Sabtu, 22 Februari 2014

Manisnya Sabtu Sore #2


 




            Sabtu sore datang lagi, seperti biasa aku selalu datang ke kedai kopi andalanku. Tentu saja untuk sekedar menyeduh kopi. Oh tapi mungkin tidak. Ada satu hal penting yang selalu menjadi tujuan utamaku disana. Untuk melihatmu, pria hitam manis dengan senyum sederhana. Begitu sederhana memang, tapi itulah aku. Aku sudah tergila-gila padamu sejak Sabtu sore empat minggu yang lalu. Seperti biasa aku selalu membawa gitar kesayanganku ke kedai kopi. Untuk sekedar memainkannya atau untuk menarik perhatianmu adalah salah satu visi utamaku. Berharap, bahwa kamu akan menengok dan memperhatikan permainan gitarku. Seharusnya, jika kamu peka dan sadar, kamu akan tahu bahwa aku memainkan gitar untukmu. Dengan petikan apoyando yang landai dan menyejukkan. Aku selalu memainkannya dengan tempo yang pelan namun tetap mendayu. 

            Seperti biasanya, aku selalu duduk di dekat jendela. Kursiku tepat mengarah di meja sudut tempat biasanya kamu duduk untuk menyeduh segelas kopi. Aku selalu meyukai tempatku ini karena disini aku bisa melihatmu dengan jelas. Meskipun rasanya akan mustahil bila aku bisa mendekat. Untuk mengetahui namamu saja rasanya sangat mustahil. Aku tentu saja sadar diri bahwa aku hanya penggemarmu. Dan kamu adalah pria yang sama sekali tak pernah berfikir tentangku. Iya, aku sadar. Aroma kopi yang sedari tadi mengusik konsentrasiku akhirnya aku jamah. Aku mengambil cangkir itu kemudian aku teguk beberapa kali. Nikmat. Kedai kopi yang tak pernah berubah sejak pertama aku datang kesini. Rasanya selalu sama dan tidak akan pernah berubah. Tidak. Satu-satunya perubahan yang aku harapkan adalah kamu menghiraukan petikan gitarku, sore ini.

            Tanganku kembali memetik senar yang paling bawah. Kali ini aku memainkan lagu Romance De Amor. Ini adalah lagu kesukaanku. Lagu yang menggambarkan tentang rasa cinta itu seakan pas dengan apa yang aku rasakan. Meski lagu lama, entah kenapa lagu itu selalu membawa atmosfer yang berbeda ketika secara bersamaan kamu muncul di depan mataku. Tanganku masih lincah memainkan lagu itu dengan petikan al’aire. Sementara itu, mataku tetap mengawasi pintu kedai yang akan membawamu ke hadapanku. Tidak ikut kalah, telingaku juga terpasang sebagai pendengar yang baik untuk mendengar bunyi bel kedai kalau-kalau nanti kamu datang.

            Beberapa menit berlalu dengan manis. Ditemani dengan Romance De Amor  yang masih enggan berhenti. Aku masih setia. Mataku menatap lurus meski sebenarnya belum ada tanda-tanda kamu akan datang. Aku tetap menunggu meski harus terbelenggu dengan rasa kecewa, cemas, dan kangen yang tumpah jadi satu. Aku masih berusaha untuk menyuara. Berusaha memainkan gitarku dengan lebih apik lagi meskipun kamu belum tampak dari balik pintu kaca diseberang sana. Namun, aku tetap meyakinkan diriku. Sabtu sore kelima ini kamu pasti akan datang. Seperti biasa akan duduk di sana, di depanku. 

            “TIIING….” Bel kedai berbunyi tiba-tiba. Aku melihat sosok pria hitam manis yang selama ini aku tunggu. Kamu datang. Seperti biasa ada majalah. Iya, majalah yang tak pernah lupa kamu tenteng. Rasa kecewa, cemas, dan kangen yang tadi sempat memuncak, kini tiba-tiba meleleh seketika. Entah apa yang membuat rasa itu hancur lebur. Aku tak paham. Yang aku tahu adalah senyummu selalu menjadi magnet bagiku. Selalu menjadi semangat yang menggelora sehingga aku mulai memainkan petikan baru yang akan aku pamerkan padamu. Benar saja, kamu duduk di tempat yang tak pernah berubah sejak pertama aku melihatmu. Tempat yang sudah aku prediksi sejak awal bahwa aku akan melihatmu dengan jelas dan nyata disana. Meskipun aku tidak akan bisa menyentuh atau bahkan mengambil perhatianmu, semua itu tak akan jadi masalah. Yang jelas, aku sudah bahagia memainkan gitar ini untukmu.

