Rasanya
aku ingin bertemu Kakek Sapardi malam ini. Sekedar duduk berdua. Kalau perlu
mau ngopi bersama juga boleh. Atau mau mengunyah biskuit bersama sambi ditemani
suara jangkrik yang menyanyi bebas. Di teras depan dengan cahaya bulan yang
hidup tak redup. Angin yang berhembus melewati tubuh renta dan tubuh remaja
dengan lembut. Aku membayangkan seperti kisah ftv, Kek. Sebuah komunikasi
intens yang akan mengubah tujuan hidup. Atau sebuah obrolan ringan yang
ringannya mampu menembus masa yang akan datang. Atau celotehan manis yang
menjadi kendaraan untuk melesat ke kehidupanku lima atau sepuluh atau duapuluh
atau tigapuluh tahun lagi. Akan ada banyak hal menarik yang bisa aku ambil,
kemudian aku saku, setelah sampai di kamar, akan aku tempel di langit-langit
kamar. Menggantung bersama bintang kertas yang menjadi sumber kekuatan dan mimpi. Akan teramat sangat
menyenangkan ketika berkomunikasi dengan orang tua. Akan ada banyak hal diluar
dugaan. Ah jika aku betemu Kakek Sapardi, sudah pasti akan aku tanyakan banyak
hal.
Kakek
Sapardi, aku ingin bertanya hal penting. Sejujurnya aku menyukai semua sajakmu,
semua novelmu, semua cerpenmu. Tapi ada satu hal yang mengganjal. Aku tidak
bisa menemukan jawaban untuk sebuah sajak ciptaanmu. Aku butuh jawaban yang
merasuk ke hatiku. Tentang cinta. Kau tentu tahu, cinta adalah sumber kekuatan
yang kita miliki bukan? Aku tidak bisa menemukan demikian, Kek. Apakah aku
kurang bisa membaca hatiku sendiri? Atau mungkin aku yang tidak bisa menuntun
hatiku? Atau hatiku yang kurang bersih? Aku bingung, Kek. Bagiku, mencintai
seseorang itu tak sesederhana apa yang kau katakan. Aku tidak bisa mencintai
seseorang seperti air, seperti api, atau bah!
Apapun itu. Aku bingung, apakah aku yang tidak bisa mencintai seseorang dengan
sederhana seperti kau? Seperti yang kau katakan dalam sajak indahmu? Kakek
Sapardi, ajari aku agar bisa mencintai sederhana dengan kata yang tak sempat
diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.
Kakek Sapardi, aku mau bercerita. Rasanya cocok jika
malam ini aku bertemu denganmu. Di Tembalang tidak hujan, kek. Cuacanya lebih
gerah. Namun tetap enak untuk ngopi berdua. Kau mau kopi hangat dengan susu
atau kopi hitam? Akan aku belikan khusus untukmu. Kakek Sapardi, kau sebagai
panutan dalam usaha asmaraku. Malam ini, aku hendak bercerita denganmu. Kau
harus mendengarkanku ya, kek. Nanti akan aku beri kau dengan biskuit renyah dan
segelas kopi kedua.
Kakek
Sapardi, aku mencintai seorang pria. Dia bukan cinta pertamaku, dan belum tahu
juga apakah ia cinta terakhirku. Aku mencintainya sama seperti kau mencintai
sajak-sajakmu. Kek, aku bingung apakah cinta itu sesederhana yang kau katakan. Aku
mencintainya dengan penuh perjuangan. Banyak hal yang aku lewati mulai dari
caci maki hingga datang para perusak yang ingin merobohkan pondasiku dengannya.
Aku bertahan kek. Aku tetap mencintanya dengan penuh perjuangan. Oh ya silahkan
kek, jika kau ingin menyeduh kopimu. Aku tidak ingin kau terlalu hanyut dalam
ceritaku. Silahkan, kopi dengan susu akan menjadi pemberianku yang pertama. Lantas,
biskuit yang bila digigit akan bersuara “kress”
bisa menjadi camilanmu di cuaca yang gerah ini.
