Kami hadir
ketika hari sudah beranjak senja. Ketika matahari sudah berada di ufuk yang
tentu saja tidak akan berjalan kembali keatas. Kami berada di perbatasan. Entah
berapa lama lagi akan tenggelam, atau entah sampai kapan akan terus berdiri
tanpa tujuan. Kami berada di antara laut dan udara. Begitulah kami. Ada di
perbatasan. Menyesal mengapa tak sejak matahari muncul dari ufuk timur. Mengapa
tak sejak tadi ada di daratan. Kadang hanya bisa menyesal. Menghela nafas. Ya,
begitulah. Pertemuan memang tidak selalu tepat pada waktunya. Mungkin, Tuhan
punya alasan atas pertemuan di perbatasan.
Kami berdua
berani menyatu dalam satu jalan. Berani bersama dalam satu tujuan. Meski kami
tau, kaki kami yang sebelah tentu saja sudah menapaki air. Yang satunya
menapaki tanah. Sudah berbeda. Waktu yang kami miliki untuk memutuskan bersatu
tidak banyak. Kami harus bersaingan dengan senja yang mau tak mau selalu ingin “pergi”.
Kami harus pandai membagi waktu agar kami tidak ikut tenggelam bersama senja. Tidak
ikut terbawa air seperti kaki sebelah kami. Kami harus mengatur strategi. Bagaimanapun,
keputusan untuk bersatu adalah sebuah komitmen. Sedalam apapun nanti senja akan
tenggelam, sejauh apapun nanti tubuh kami terbawa air. Tangan kami harus tetap
bergandengan. Tidak peduli akan seberapa
jauh jarak terbentang. Yang jelas, kami tetap menumbuhkan komitmen. Tidak
mau jika harus mengalah pada senja. Tidak! Sia-sia saja semua yang sudah kami
lakukan selama ini. Senja pasti tidak akan cukup kuat menenggelamkan kami
hingga dasar. Kami yakin. Toh, senja tidak punya kaki tangan seperti kami. Tentu
saja dia tidak bisa menghalangi kami bukan? Nah, seharusnya kami lebih kuat
dari senja.
Ingin tahu
bagaimana rasanya bertemu di perbatasan? Jika boleh memilih, tentu saja kami
tidak ingin bertemu di perbatasan. Kami ingin bertemu sejak awal. Kau tahu? Bertemu
di perbatasan tidak bisa dinikmati. Selalu tergesa. Tak ingin kalah dengan
senja. Selalu begitu. Dan yang paling menjadi beban pikiran adalah jika nanti
waktu perbatasan kami sudah habis. Apakah kami bisa bertahan? Apakah komitmen
kami masih bisa tetap dijalankan? Itu satu-satunya yang menjadi beban pikiran
yang paling berat. Kau tahu tidak bagaimana rasanya teramat sayang pada waktu
yang salah? Nah, ini yang kami rasakan juga. Sedikit kecewa. Kenapa tidak dari
dulu. Nah, berkali kali mungkin kami sudah mengumpat demikian. Tapi sekali lagi,
matahari pun tidak pernah selalu diatas bukan? Sama halnya dengan kami,
pertemuan di perbatasan juga tidak akan selalu berakhir di perbatasan. Dan kami
akan selalu yakin bahwa kami akan berakhir di muara. Tempat yang jauh. Abadi. Dan
tentu saja, tempat segala komitmen kami berlabuh.
Sewajarnya,
jika memang waktu di perbatasan kami adalah waktu terbaik bagi pertemuan, kami
mungkin akan menerima dengan senang hati. Bersyukur. Memaki dalam diri bahwa
selama ini salah. Tapi masalahnya, kami belum tahu ujung dari ini semua. Akankah,
sebuah muara, atau hanya tenggelam tanpa pesan. Tidak ada yang bertahan. Pasrah
saja ketika ombak menggulung. Tidak ada komitmen yang semakin menguat. Kami tidak
tahu, siapa diantara kami yang akan menjadi penguat. Dan siapa yang akan
dikuatkan. Kami buta. Tidak tahu menahu. Bertemu meski hanya diperbatasan saja
sudah bersyukur. Layaknya di pertemukan di awal, kami harus bisa bertahan. Lebih
tepatnya tetap mempertahankan satu komitmen. Untuk tetap menyatu. Tanpa berpisah.
Sesulit apapun nantinya.
Nah,
untuk bertahan dari ini semua kami tidak hanya membutuhkan rasa untuk
mengalahkan senja. Menerjang ombak yang menggulung. Mempererat genggaman
tangan, atau yang lainnya. Bertahan tidak hanya demikian. Tapi, bagaimana kami
bisa menjadi sebuah matahari. Bukan hanya senja. Jadi, kami hadir setiap saat. Tak
mengenal waktu. Seperti apa yang kami inginkan. Nah, bagaimana lagi jika memang
kami tidak bisa melakukan banyak hal. Mengintip malam? Tentu saja kami takut,
kedua kaki kami sudah menapak air. Kami takut salah satu dari kami tertinggal. Tidak
mau. Jangan sampai. Kami sudah merelakan kaki sebelah kami menapaki air. Dan tolong
jangan minta semuanya. Kami masih harus menyusun strategi bagaimana kami bisa
melewati waktu di perbatasan. Sekali lagi, kami hanya tidak mau pertemuan ini
berhenti di perbatasan. Mengerti?
Jadi,
kami masih terus bertahan. Bertahan dalam keadaan yang sebenarnya tidak memaksa,
namun sulit. Keadaan dimana sebenarnya kami harus mempertahankan diri agar
tidak tenggelam bersama senja. Atau kami harus siap diobrak-abrik oleh ombak. Sejujurnya,
kami ingin merasakan bagaimana bertemu pada waktu yang tepat. Agar kami tidak
perlu bersusah payah untuk mempertahankan. Tapi tunggu, ada baiknya juga kami
dipertemukan di perbatasan. Karena dengan ini, kami bisa belajar menjadi penguat.
Belajar bertahan pada sebuah komitmen yang sudah diciptakan. Nah, sekarang,
kami hanya perlu tetap menguatkan satu sama lain hingga nanti tidak ada lagi
yang harus dikuatkan. Hingga kami sudah terpisah jauh berbeda dimensi. Kami masih
bisa saling berkomunikasi. Dengan doa. Semoga. Semoga muara adalah tempat kami.
Tempat semua komitmen kami terkumpul. Tumbuh indah. Hingga mengembang. Dan kami,
masih bisa bergandengan. Memperlihatkan pada senja dan ombak dengan gagah. Bahwa
kami bisa melewatinya dengan bahagia.
“Because I never feel
complete If I life without you, baymax.”
Annisa Ulfah
12 Maret 2014