            Sambil memainkan petikan baru, mataku melirik ke arahmu. Ada segelas kopi yang sudah kamu pesan meskipun belum kamu jamah. Matamu masih tertuju pada majalah yang tadi kamu bawa untuk menemanimu di kedai. Aku tetap memperhatikanmu. Mata itu, kumis tipis yang melekat entah kenapa selalu bisa membius tiap nafas yang aku hirup. Senyum sederhana yang merekah meskipun tak kamu lontarkan untukku, tetap saja selalu membuatku menghiraukanmu. Selalu. Tidak akan pernah tidak. 

            Entah sudah berapa lama aku memainkan petikan al’aire dengan lagu baru Cavatina ini mengalun lembut. Tapi rasanya kamu memang enggan melirik. Ayolah, lihat aku disini. Aku bermain untukmu. Aku ingin melihat senyum sederhana itu merekah. Aku ingin kamu tahu bahwa akulah yang tak pernah bosan ke kedai kopi setiap Sabtu sore hanya untuk mengobati rindu. Dan benar saja, kamu berdiri dari tempat dudukmu. Matamu melihat ke sekeliling kemudian langkah pelan yang menuju mejaku. Mataku sempat terbelalak. Entahlah apa yang akan terjadi setelah ini. Yang jelas, langkah sepatumu yang berat telah mengantarkamu di meja dudukku.
Bersambung….

Annisa Ulfah Miah
22 Februari 2014

Jumat, 21 Februari 2014

Karena Aku Wanita



                Malam ini tak ubahnya seperti malam yang lalu. Sepi, dingin, dan tak pernah ada sapaan lembut lagi. Entah mengapa, sejak kejadian itu aku selalu berusaha menghapus bayanganmu. Bayangan yang entah sampai saat ini tak pernah lelah mengikutiku. Disini, di tempat kesukaanku. Aku selalu menyangkal tentang perasaan ini. Salah besar jika aku terus membiarkan cinta ini mengembang. Aku akan jadi orang yang paling berdosa bila nanti aku sampai menghancurkan hubungan manismu dengan bidadari indah yang selalu ada disampingmu setiap saat. Aku wanita, dan aku paham semua rasa. Aku tak mungkin memliki hati licik untuk menghancurkan hubunganmu. Sama sekali tidak. Aku hanya butuh waktu untuk membunuh rasa cinta yang terus mengembang. Karena ini sebenarnya memang tidak boleh terjadi. Tidak.

            Meski aku menyayangimu dan mengharapkanmu, ini tidak akan membuatku berada di sampingmu. Aku harus sadar diri bahwa aku hanyalah seseorang yang entah ada dipikiranmu atau tidak. Yang entah pernah kamu tanyakan kabarnya atau tidak. Ya Tuhan, semua ini begitu absurb. Entah apa yang harus aku lakukan saat ini. Berdiam dirikah? Atau aku harus melangkah jauh pergi? Ataukah aku harus melanjutkan memperjuangkanmu? Semua ini semu. Absurb. Dan hanya khayalan. Tidak pernah aku berfikir aku akan mencintaimu sedalam ini. Akan menginginkanmu sejauh ini. Aku tak pernah berfikir seperti itu, sungguh. Aku bahkan tak paham mengapa aku bisa memiliki perasaan sedalam ini padamu. Pada seorang pria yang jelas-jelas sudah memilih wanita lain sebagai jalannya. Aku bingung. Sungguh, jika boleh memilih, aku tidak ingin memiliki rasa ini. Aku tahu, diantara kita, pasti aka nada yang terluka. Pasti. 

