Selasa, 03 Desember 2013

Aku Masih Menyembunyikan Kelelahan

                Meski langit masih pucat. Aku tetap harus bergegas. Aku harus mencari harapan baru demi sebuah kebahagiaan. Aku harus berlari. Berlomba-lomba meninggalkan apa yang pernah menjadi harapan. Mencoba berpaling tapi memang tidak mudah. Mencoba memendam tapi memang sangat sakit. Bahkan, aku sudah mencoba tetap berlari tapi memang sangat lelah.  Begitulah aku. Aku yang masih terbayang-bayang derita masa lalu. Aku yang masih enggan beranjak meski tahu semua ini perlahan-lahan akan membuhunku. Itulah ketololanku. Aku masih belum bisa meniadakan semua itu seperti yang kau lakukan. Aku masih belum sempat memikirkan kebahagiaanku karna semua telah engkau renggut begitu saja. Kau renggut hingga tak ada yang tersisa.

                Aku mencoba berlari dibawah semburat cahaya matahari. Aku masih bertekad meninggalkan semua yang pernah kita lalui. Aku berniat. Berniat dari lubuk hati karna memang aku lelah. Lelah yang tak bisa terus ku paksakan. Lelah yang tak bisa terus aku tampakkan. Aku lelah. Sangat lelah. Menyembunyikan kelelahan bukan hal yang mudah. Kau harus tahu itu. Aku sudah lelah menyembunyikan kelelahan. Semacam ada gurat putus asa yang tak bisa ku jelaskan. Aku sudah lelah dan aku ingin berhenti. Berhenti. Bukan berhenti sejenak untuk singgah. Bukan! Bukan berhenti untuk membuang kelelahan. Bukan! Bukan juga berhenti untuk tujuan baru. Namun, aku berhenti karna aku memang benar-benar lelah. Lelah. Lelah karena pengabaianmu.

                Ketika aku telah mencoba berlari dan berniat untuk pergi dari kelelahan. Kamu tiba-tiba datang tanpa pengabaian. Kamu datang seolah melarangku untuk lelah dan berhenti. Kamu datang seolah merangkulku kembali agar aku tetap singgah. Kamu datang seolah memberi peringatan bahwa aku harus tetap menunggu meski dalam kelelahan. Kemari dan mendekatlah. Tolong, lihatlah aku sejenak. Pandangi mataku. Lihatlah. Masih adalah tenaga yang ku miliki untuk melawan rasa lelahku? Masih adakah yang aku miliki untuk memendam kelelahanku? Masihkah? Kamu masih melihatnya bukan? Hanya ada di sini. Hanya ini yang masih aku miliki. Separuh hati yang tidak ikut tercabik-cabik ketika kamu pergi. Iya, ini adalah yang paling berharga. Aku bahkan tidak berani memberikannya kepada orang lain. Apalagi kepadamu. Separuh hatiku saja sudah kau cabik-cabik sedemikian rupa. Bagaimana jika separuh hati ini ku berikan? Aku pasti tak dapat mempunyai hati lagi. Habis sudah kau cabik-cabik dan kau renggut begitu saja. Namun, kedatanganmu yang tanpa pengabaian itu tak berlangsung lama. Setelah itu, sama saja. Pengabaianmulah yang selalu ku dapat. Rangkulanmu itu sudah sedari kau lepas rupanya. Iya, hanya sebentar pengabaian itu hilang. Keesokan harinya datang lagi. Dan keesokan hatinya lagi. Dan lagi. Dan lagi. Pengabaianmu itu sangat menyukaiku rupanya.

                 Coba, kemarilah. Duduklah disampingku. Coba bayangkan semua yang pernah kita lalui. Semuanya! Iya, mulai dari hangatnya pelukan Jogjakarta. Semilirnya angin di Pantai Indrayanti.. Tajamnya Gunung Merapi dari Ketep Pass. Surprise lembut yang kau berikan dua bulan yang lalu. Alunan gitar dan keyboard yang sempat kau mainkan untukku. Semuanya itu sangat lembut. Lembut sampai bahkan aku tak dapat menyaringnya. Jangan jauh-jauh. Cobalah mendekat. Aku tahu kau sudah meniadakan semua itu hingga kau tak merasakan lelah seperti yang aku rasakan. Bahkan omonganku yang seperti ini juga tak akan bisa menembus dinding hatimu yang keras bak terbuat dari baja. Baja yang terlalu sulit aku lunakkan. 

                  Lantas, sekarang apa yang harus aku lakukan? Tetap menunggumu dan menyembunyikan rasa lelahku? Atau aku harus lebih lama lagi memendam rasa lelah ini sampai aku tak sadar diri? Bicaralah. Jangan mudah merangkulku dan melepaskanku begitu saja. Aku ini memiliki perasaan. Sejauh mana kau mengerti apa yang aku rasakan? Sejauh kau melakukan pengabaian? Mungkin. Namun, maafkan aku. Aku harus tetap berlari. Mencoba menikam kembali semua yang pernah kita lalui. Bila suatu saat nanti aku lelah kembali, aku tidak akan ikut dalam rangkulanmu. Aku akan berhenti dan mulai memikirkan kebahagiaanku. Bukan kebahagiaanmu lagi. Dan bila suatu saat nanti engkau mencariku, nantilah aku. Nantilah hingga kamu merasa lelah. Merasakan semua yang pernah aku rasakan. Nantilah. Jika memang Tuhan menakdirkanku untuk kau rangkul. Aku pasti berhenti dalam rangkulanmu lagi.

Magelang, 3 Desember 2013
Annisa Ulfah Miah