Sabtu sore datang lagi, seperti biasa aku selalu datang
ke kedai kopi andalanku. Tentu saja untuk sekedar menyeduh kopi. Oh tapi
mungkin tidak. Ada satu hal penting yang selalu menjadi tujuan utamaku disana.
Untuk melihatmu, pria hitam manis dengan senyum sederhana. Begitu sederhana
memang, tapi itulah aku. Aku sudah tergila-gila padamu sejak Sabtu sore empat
minggu yang lalu. Seperti biasa aku selalu membawa gitar kesayanganku ke kedai
kopi. Untuk sekedar memainkannya atau untuk menarik perhatianmu adalah salah
satu visi utamaku. Berharap, bahwa kamu akan menengok dan memperhatikan
permainan gitarku. Seharusnya, jika kamu peka dan sadar, kamu akan tahu bahwa
aku memainkan gitar untukmu. Dengan petikan apoyando yang landai dan
menyejukkan. Aku selalu memainkannya dengan tempo yang pelan namun tetap
mendayu.
Seperti biasanya, aku selalu duduk di dekat jendela.
Kursiku tepat mengarah di meja sudut tempat biasanya kamu duduk untuk menyeduh
segelas kopi. Aku selalu meyukai tempatku ini karena disini aku bisa melihatmu
dengan jelas. Meskipun rasanya akan mustahil bila aku bisa mendekat. Untuk
mengetahui namamu saja rasanya sangat mustahil. Aku tentu saja sadar diri bahwa
aku hanya penggemarmu. Dan kamu adalah pria yang sama sekali tak pernah
berfikir tentangku. Iya, aku sadar. Aroma kopi yang sedari tadi mengusik
konsentrasiku akhirnya aku jamah. Aku mengambil cangkir itu kemudian aku teguk
beberapa kali. Nikmat. Kedai kopi yang tak pernah berubah sejak pertama aku datang
kesini. Rasanya selalu sama dan tidak akan pernah berubah. Tidak. Satu-satunya
perubahan yang aku harapkan adalah kamu menghiraukan petikan gitarku, sore ini.
Tanganku kembali memetik senar yang paling bawah. Kali
ini aku memainkan lagu Romance De Amor.
Ini adalah lagu kesukaanku. Lagu yang menggambarkan tentang rasa cinta itu
seakan pas dengan apa yang aku rasakan. Meski lagu lama, entah kenapa lagu itu
selalu membawa atmosfer yang berbeda ketika secara bersamaan kamu muncul di
depan mataku. Tanganku masih lincah memainkan lagu itu dengan petikan al’aire.
Sementara itu, mataku tetap mengawasi pintu kedai yang akan membawamu ke
hadapanku. Tidak ikut kalah, telingaku juga terpasang sebagai pendengar yang
baik untuk mendengar bunyi bel kedai kalau-kalau nanti kamu datang.
Beberapa menit berlalu dengan manis. Ditemani dengan Romance De Amor yang masih enggan berhenti. Aku masih setia.
Mataku menatap lurus meski sebenarnya belum ada tanda-tanda kamu akan datang.
Aku tetap menunggu meski harus terbelenggu dengan rasa kecewa, cemas, dan
kangen yang tumpah jadi satu. Aku masih berusaha untuk menyuara. Berusaha
memainkan gitarku dengan lebih apik lagi meskipun kamu belum tampak dari balik
pintu kaca diseberang sana. Namun, aku tetap meyakinkan diriku. Sabtu sore
kelima ini kamu pasti akan datang. Seperti biasa akan duduk di sana, di
depanku.
“TIIING….” Bel kedai berbunyi tiba-tiba. Aku melihat
sosok pria hitam manis yang selama ini aku tunggu. Kamu datang. Seperti biasa
ada majalah. Iya, majalah yang tak pernah lupa kamu tenteng. Rasa kecewa, cemas,
dan kangen yang tadi sempat memuncak, kini tiba-tiba meleleh seketika. Entah
apa yang membuat rasa itu hancur lebur. Aku tak paham. Yang aku tahu adalah
senyummu selalu menjadi magnet bagiku. Selalu menjadi semangat yang menggelora
sehingga aku mulai memainkan petikan baru yang akan aku pamerkan padamu. Benar
saja, kamu duduk di tempat yang tak pernah berubah sejak pertama aku melihatmu.
Tempat yang sudah aku prediksi sejak awal bahwa aku akan melihatmu dengan jelas
dan nyata disana. Meskipun aku tidak akan bisa menyentuh atau bahkan mengambil
perhatianmu, semua itu tak akan jadi masalah. Yang jelas, aku sudah bahagia
memainkan gitar ini untukmu.
Sambil memainkan petikan baru, mataku melirik ke arahmu.
Ada segelas kopi yang sudah kamu pesan meskipun belum kamu jamah. Matamu masih
tertuju pada majalah yang tadi kamu bawa untuk menemanimu di kedai. Aku tetap
memperhatikanmu. Mata itu, kumis tipis yang melekat entah kenapa selalu bisa
membius tiap nafas yang aku hirup. Senyum sederhana yang merekah meskipun tak kamu lontarkan
untukku, tetap saja selalu membuatku menghiraukanmu. Selalu. Tidak akan pernah
tidak.
Entah sudah berapa lama aku memainkan petikan al’aire
dengan lagu baru Cavatina ini
mengalun lembut. Tapi rasanya kamu memang enggan melirik. Ayolah, lihat aku
disini. Aku bermain untukmu. Aku ingin melihat senyum sederhana itu merekah.
Aku ingin kamu tahu bahwa akulah yang tak pernah bosan ke kedai kopi setiap
Sabtu sore hanya untuk mengobati rindu. Dan benar saja, kamu berdiri dari
tempat dudukmu. Matamu melihat ke sekeliling kemudian langkah pelan yang menuju
mejaku. Mataku sempat terbelalak. Entahlah apa yang akan terjadi setelah ini.
Yang jelas, langkah sepatumu yang berat telah mengantarkamu di meja dudukku.
Bersambung….
Annisa Ulfah Miah
22 Februari 2014