            Seiring berjalannya waktu, rasa yang dahulunya selalu mengembang, kini seakan kehilangan pompa untuk mengembang lebih besar lagi. Bahkan, kini malah seperti menyusut perlahan-lahan. Aku bahagia. Kini rasa itu tak membebani pikiran lagi. Aku tak akan mengharapkanmu seperti yang lalu. Aku juga sudah bisa membiasakan diri untuk tidak melihatmu lagi dan aku berhasil. Ingin rasanya aku merayakan kemenangan hati yang bebas ini. Namun, ada satu hal yang tetap mengganjal dan selalu menghalangiku untuk lebih jauh melangkah. Senyummu. Meski senyum yang indah merekah itu bukan untukku, tapi mengapa setiap aku melihat senyum itu aku selalu kehilangan daya yang telah aku bangun untuk menjauh darimu. Aku tolol. Aku sudah dengan susah payah membangun tembok besi agar aku tidak lagi mengharapkanmu tapi mengapa hanya karena senyummu yang meskipun tidak untukku, tembok besi itu roboh seketika. Ya Tuhan, kekuatanku adalah kekuatan dari-Mu. Entah aku harus bagaimana saat ini. Aku sudah berkali-kali untuk menghindarinya di setiap langkah. Namun, entah itu kebetulan atau memang ditakdirkan Engkau, aku selalu bertemunya tak sengaja. Selalu mendapatkan bonus senyum indah itu. Ya, sebenarnya aku lelah dengan semua ini. Terus membangun tembok besi setinggi-tingginya, namun akhirnya juga akan roboh sia-sia. 

            Baiklah, sesuatu yang mungkin harus aku jalani. Aku harus mampu. Aku tidak boleh goyah dengan pendirianku. Aku harus tetap maju untuk melupakanmu. Aku selalu ingat bahwa disampingmu ada seorang bidadari yang jauh lebih dari aku. Dan akan mustahil rasanya bila aku akan menggantikan posisinya disampingmu. Aku akan melukai hati yang tak pernah melukaiku. Hati bidadarimu. Dan tentu saja aku tak mau melakukannya. Aku juga wanita dan aku juga bisa merasakan yang ia rasakan. Aku memilih melupakanmu karena aku pikir itu akan menjadi jalan terbaik agar diantara kita tak ada hati yang akan terluka. Aku akan mundur sebelum kamu tahu sebenarnya bahwa aku benar-benar menyayangimu, bahkan bisa lebih dari kekasihmu,

Annisa Ulfah Miah
21 Februari 2014

Kamis, 20 Februari 2014

Kesempatan yang Kebetulan



            Setelah sekian lama kita tidak berjumpa, kini kita dipertemukan dalam kesempatan yang lain di sebuah sore yang beranjak senja. Kita berada dalam satu tempat tanpa saling menyapa. Tanpa saling senyum. Tanpa ada percakapan sedikitpun. Ini adalah pertemuan yang kesekian kalinya sejak kita berpisah. Pertemuan yang tak pernah membawa kabar baik bagiku. Mungkin juga bagimu. Kita layaknya orang yang tak pernah kenal. Kita sama-sama memungkiri bahwa sebenarnya kita pernah bersama. Kita pernah menjadi satu. Dibalik sikap cuekmu, aku pernah menjadi yang terbaik. Aku pernah menemanimu dan melukis harimu sehingga lebih bermakna untuk dilewati. Aku pernah menjadi wanita yang mendampingimu setiap saat. Pernah. Kamu juga demikian, kamu pernah menjadi pria utama di hidupku. Pria yang selalu aku rindukan. Pria yang aku banggakan di depan semua orang. Pernah. Namun, kita memang sama-sama diselimuti rasa gengsi yang tidak bisa diungkapkan. Entahlah, mungkin saat ini kita sudah berjalan di jalan yang berbeda. Sehingga, tak ada lagi sapa, senyum, dan percakapan manis seperti yang lalu.

