Selasa, 18 Maret 2014

Kamu #1






            Entah sejak kapan aku mulai memperhatikanmu. Menyukai semua tingkah lucumu yang selalu bisa mengukir senyum manis di sudut bibirku. Terlihat biasa saja memang, ketika semua orang tertawa lepas melihat sikap manjamu yang mendayu. Namun bagiku tidak. Aku selalu ingin tahu lebih tentangmu. Wanita manis dengan jilbab yang melekat kuat. Betapa shalehahnya dirimu. Itulah yang membuatku selalu memperhatikanmu tanpa kamu tahu.

            Pertemuan kita singkat. Diawali dengan pertemuan yang tak sengaja di lobi sekolah. Aku memandangmu takjub. Betapa tidak? Kamu begitu mempesona. Semua yang ada dalam dirimu hampir sempurna. Tidak ada celah bagiku untuk mengkritikmu. Aku benar-benar dibuat takjub luar biasa. Entah mengapa rasa yang tak pernah aku pikirkan sebelumnya tumbuh seketika. Tuhan memang Maha Tahu. Aku dibuat-Nya terpukau hingga akhirnya mulai detik ini aku ingin mengetahui semua tentangmu. 

            Awal pendekatan ku mulai dengan sering menemuimu. Sering memberimu perhatian kecil hingga akhirnya kita menjadi dekat. Dekat, dekat dan sangat dekat. Sesederhana itu. Namun begitu manis. Perjuangan kecilku mulai kamu hargai. Kamu mulai membuka mata dan tahu bahwa aku menginginkanmu. Kini, kita sering bertemu diam-diam ketika bel istirahat di sekolah mulai berdering. Kita juga sering menghabiskan waktu bersama. Jalan bersama, menonton film, atau hanya sekedar belajar bersama ketika Ulangan Akhir datang. Aku menyukai semua hal itu. Aku senang. Aku bahagia. Aku mampu mengenalmu sedalam ini. Aku juga mampu membuatmu terus merindukanku ketika malam datang. Usahaku memang tak sia-sia. Semua yang aku usahakan kini memang berbuah manis. Wanita yang dulunya hanya bisa aku sentuh dari mimpi kini sudah dapat aku temui di depan mataku. Aku benar-benar tak pernah jenuh melihat semua keindahanmu. Matamu yang sepertinya menyimpan secerca sinar yang selalu menggeret mataku untuk terus menatap matamu. Suaramu yang lucu selalu menggelitik, membuatku selalu rindu. Ya, itu semua membuatku benar-benar jatuh. Membuatku benar-benar menginginkanmu. Kamu berhasil. Berhasil dengan sangat sempurna. 

            Semua yang aku inginkan sudah aku dapatkan. Aku sudah sangat nyaman dengan semua yang kita lakukan saat ini. Aku menyayangimu. Sungguh. Tapi entahlah, aku terlalu sulit mengatakannya. Aku tahu selama ini kita sudah cukup dekat tanpa kejelasan yang pasti. Aku juga tidak tahu. Entahlah, skenario Tuhan memang membingungkan. Aku, sebagai pelaku utamanya juga tak mengerti mengapa kita hanya berhenti pada ketidakpastian. Mungkin aku terlalu takut memberimu kepastian. Karena bagiku, kepastian adalah janji. Aku takut tidak bisa menepati janji yang sudah aku berikan padamu. Semua itu bukan masalah rasaku yang berbeda. Ketahuilah, rasaku ini masih sama. Masih meletup dengan kuatnya. Sama seperti saat kita pertama bertemu di lobi sekolah.

            Kita berjalan dengan keadaan yang masih sama. Masih sama-sama tidak ada kepastian. Hingga saat ini aku juga masih belum berani untuk memberimu kepastian. Memberimu janji. Memberimu kebahagiaan pasti. Entahlah, aku hanya belum sanggup. Aku terlalu nyaman pada keadaan kita saat ini. Pada kita yang tak terikat hubungan apapun. Yang tak terikat pada kepastian apapun. Aku terlalu santai memang. Aku terlalu nyaman sehingga aku tak memikirkan perasaanmu.

            Aku melihat sorot matamu di senja itu. Aku masih ingat, kamu duduk manis dengan jilbab yang melekat menghadapku. Melihat mataku seperti ingin menyuarakan sesuatu. Tampak ada kelelahan yang kamu bendung entah apa aku tak mengerti. Tanganmu lembut menikam tanganku. Hangat. Aku terdiam sesaat memandang keadaanmu. Hatiku agak bergetar. Entah mengapa aku juga tak paham. Aku melihatmu sekali lagi. Kamu menunduk. Tangan kirimu menempel di dada. Entahlah, ada rasa sakit apa yang sedang kamu rasakan. Aku benar-benar buta. Aku benar-benar tak mengerti. Aku melihatmu lagi. Kali ini kamu mendongak pelan. Ada air mata jatuh bercucuran dari kelopak matamu. Mataku melihat tajam. Seketika itu juga hatiku terasa terjatuh. Sakit. Entahlah, aku benar-benar bisa menangkap apa yang kamu rasakan. Aku bisa mengetahui semua yang ingin kamu sampaikan. Aku tak tahan. Tanganku mengusap air matamu perlahan. Berusaha membuat hatimu tenang kembali. Kamu seharusnya tidak perlu merasakan pedih ini. Cukup aku. Biarlah aku yang menanggungnya. Biarkan aku yang bertanggung jawab. Seharusnya, rasaku ini tak perlu kamu ragukan.
Bersambung….

Annisa Ulfah Miah
18 Maret 2014
“Thanks for inspiration. This is for you all, my loyal readers :)