Senin, 17 Oktober 2016

Malam Bersama Sapardi



           
Image result for gambar sapardi

           Rasanya aku ingin bertemu Kakek Sapardi malam ini. Sekedar duduk berdua. Kalau perlu mau ngopi bersama juga boleh. Atau mau mengunyah biskuit bersama sambi ditemani suara jangkrik yang menyanyi bebas. Di teras depan dengan cahaya bulan yang hidup tak redup. Angin yang berhembus melewati tubuh renta dan tubuh remaja dengan lembut. Aku membayangkan seperti kisah ftv, Kek. Sebuah komunikasi intens yang akan mengubah tujuan hidup. Atau sebuah obrolan ringan yang ringannya mampu menembus masa yang akan datang. Atau celotehan manis yang menjadi kendaraan untuk melesat ke kehidupanku lima atau sepuluh atau duapuluh atau tigapuluh tahun lagi. Akan ada banyak hal menarik yang bisa aku ambil, kemudian aku saku, setelah sampai di kamar, akan aku tempel di langit-langit kamar. Menggantung bersama bintang kertas yang menjadi  sumber kekuatan dan mimpi. Akan teramat sangat menyenangkan ketika berkomunikasi dengan orang tua. Akan ada banyak hal diluar dugaan. Ah jika aku betemu Kakek Sapardi, sudah pasti akan aku tanyakan banyak hal.
            Kakek Sapardi, aku ingin bertanya hal penting. Sejujurnya aku menyukai semua sajakmu, semua novelmu, semua cerpenmu. Tapi ada satu hal yang mengganjal. Aku tidak bisa menemukan jawaban untuk sebuah sajak ciptaanmu. Aku butuh jawaban yang merasuk ke hatiku. Tentang cinta. Kau tentu tahu, cinta adalah sumber kekuatan yang kita miliki bukan? Aku tidak bisa menemukan demikian, Kek. Apakah aku kurang bisa membaca hatiku sendiri? Atau mungkin aku yang tidak bisa menuntun hatiku? Atau hatiku yang kurang bersih? Aku bingung, Kek. Bagiku, mencintai seseorang itu tak sesederhana apa yang kau katakan. Aku tidak bisa mencintai seseorang seperti air, seperti api, atau bah! Apapun itu. Aku bingung, apakah aku yang tidak bisa mencintai seseorang dengan sederhana seperti kau? Seperti yang kau katakan dalam sajak indahmu? Kakek Sapardi, ajari aku agar bisa mencintai sederhana dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.
            Kakek Sapardi, aku mau bercerita. Rasanya cocok jika malam ini aku bertemu denganmu. Di Tembalang tidak hujan, kek. Cuacanya lebih gerah. Namun tetap enak untuk ngopi berdua. Kau mau kopi hangat dengan susu atau kopi hitam? Akan aku belikan khusus untukmu. Kakek Sapardi, kau sebagai panutan dalam usaha asmaraku. Malam ini, aku hendak bercerita denganmu. Kau harus mendengarkanku ya, kek. Nanti akan aku beri kau dengan biskuit renyah dan segelas kopi kedua.
            Kakek Sapardi, aku mencintai seorang pria. Dia bukan cinta pertamaku, dan belum tahu juga apakah ia cinta terakhirku. Aku mencintainya sama seperti kau mencintai sajak-sajakmu. Kek, aku bingung apakah cinta itu sesederhana yang kau katakan. Aku mencintainya dengan penuh perjuangan. Banyak hal yang aku lewati mulai dari caci maki hingga datang para perusak yang ingin merobohkan pondasiku dengannya. Aku bertahan kek. Aku tetap mencintanya dengan penuh perjuangan. Oh ya silahkan kek, jika kau ingin menyeduh kopimu. Aku tidak ingin kau terlalu hanyut dalam ceritaku. Silahkan, kopi dengan susu akan menjadi pemberianku yang pertama. Lantas, biskuit yang bila digigit akan bersuara “kress” bisa menjadi camilanmu di cuaca yang gerah ini.