            Pada kesempatan yang Tuhan berikan ini, kita terpisah pada tribun yang berbeda. Kamu duduk manis dengan beberapa senyum yang kau lontarkan. Bukan untukku memang, namun tetap saja tak ada perubahan. Masih sama. Tak berubah meskipun kita kini telah berjauhan. Tempatmu duduk sebenarnya tak begitu jauh dariku. Tapi sikap kita yang semakin membuatku merasa jauh. Entah mengapa, kehadiranmu yang sepertinya kebetulan begitu menghasut pikiran. Namun, tunggu dulu. Entah kebetulan, atau memang kehendak Tuhan, aku tak paham. Tapi, terimakasih. Rindu yang beberapa hari lalu sempat mengganggu pikiranku, kini sirna ketika aku bertemu denganmu di kesempatan ini. Mataku kembali fokus pada permainan sepak bola yang ada di depan mata. Hujan yang mengguyur membuat euphoria di tribun menjadi semakin ramai. Teriakan dari segala penjuru sedikit membuatku lupa bahwa kamu ada disini. Disini, bukan di sampingku. Namun, disana, di tribun yang berbeda.

            Tanganku bertepuk tangan mengikuti euphoria penonton yang ada di sekelilingku. Senyum mengembang dimana-mana. Teriakan lantang dan yell-yell menggema menjadi support untuk para pejuang lapangan. Di tengah-tengan kebisingan itu, mataku memang belum bisa terlepas memperhatikanmu di ujung. Dari tempatku duduk, memang tak terlihat jelas. Tapi apalah arti kata rindu? Aku tetap memperhatikanmu walau hanya sebuah bayangan. Aku mengibaskan tanganku sambil berkata dalam hati, “Ah sudahlah!”. Aku tidak boleh memperhatikanmu lagi. Aku tidak boleh mengharapkan senyum. Bahkan sapaan lagi darimu. Aku juga sudah menyadari kalau kita sudah berjalan pada jalan kita masing-masing. Kita sudah sama-sama berlari meninggalkan yang sudah terjadi. Kita juga sudah tidak butuh lukisan-lukisan lama yang berbau drama yang sempat kita perankan dulu. Kita sudah berbeda. 

            Udara di stadion tiba-tiba menjadi garang. Hujan menembus tribun dari arah depan. Aku tetap terfokus pada permainan bola meskipun aku harus membohongi perasaanku sendiri. Tapi sudahlah, cukup. Ini adalah kesempatan yang kebetulan. Kebetulan bertemu denganmu. Kebetulan melihat wajahmu. Kebetulan mengobati rindu. Sesederhana itulah kesempatan kita pada sore yang beranjak senja ini. Meski langit mulai berubah menjadi petang, meski terang sudah berubah menjadi hujan, meski euphoria kebahagian telah berubah menjadi kekecewaan. Namun, tetap saja, kita yang telah berjalan sendiri tidak akan berubah menjadi berjalan pada jalan yang sama. 

            Semuanya berhenti. Para pejuang lapangan mulai kembali ke arah tribun. Euphoria yang tadinya sangat bising tiba-tiba menjadi hening. Penonton mulai meninggalkan tribun, termasuk kamu. Kesempatan kita berakhir pada petang ini. Terimakasih atas kesempatan yang kebetulan terjadi. Kesempatan yang sedikit telah mengobati rasa rindu yang mengembang.

Annisa Ulfah Miah
20 February 2014

Sabtu, 08 Februari 2014

Harapku Kepada Malam



                

            Malam ini sama seperti malam sebelumnya. Aku duduk disampingmu dan terkadang kita berhadapan untuk menatap mata satu sama lain. Ini yang aku suka, duduk berdua dengan canda tawa yang tak sengaja terselipkan diantara pembicaraan manis kita. Ini juga yang selalu aku rindukan, senyum manis yang mengembang sumringah tanpa paksaan. Belaian halus tanganmu yang selalu aku harapkan agar tak pernah berhenti membelai rambut hitamku. Waktu yang bagiku adalah waktu yang luar biasa. Waktu yang memberikan kebahagiaan yang menjalar di setiap nadiku. Entahlah, rasa bahagia yang berlebih. Setiap aku melihat mata indahmu, entah mengapa selalu muncul rasa takut kehilangan. Rasa itu selalu merambat disekujur tubuhku. Entah firasat atau mungkin hanya sekedar perasaan yang berlebihan, aku juga tak paham. 

