, aku tidak mengerti apa yang harus aku katakan kali ini. Yang jelas, aku hanya ingin kau agar dijaga-Nya. Dipermudah atas segala urusan.  Dilindungi dari segala hal buruk  yang datang. Aku hanya ingin kau tumbuh menjadi manusia terbaik. Entah dengan atau tanpa aku, nantinya. Aku sudah banyak berdoa untukmu. Sejak pertemuan pertama kita tempo hari. Tapi tunggu, aku ingin kau mengetahui satu hal. Aku ingin kau tetap disamping. Seburuk apapun kondisi kita nanti. Sekuat-kuatnya Tuhan meminta salah satu dari kita berhenti, itupun karena melepaskan dengan lembut. Bukan memaksa. Melepaskan karena kepergian yang memang sudah waktunya. Sudah diambil oleh-Nya. Bukan kepergian karena orang lain. Jangan sampai. Aku juga selalu menyertai doaku dengan waktu terbaik kita, selama apapun waktu itu akan kita rasakan. Tenang saja, aku akan tetap berdiri dengan senyum disampingmu. Tak menggubris hal-hal yang bagiku sungguh tak penting. Yang aku mau adalah kita berdua hadir dalam waktu terbaik. Jangan tanyakan padaku bila waktu terbaik itu tak terjadi. Aku sungguh ingin melompati bagian itu. Tak ingin aku mengetahuinya sedikitpun. Menyentuhnya apalagi. Sungguh, tak akan. Hahaha aku memang pengecut, komandan. Aku tidak ingin melihat sisi buruk dari sebuah kehidupan. Enggan menerima. Kau tahu alasannya? Karena aku sudah lama terjebak pada sisi buruk. Tak ingin kembali lagi. Aku sudah lelah. Terima kasih banyak komandan, kau memberiku sebuah sisi baik yang berharga. Dan semoga ini menjadi seterusnya. Sumpah! Bawa aku selalu pada sisi baik. Bisakah?
Nah, coba bayangkan, ini adalah ujung dari waktu terbaik kita.
                “Senja itu, aku melihat kau bercahaya terpapar sinar matahari sore. Dengan rambut yang memutih. Dengan sebuah tongkat yang kau genggam erat di tangan kanan. Kau duduk menatap matahari yang tenggelam. Aku berjalan pelan, menghampirimu yang dengan damai menatap matahari senja. Aku usap belakang punggungmu. Memberikan senyuman ramah. Kau menoleh sambil membenarkan kacamata berlensa tebal itu. Seperti biasanya, kau merangkul tubuhku yang sudah mulai ringkih. Ah iya, menatap senja bersama adalah kebiasaan kita. Sesekali pikiran kita tertuju pada arah yang sama. Waktu ketika kita begitu takut untuk melewatinya. Masa itu, ingat? Ketika kita mati-matian berserah. Tidak ingin mengetahui bagaimana jalannya. Yang penting aku denganmu. Kau denganku. Ah, selayaknya seorang yang sudah tua memang memiliki daya ingat rendah. Namun, itu sungguh tidak terjadi pada kita. Hingga tubuh seringkih ini. Wajah yang sudah mengeriput, kita tetap mengingat sebuah perjalan. Kita masih bsia menjadi penguat. Hingga saat ini. Hingga aku sudah tidak bisa memakai jilbab sendiri. Hingga tanganmu yang juga renta itu membantuku untuk memakaikannya. Dan ketika bibirmu menyium keningku yang semula kuat dan tegas, kini lama-lama sudah melemah. Otot wajah sudah tidak bisa bekerja dengan baik. Namun, satu hal tidak berubah. Kehangatannya sungguh tetap sempurna.
                Senja ini, ketika kita sudah berhasil mewujudkan semua yang memang harus kita wujudkan. Kita berdiri disebuah rumah yang indah. Di sebuah Negara impian kita berdua. Tinggal dengan ceria bersama anak-anak kita. Hingga kini, semua yang sebelumnya hanya sebuah angan, sudah kita wujudkan. Aku menggenggam tanganmu yang bergetar. Aku satukan. Aku cium. Sebagai rasa hormat. Aku berterimakasih kau sudah usahakan kita selalu dalam sisi baik. Kau sudah mati-matian. Dan biarkan kini aku juga merawatmu. Hingga nanti kau atau aku yang akan melepaskan dengan lembut.”
                Pastikan, bahwa kau juga membayangkannya sama sepertiku. Kau juga merasakan bagaimana bahagianya kita berdua. Bagaimana rasanya kalau kita saling berusaha untuk tetap berada pada satu jalur. Sesulit apapun nanti, sungguh aku ingin itulah ujung dari waktu terbaik kita. Jangan pernah menyerah kepadaku. Karena aku tak akan melakukan hal itu kepadamu. Tenang, aku akan tetap berdiri disamping. Berjalan gagah seperti biasanya. Selalu. Hingga kau sudah tak membutuhkanku lagi, kelak. Baru aku akan berhenti. Tetapi, aku tahu, kau takkan pernah memintaku demikian. Semoga. Semoga ujung terbaik kita adalah bahagia.

Annisa Ulfah
8 Maret 2015