Senin, 07 April 2014

Kamu #2



            Kini, entah sudah berapa lama aku dan kamu bertahan pada keadaan seperti ini. Setelah memberanikan diri untuk tetap berjalan bersama, sejauh ini kita masih berada di tempat yang sama. Masih tetap bertahan pada ketidakpastian yang masih enggan menjadi pasti. Tetap berani merangkai mimpi besar, meski tahu itu pun enggan terjadi. Aku tentu saja merasakan semua hal yang selalu menyumbat pikiranku ini. Namun, aku memang belum bisa. Aku hanya butuh lebih banyak waktu saja. Ini bukan tentang aku ingin menelantarkanmu, bukan. Sama sekali bukan. Bukan juga tentang memberimu harapan palsu. Aku tidak seperti itu. Aku ini pria yang sangat menyayangimu. Aku berani melakukan apapun untuk membahagiakanmu. Demi melukis senyum indahmu, aku berani melakukan segalanya. Kamu harus tahu, aku sangat menghormatimu sebagai wanita yang aku agungkan. Setinggi itulah derajatmu dalam mataku. Setinggi itu juga, aku harus melindungimu dari berbagai duri tajam yang mencoba merusak keagunganmu. Pernahkah kamu berfikir demikian? Aku sangat paham dengan pola pikirmu yang mungkin sangat bertolak belakang denganku. Tapi, inilah caraku meyayangimu. Inilah caraku melindungimu.

            Meskipun keadaan tak berpihak pada keinginan kita, kamu harus tetap percaya bahwa aku meyayangimu. Sekali lagi aku tegaskan, aku menyayangimu. Jangan takut. Jangan pernah berpikir aku akan lelah. Juga jangan pernah mengira aku akan menyerah. Aku berjanji aku tidak akan lelah dan menyerah. Aku akan tetap berdiri disini. Disampingmu. Menggegam erat tanganmu. Mengagungkan kehadiranmu. Melindungi semua yang ada dalam dirimu. Ada baiknya, semua ini kita serahkan pada waktu. Entah kapan waktu akan menjawab semua kesabaran kita. Menjawab semua keinginan kita. Serta mengubah semua mimpi-mimpi kita menjadi nyata. Selama itu belum terjadi, selama itu juga aku akan bertahan diantara semua ini bersamamu. Aku akan ada. Aku berjanji.

            Hingga suatu malam ketika aku memutuskan untuk menemuimu, Tuhan menghinggapkan perasaan yang tak nyaman di hatiku. Malam ini berbeda. Aku juga tak mengerti ada apa dengan malam ini. Rasa yang menggeliat itu, aku abaikan. Aku berharap akan lebih baik. Malam yang sudah aku tunggu-tunggu. Aku menemuimu di sebuah taman kecil. Seperti yang sudah ku duga, kamu telah sampai terlebih dahulu. Jilbabmu yang berwarna terang seakan menyapaku dari kejauhan. Kamu duduk seorang diri dibawah pancaran lampu taman. Suasana yang romantis sekali. Andai saja, aku berani memberi kepastian malam ini, aku yakin pasti kamu akan sangat bahagia. Aku berjalan pelan di belakangmu. Mengendap-endap dengan sekuntum bunga mawar merah di tangan. Ah, suasana malam ini begitu romantis terbentuk dengan sendirinya. Tak ada yang membuatku bahagia selain pertemuan kita di bawah pancaran sinar lampu taman.

            Langkahku pasti mendekatimu. Kamu yang sedari tadi hanya diam membisu tampak tersenyum kecil. Indah sekali. Ah, kamu memang benar-benar bidadariku. Bidadari yang masih enggan aku miliki. Aku menatapmu dengan perasaan bahagia yang dalam. Melihat matamu yang indah dengan bola mata coklat yang melingkar sempurna. Segera aku berikan mawar yang indah itu. Kamu menerimanya dengan senyum bahagia. Kita duduk berdua. Memandang keadaan sekitar yang penuh dengan cinta. Malam yang benar-benar sempurna yang aku lewati bersamamu. Banyak yang kita bicarakan malam ini. Semua topik yang tak menatik menjadi perbincangan menarik antara kita. Banyak terselip kata-kata manis dan canda tawa yang enggan berhenti menghiasi obrolan kita malam ini. Sampai akhirnya kamu menyinggung tentang kepastian. Kepastian yang aku janjikan namun memang belum terlaksana. Aku mendadak mati kutu. Suasana menjadi hening. Kamu berhasil membuatku bisu. Tanganmu menarik lengan bajuku. Seperti anak kecil yang manja, kamu menanyakan itu berulang kali. Mungkin, kalau aku bisa menjelaskan maksud ku, aku akan secepatnya menveritakan padamu. Namun sayangnya tidak sekarang. Matamu tajam melihatku. Sesekali melirik ke segala arah, kemudian menatapku lagi. Sampai akhirnya kamu lelah sendiri. Tanganmu berhenti menggeret-geret bajuku. Wajahmu juga menunduk. Tak ada lagi mata yang menatap tajam.

            Aku melihatmu dari bawah. Ada air mata lagi. Mengapa begitu cepat semua canda dan tawa berubah jadi air mata yang menggenang di kelopakmu. Tanganku membelai tipis pipimu. Mengusap air mata yang jatuh. Matamu menatapku nanar. Bibirmu bergerak namun kesulitan. Aku buta lagi. Aku buta! Ada apa lagi denganmu? Aku tidak bisa membaca perasaanmu, Sayang. Aku terus menatapmu dengan tatapan tajam. Sampai akhirnya kamu berkata dengan bibir yang gemetar, “Aku telah dimiliki orang lain.” Seketika itu, aku menunduk. Mencoba mengatur emosi. Mencoba menenangkan hati. Jadi, apa maksud semua canda dan tawa kita tadi? Maksud dari pertemuan kita malam ini, jika akhirnya kamu memilih orang lain. Kamu lelah? Kamu lelah berjalan bersamaku? Kamu menyerah memperjuangkanku? Setega itukah dirimu? Baiklah, aku tahu. Aku yang salah. Aku tahu, akulah yang enggan memberimu kepastian sehingga kamu memilih pergi bersama orang lain. Seperti yang pernah aku katakan, biarkan aku yang menanggungnya. Biarkan aku yang bertanggung jawab. Seharusnya, rasaku ini tak perlu kamu ragukan. Dan suatu saat nanti, ketika kamu tahu siapa aku. Ketika kamu meyadari dan paham akan semua maksud dan tujuanku selama ini, aku yakin, bahwa kamu sebagai wanita yang aku agungkan akan kembali pada hati yang pernah kau tinggalkan.


Annisa Ulfah Miah
7 April 2014
 “Thanks for inspiration. This is for you all, my loyal readers J