            Aku selalu mengingat ini, disetiap kita duduk berdua di bawah naungan langit Tuhan, kamu selalu berkata dengan penuh keyakinan bahwa akulah satu-satunya. Bahwa akulah sumber kebahagiaanmu. Karena hanya aku, wanita yang membuatmu selalu merindukan malam. Kata-katamu itu mampu membuatku melayang jauh ke tempat antahberantah yang telah memberikanku kebahagiaan yang sempurna. Kamu juga mampu memngukir senyum ikhlas yang mengembang penuh kepercayaan di bibirku. Iya, itulah kamu. Memberiku harap dan meninggikan semua khayalku. 

            Malam yang masih tetap sama. Posisi duduk kita juga sama. Sama-sama berhadapan. Sama-sama menatap mata satu sama lain. Aku diam. Kamu juga ikut diam. Kita tak bersuara sama sekali. Malam ini hening. Tak ada yang bergeming. Aku sibuk menatap mata indah yang Tuhan ciptakan kini tepat berada di hadapanku. Aku juga sibuk mengagumi tubuhmu yang gagah berisi. Tubuh yang kelak akan melindungiku dari segala goresan entah itu goresan lahir atau goresan batin. Tangan yang kelak siap menopang tubuhku ketika aku terjatuh dan membutuhkan uluran tangan untuk kembali berdiri tegak. Semua itu aku temukan di dalam dirimu, Sayang. Aku sudah menaruh harapan yang tak terhingga tingginya. Aku juga sudah memberikan seluruh hati dan fikiranku sehingga semuanya telah terkunci rapat olehmu. Sadarilah, kini hanya kamulah satu-satunya. Kini hanya kamulah yang aku miliki untuk mewujudkan semua harapan. Dan kini hanya kamulah yang telah berhasil mengunci rapat hati dan fikiranku. 

            Angin yang berhembus lembut seakan mendayu jiwaku. Dan tiba-tiba, “DEG!” Aku tersadar. Aku berkhayal terlalu jauh. Aku melangkah terlalu lebar. Aku sadar aku berkhayal. Aku sadar tak ada malam seindah dulu  lagi. Aku sadar tak ada kamu lagi. Aku sadar semuanya. Semuanya semu. Semuanya adalah khayalan yang masih belum bisa aku musnahkan. Malam ini adalah malam yang berbeda. Malam yang sebenarnya aku duduk sendiri. Bukan duduk bersamamu. Malam yang kesekian kalinya aku lewatkan bersama khayalan dan bayangan bohong yang selalu aku ciptakan sendiri. 

            Maaf. Maafkan aku. Aku masih belum bisa terbiasa tanpamu. Belum bisa terbiasa melewati malam indah tanpa kehadiranmu yang biasanya duduk manis di sampingku. Aku juga masih terbayang akan omong kosongmu yang menganggapku adalah satu-satunya. Omong kosong yang sementara mampu membuatku melayang tinggi dan jatuh terhempas seketika. Omong kosong yang menyakitkan. Namun tunggu, atau mungkin ini semua adalah salahku? Mungkin aku yang telah salah mengartikan perhatianmu yang berlebihan sehingga semuanya berubah. Dan aku tak lagi mengenal siapa aku sebenarnya dan siapa kamu sebenarnya. Semua tertutupi kebohongan yang bisu. Sekali lagi maafkan aku, aku hanya belum mampu merasakan seperti ini. Aku hanya belum mampu dihempaskan dari khayalanku yang tingginya tak terhingga itu. Aku juga belum bisa menghapuskan luka yang pernah kau ukir entah sengaja ataupun tidak. Namun, terimakasih. Kamu telah memberikanku waktu untuk dapat memberikan harapanku yang teramat tinggi itu padamu. Meski pada akhirnya, aku harus merasakan bagaimana dihempaskan begitu saja. 

            Aku sudah terlalu rapuh. Mungkin semua bayangan yang sengaja aku ciptakan sendiri membuatku menjadi pengkhayal yang terlalu jauh. Aku tidak akan menyalahkanmu. Aku akan tetap menyukai malam meskipun aku tahu, kamu tidak demikian.

Annisa Ulfah Miah
8 Februari 2014