            Coba lihat kek, langitnya kemerahan. Semalam, dia baru berkata bahwa nanti akan turun hujan. Aku yang duduk sambil memeluk pinggulnya tidak pecaya. Toh, selama ini apa yang dia katakan suka berbohong. Demi membuatku tersenyum. Katanya senyumku menjadi semangat untuknya. Lalu bagaimana kek, aku sering bertemu dengannya. Entah itu pagi, siang, sore, bahkan malam sekalipun. Kami berdua benar-benar sudah seperti pasangan tak terpisahkan. Waktuku dengannya lebih banyak dari pada dengan keluargaku sekalipun kek. Jika aku mau kembali ke Tembalang pagi hari, aku melewatkan sunrise di jalan bersamanya. Melihat matahari yang malu-malu diatas motor. Sambil berkhayal, aku bisa melihat sunrise bersamanya di puncak gunung. Seperti janjinya, dua tahun lalu. Di pagi ketika matahari masih malu-malu itu, aku sering berdoa kek, aku ingin terus seperti ini. Mendampingi disetiap langkah yang akan ia ambil. Seperti keputusannya untuk ikut program pertukaran mahasiswa. Aku mendukung. Meski dengan setengah hati. Namun, aku menyadari, dia tak boleh berhenti hanya gara-gara wanita yang tak punya apa-apa sepertiku.
            Kakek Sapardi, jujur aku sangat menginginkan dia. Seperti kau yang dengan tulus membuat sajak untuk para tuna asmara. Aku pun demikian. Setulus itu juga aku mau mendampinginya ketika ia tersenyum sumringah, tersenyum pahit, ataupun ketika terduduk gagal. Aku hanya berdoa untuk kesempurnaan hidupnya. Untuk jalannya menuju sukses. Dia memang orang baik, kek. Tak heran begitu banyak orang yang mendoakannya. Mungkin, ada yang lebih daripada aku. Lebih bisa mendoakannya. Lebih bisa membahagiakannya. Jika aku menemukannya, aku akan berjabat tangan kek. Karena aku mendoakan hidupnya sempurna. Lantas, aku tidak boleh merasa kalah, bukan? Toh ini bukan perlombaan. Ini soal ketulusan.
            Ada beberapa wanita mendekatinya, kek. Malam ini yang ingin aku ceritakan adalah jika dalam cinta itu tumbuh sebuah cinta yang baru, maka haruskah membuang cinta yang lama? Atau dirawat hingga tumbuh bersama-sama? Aku sadar kek, aku ini wanita. Yang entah perasaannya terbuat dari apa hingga suka menyakiti diri sendiri. Aku menyadari banyak hal bahwa ketika aku merasa cemburu, ya tentu saja itu aku buat sendiri. Ada hormon apa dalam wanita itu, kek? Kadang aku berfikir bahwa... ya benar! Dia memang tidak salah. Namun, ah sudahlah. Aku hendak menutup rapat ini saja. Toh, rasa cemburu ini aku buat sendiri. Biar, biar aku saja yang tau kek. Rasanya memang sakit ya, seperti ada yang menusuk hingga ke pucuk. Merobek hingga sobek. Tapi sudahlah kek, aku hanya tulus mendoakan kesempurnaan hidupnya. Bukan untuk merasakan cemburu yang berlebihan.
            Kek, kau boleh minum lagi beberapa teguk, sebelum benar-benar aku isi dengan kopi selanjutnya. Tembalang memang gerah kek, jangan mengantuk dulu. Aku masih ingin berbagi denganmu. Aduh kek, jangan mengantuk dulu.
            Sebelum aku sudahi, tolong kek, beri aku sebuah jawaban atas sajakmu. Aku hanya ingin hadir dan mendoakan kesempurnaan hidupnya. Meski aku tidak tahu apakah tujuannya itu aku, atau bukan. Apakah kelak ia akan seatap denganku atau tidak. Atau apakah kelak ia akan menjadi cinta sejatiku atau tidak. Kakek Sapardi, jangan hanya tersenyum. Aku tidak bisa mengartikan senyuman orang tua yang setulus itu. Katakan bila aku sudah bisa mencintainya sesederhana kau menulis sajak atau belum. Sejujurnya, aku ingin. Aku ingin mencintai dia dengan sederhana; dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada. Aku berjanji aku akan tulus, Kek. Terima kasih. Maaf, Tembalang membuatmu kegerahan. Kau boleh menghabiskan kopimu, kek. Lalu, duduklah disampingku memandang langit. Kita berdoa bersama. Untuk sebuah ketulusan.

Semarang, 17 Oktober 2016
Annisa Ulfah Miah untuk Sapardi Djoko Damono