Sejak sebuah cinta kembali memancarkan silaunya. Siluet
indah yang menyambar tak pernah henti membayangi setiap langkah yang aku
tempuh. Langkah yang sebelumnya buram, hitam, kelam, dan tanpa tujuan. Kini
berubah cerah dan lebih mantap. Karena sekarang ada sosok yang aku perjuangkan
kembali. Pria yang dahulunya sempat menghilang entah kemana. Yang sempat
memiliki dan dimiliki orang lain. Yang sempat membagi hatinya pada beberapa
wanita. Ya, kini dia kembali. Bersanding lagi dengan hati yang telah lama
menahan nyeri. Hati yang tak pernah letih berimajinasi bahwa ia akan kembali.
Hati seorang pria yang akan aku perjuangkan untuk kedua kalinya. Meski tidak
mudah, meski terlalu banyak hal yang selalu membuatku seakan runtuh. Tapi,
harus aku akui, aku sangat membutuhkannya. Bukankah seorang yang dibutuhkan
harus diperjuangkan? Sejenak aku sempat merenung dan menyakan pada diri
sendiri. Apa aku salah memperjuangkan seseorang untuk kedua kalinya? Membiarkan
hatiku kembali bersanding dengan hatinya? Apakah keputusan yang salah? Aku
selalu menyimpan pertanyaan semu yang tidak mungkin terjawab itu.
Ya, kembali. Kami kembali. Seperti sebelumnya, semua hal
yang menjadi kebiasaan, kami lakukan kembali. Perpisahan yang pernah kami
rasakan seakan cukup untuk memberikan rasa nyeri yang datang berkali-kali.
Bagiku, kata “Kembali” mengubah banyak hal. Bagaimana bisa setelah perpisahan
yang tak singkat, hati kami kembali disandingkan. Semua kesalahan yang pernah
aku lakukan, kini bisa aku perbaiki. Aku menjadi lebih dewasa dalam mengambil
keputusan dan tidak ingin kehilangannya untuk yang kedua kali. Mengapa? Karena
aku masih memperjuangkannya. Aku tidak mau menyerah untuknya. Ya, sesederhana
itu. Tapi, baginya, kata “Kembali” tidak mengubah banyak hal. Semua hanya terasa
manis diawal. Ya, satu minggu saja. Ketika ia berusaha mengambil hatiku yang
sempat beku. Mencoba membuka kembali dengan kunci yang mungkin masih ia simpan
sedari dulu. Setelah itu, sama seperti yang lalu. Dia kembali berulah.
Memberikan nyeri lagi. Memberikan luka lagi. Ya, begitulah kiranya. Namun, aku
mengerti. Kami hanya perlu sedikit waktu untuk beradaptasi. Mengembalikan semua
rasa yang sempat terbawa angin sehingga
terbang melayang jauh. Tidak. Tidak semuanya menghilang begitu saja. Masih ada sisa
yang aku simpan sejak dulu. Memang sengaja aku simpan. Kalau-kalau dia kembali,
aku hanya tinggal membuat rasa itu meletup lagi.
Aku sering melihat beberapa wanita lain yang mendapat
perhatian lebih dari pasangannya. Ya, semacam pasangan yang saling menunjukkan
rasa cintanya. Iri? Tidak! aku tidak iri sama sekali. Aku bahagia dengannya.
Aku menerima apa adanya. Terkadang terkesan bohong. Tapi memang seperti itulah.
Aku menerima semua yang dia lakukan. Entah memberi bahagia atau bahkan
memberikan perih luar biasa. Aku selalu menerima apapun itu. Mengapa? Masih juga
kau tanyakan itu? Tentu saja karena aku memahaminya. Aku tahu semua tentang
dirinya. Bagaimana dia bertingkah laku, bagaimana kebiasaannya, semua itu tak
pernah luput dari pengamatanku. Karena dia beda, dan aku memahaminya. Maka dari
itu, aku tak pernah merasakan iri tentang apa yang pasangan lain dapatkan dan
tentang apa yang tak aku dapatkan dalam hubungan kami. Aku menyukainya. Karna
aku jatuh cinta padanya begitu saja. Tak ada alasan yang mendasar untuk itu.
Aku yakin, setiap hati tahu kemana ia harus pulang. Entah
kepada orang yang baru, atau kembali pada orang yang pernah ditinggalkan.
Setiap hati harus pulang. Pulang kepada orang yang sama-sama memahami. Kembali
pada orang yang sama-sama mengerti. Itu adalah yang aku alami sekarang. Dia
pulang kepadaku. Kepada hati yang pernah ia torehkan luka. Kepada hati yang
sempat ia tinggalkan. Tapi karena aku memahaminya, aku masih menerimanya begitu
saja. Meski terbayang masa lalu, aku masih berusaha memperjuangkannya. Ya,
untuk membuatnya menjadi pribadi yang lebih baik. Karena aku tidak mau
kehilangannya, lagi.
“Setiap hati tahu
kemana ia harus pulang untuk menghidupkan kembali ribuan angan. Sebuah hati
yang tetap berani jatuh cinta meski tak yakin akan akhirnya. Tetap berani
berjuang meski tak tahu, ia diperjuangkan atau tidak. Semua itu sederhana hanya
karena tak mau kehilangan.”
Annisa Ulfah Miah
26 Agustus 2014