Coba
lihat kek, langitnya kemerahan. Semalam, dia baru berkata bahwa nanti akan
turun hujan. Aku yang duduk sambil memeluk pinggulnya tidak pecaya. Toh, selama
ini apa yang dia katakan suka berbohong. Demi membuatku tersenyum. Katanya
senyumku menjadi semangat untuknya. Lalu bagaimana kek, aku sering bertemu
dengannya. Entah itu pagi, siang, sore, bahkan malam sekalipun. Kami berdua
benar-benar sudah seperti pasangan tak terpisahkan. Waktuku dengannya lebih
banyak dari pada dengan keluargaku sekalipun kek. Jika aku mau kembali ke
Tembalang pagi hari, aku melewatkan sunrise
di jalan bersamanya. Melihat matahari yang malu-malu diatas motor. Sambil berkhayal,
aku bisa melihat sunrise bersamanya
di puncak gunung. Seperti janjinya, dua tahun lalu. Di pagi ketika matahari
masih malu-malu itu, aku sering berdoa kek, aku ingin terus seperti ini. Mendampingi
disetiap langkah yang akan ia ambil. Seperti keputusannya untuk ikut program
pertukaran mahasiswa. Aku mendukung. Meski dengan setengah hati. Namun, aku
menyadari, dia tak boleh berhenti hanya gara-gara wanita yang tak punya apa-apa
sepertiku.
Kakek
Sapardi, jujur aku sangat menginginkan dia. Seperti kau yang dengan tulus
membuat sajak untuk para tuna asmara. Aku pun demikian. Setulus itu juga aku
mau mendampinginya ketika ia tersenyum sumringah, tersenyum pahit, ataupun
ketika terduduk gagal. Aku hanya berdoa untuk kesempurnaan hidupnya. Untuk jalannya
menuju sukses. Dia memang orang baik, kek. Tak heran begitu banyak orang yang
mendoakannya. Mungkin, ada yang lebih daripada aku. Lebih bisa mendoakannya. Lebih
bisa membahagiakannya. Jika aku menemukannya, aku akan berjabat tangan kek. Karena
aku mendoakan hidupnya sempurna. Lantas, aku tidak boleh merasa kalah, bukan? Toh
ini bukan perlombaan. Ini soal ketulusan.
Ada
beberapa wanita mendekatinya, kek. Malam ini yang ingin aku ceritakan adalah
jika dalam cinta itu tumbuh sebuah cinta yang baru, maka haruskah membuang
cinta yang lama? Atau dirawat hingga tumbuh bersama-sama? Aku sadar kek, aku
ini wanita. Yang entah perasaannya terbuat dari apa hingga suka menyakiti diri
sendiri. Aku menyadari banyak hal bahwa ketika aku merasa cemburu, ya tentu
saja itu aku buat sendiri. Ada hormon apa dalam wanita itu, kek? Kadang aku
berfikir bahwa... ya benar! Dia memang tidak salah. Namun, ah sudahlah. Aku hendak
menutup rapat ini saja. Toh, rasa cemburu ini aku buat sendiri. Biar, biar aku
saja yang tau kek. Rasanya memang sakit ya, seperti ada yang menusuk hingga ke
pucuk. Merobek hingga sobek. Tapi sudahlah kek, aku hanya tulus mendoakan kesempurnaan
hidupnya. Bukan untuk merasakan cemburu yang berlebihan.
Kek,
kau boleh minum lagi beberapa teguk, sebelum benar-benar aku isi dengan kopi
selanjutnya. Tembalang memang gerah kek, jangan mengantuk dulu. Aku masih ingin
berbagi denganmu. Aduh kek, jangan mengantuk dulu.
Sebelum
aku sudahi, tolong kek, beri aku sebuah jawaban atas sajakmu. Aku hanya ingin
hadir dan mendoakan kesempurnaan hidupnya. Meski aku tidak tahu apakah
tujuannya itu aku, atau bukan. Apakah kelak ia akan seatap denganku atau tidak.
Atau apakah kelak ia akan menjadi cinta sejatiku atau tidak. Kakek Sapardi,
jangan hanya tersenyum. Aku tidak bisa mengartikan senyuman orang tua yang
setulus itu. Katakan bila aku sudah bisa mencintainya sesederhana kau menulis
sajak atau belum. Sejujurnya, aku ingin. Aku
ingin mencintai dia dengan sederhana; dengan isyarat yang tak sempat
disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada. Aku berjanji aku akan
tulus, Kek. Terima kasih. Maaf, Tembalang membuatmu kegerahan. Kau boleh
menghabiskan kopimu, kek. Lalu, duduklah disampingku memandang langit. Kita berdoa
bersama. Untuk sebuah ketulusan.
Semarang, 17 Oktober 2016
Annisa Ulfah Miah untuk Sapardi Djoko Damono