Kini, entah sudah berapa lama aku dan kamu bertahan pada keadaan seperti ini. Setelah memberanikan diri untuk tetap berjalan bersama, sejauh ini kita masih berada di tempat yang sama. Masih tetap bertahan pada ketidakpastian yang masih enggan menjadi pasti. Tetap berani merangkai mimpi besar, meski tahu itu pun enggan terjadi. Aku tentu saja merasakan semua hal yang selalu menyumbat pikiranku ini. Namun, aku memang belum bisa. Aku hanya butuh lebih banyak waktu saja. Ini bukan tentang aku ingin menelantarkanmu, bukan. Sama sekali bukan. Bukan juga tentang memberimu harapan palsu. Aku tidak seperti itu. Aku ini pria yang sangat menyayangimu. Aku berani melakukan apapun untuk membahagiakanmu. Demi melukis senyum indahmu, aku berani melakukan segalanya. Kamu harus tahu, aku sangat menghormatimu sebagai wanita yang aku agungkan. Setinggi itulah derajatmu dalam mataku. Setinggi itu juga, aku harus melindungimu dari berbagai duri tajam yang mencoba merusak keagunganmu. Pernahkah kamu berfikir demikian? Aku sangat paham dengan pola pikirmu yang mungkin sangat bertolak belakang denganku. Tapi, inilah caraku meyayangimu. Inilah caraku melindungimu.
Meskipun keadaan tak berpihak pada keinginan kita, kamu
harus tetap percaya bahwa aku meyayangimu. Sekali lagi aku tegaskan, aku
menyayangimu. Jangan takut. Jangan pernah berpikir aku akan lelah. Juga jangan
pernah mengira aku akan menyerah. Aku berjanji aku tidak akan lelah dan
menyerah. Aku akan tetap berdiri disini. Disampingmu. Menggegam erat tanganmu.
Mengagungkan kehadiranmu. Melindungi semua yang ada dalam dirimu. Ada baiknya,
semua ini kita serahkan pada waktu. Entah kapan waktu akan menjawab semua
kesabaran kita. Menjawab semua keinginan kita. Serta mengubah semua mimpi-mimpi
kita menjadi nyata. Selama itu belum terjadi, selama itu juga aku akan bertahan
diantara semua ini bersamamu. Aku akan ada. Aku berjanji.
Hingga suatu malam ketika aku memutuskan untuk menemuimu,
Tuhan menghinggapkan perasaan yang tak nyaman di hatiku. Malam ini berbeda. Aku
juga tak mengerti ada apa dengan malam ini. Rasa yang menggeliat itu, aku
abaikan. Aku berharap akan lebih baik. Malam yang sudah aku tunggu-tunggu. Aku
menemuimu di sebuah taman kecil. Seperti yang sudah ku duga, kamu telah sampai
terlebih dahulu. Jilbabmu yang berwarna terang seakan menyapaku dari kejauhan.
Kamu duduk seorang diri dibawah pancaran lampu taman. Suasana yang romantis
sekali. Andai saja, aku berani memberi kepastian malam ini, aku yakin pasti
kamu akan sangat bahagia. Aku berjalan pelan di belakangmu. Mengendap-endap
dengan sekuntum bunga mawar merah di tangan. Ah, suasana malam ini begitu
romantis terbentuk dengan sendirinya. Tak ada yang membuatku bahagia selain
pertemuan kita di bawah pancaran sinar lampu taman.
Langkahku pasti mendekatimu. Kamu yang sedari tadi hanya
diam membisu tampak tersenyum kecil. Indah sekali. Ah, kamu memang benar-benar
bidadariku. Bidadari yang masih enggan aku miliki. Aku menatapmu dengan
perasaan bahagia yang dalam. Melihat matamu yang indah dengan bola mata coklat
yang melingkar sempurna. Segera aku berikan mawar yang indah itu. Kamu
menerimanya dengan senyum bahagia. Kita duduk berdua. Memandang keadaan sekitar
yang penuh dengan cinta. Malam yang benar-benar sempurna yang aku lewati
bersamamu. Banyak yang kita bicarakan malam ini. Semua topik yang tak menatik
menjadi perbincangan menarik antara kita. Banyak terselip kata-kata manis dan
canda tawa yang enggan berhenti menghiasi obrolan kita malam ini. Sampai
akhirnya kamu menyinggung tentang kepastian. Kepastian yang aku janjikan namun
memang belum terlaksana. Aku mendadak mati kutu. Suasana menjadi hening. Kamu
berhasil membuatku bisu. Tanganmu menarik lengan bajuku. Seperti anak kecil
yang manja, kamu menanyakan itu berulang kali. Mungkin, kalau aku bisa
menjelaskan maksud ku, aku akan secepatnya menveritakan padamu. Namun sayangnya
tidak sekarang. Matamu tajam melihatku. Sesekali melirik ke segala arah,
kemudian menatapku lagi. Sampai akhirnya kamu lelah sendiri. Tanganmu berhenti
menggeret-geret bajuku. Wajahmu juga menunduk. Tak ada lagi mata yang menatap
tajam.
Aku melihatmu dari bawah. Ada air mata lagi. Mengapa
begitu cepat semua canda dan tawa berubah jadi air mata yang menggenang di
kelopakmu. Tanganku membelai tipis pipimu. Mengusap air mata yang jatuh. Matamu
menatapku nanar. Bibirmu bergerak namun kesulitan. Aku buta lagi. Aku buta! Ada
apa lagi denganmu? Aku tidak bisa membaca perasaanmu, Sayang. Aku terus
menatapmu dengan tatapan tajam. Sampai akhirnya kamu berkata dengan bibir yang
gemetar, “Aku telah dimiliki orang lain.” Seketika itu, aku menunduk. Mencoba mengatur
emosi. Mencoba menenangkan hati. Jadi, apa maksud semua canda dan tawa kita
tadi? Maksud dari pertemuan kita malam ini, jika akhirnya kamu memilih orang
lain. Kamu lelah? Kamu lelah berjalan bersamaku? Kamu menyerah
memperjuangkanku? Setega itukah dirimu? Baiklah, aku tahu. Aku yang salah. Aku tahu,
akulah yang enggan memberimu kepastian sehingga kamu memilih pergi bersama
orang lain. Seperti yang pernah aku katakan, biarkan aku yang menanggungnya. Biarkan
aku yang bertanggung jawab. Seharusnya, rasaku ini tak perlu kamu ragukan. Dan
suatu saat nanti, ketika kamu tahu siapa aku. Ketika kamu meyadari dan paham
akan semua maksud dan tujuanku selama ini, aku yakin, bahwa kamu sebagai wanita
yang aku agungkan akan kembali pada hati yang pernah kau tinggalkan.
Annisa Ulfah Miah
7 April 2014
“Thanks for inspiration. This is for you all,
my loyal readers J “