Aku tidak tahu mengapa
kau akhir-akhir ini menguji kemarahanku bahkan menguras emosiku. Kau tentu
tahu, aku tidak pernah bisa benar-benar marah di hadapanmu. Tidak! Kau tentu
tahu juga bagaimana aku mati-matian mempertahankan semua hingga saat ini. Tidak
ingin menyerah tetap berdiri. Tapi, apa yang bisa aku lakukan bila ternyata kau
tak demikian. Bukannya aku tidak bisa menerima keadaanmu, tapi ini sulit,
sayang. Kau milikku dan aku takkan rela kau disentuh yang lain. Sama seperti
kau tak rela aku disentuh yang lain. Tapi berkali-kali aku tunjukkan rasaku,
kau semakin menjadi-jadi. Ada apa denganmu sayang? Kau bukan yang dulu. Kau bukan
kekasihku yang ku kenal. Aku bahkan setengah mati mengingat, bagaimana kau
meyakinkanku untuk tidak menaruh cemburu kepada semua yang berada di sampingmu.
Yang kedudukannya lebih besar dariku. Yang setengah mati kau sayangi. Lantas,
aku hanya bisa diam.
Kau benar. Mereka tak
perlu dicemburui. Kau benar, berkata bawa akulah yang mendapat segalanya, kau
benar. Aku yang mendapat kasih sayang, cinta, perhatian lebih, dan segalanya. Aku
pemenangnya. Sekali lagi, kau memang selalu menjadi yang paling benar. Disaat yang
lain sudah mengaku salah, kau tetap keukeuh menjadi yang paling benar. Aku tidak
seharusnya mencemburui mereka. Mereka bagian dari hidupmu, dan aku adalah
sebuah bingkisan baru. Belum sepenuhmya menjadi sebuah bagian. Sama seperti
mereka. Aku memang salah menaruh rasa cemburu, namun ada satu hal yang wajib
kau ketahui, sayang.
Sayang, kau tahu aku
wanita. Kau tahu, bagaimana hatinya jika tergores. Luka. Kau tahu bagaimana lembut
perasaannya, bukan? Sayang, kau sudah lebih dari cukup memberiku segalanya. Kau
sudah lebih dari apapun mencurahkan rasa. Kau sudah yang paling hebat yang
mampu memiliki hati ini. Namun, bukan soal itu. Bukan soal siapa yang paling banyak
mendapatkan perhatianmu. Bukan soal siapa yang mampu memilikimu saat ini. Bukan
soal itu. Bukan juga tentang siapa yang kau perjuangkan. Namun, soal bagaimana
kau menjaga perasaannya. Bagaimana caranya kau tidak membebaninya rasa cemburu.
Bagaimana bisa, kau selalu mengagung-agungkan yang lain, tapi pernahkan sedikit
saja, kau pikirkan perasaannya? Bagaimana jadinya jika ia menaruh rasa cemburu
berlebihan karena ulahmu sendiri? Bagaimana bisa dia tidak menaruh rasa curiga
bila kau memperlakukan yang lain lebih istimewa. Apa yang salah? Dia
mencintaimu dan dia patut untuk menjagamu. Bukan tentang dia yang tidak
mengerti, bukan tentang dia yang harus tunduk untuk tidak mencemburui. Tapi karena
dia tak ingin prianya tersentuh yang lain. Kau tentu mengerti sayang, aku yakin
kau bukan orang sembarangan yang menganggap remeh ini semua.
Sayang, jika memang
semua ini adalah kesalahanku, lantas beritahu aku dimana letak salahnya. Jika memang
harus aku yang mengerti keadaanmu, beritahu aku bagaimana caranya. Cemburuku wajar,
aku tidak mencari wanita itu. Aku juga tidak menuduhmu berbuat yang tidak baik.
Sayang, syukurlah aku masih memiliki otak yang cukup waras. Aku masih bisa
membedakan mana yang benar dan salah. Aku juga sudah cukup dewasa untuk
mengetahui permasalahan yang ada. Aku hanya tidak mengerti, bagaimana aku harus
selalu bersikap tak acuh sementara kau tetap melakukannya, tidak hanya sekali
atau dua kali. Beritahu aku agar aku tidak menjadi wanita yang buruk. Beritahu aku
agar aku tidak terus-menerus membuatmu “sakit”. Bahkan, aku sering tidak
mengetahui dalam kisah ini siapa yang diam-diam paling banyak menahan sakit.
Bah! Aku sudah tidak bisa tahan sayang, aku sudah tidak bisa berusaha bersikap
tak acuh. Aku sudah berusaha untuk meyakinkanku bahwa semuanya baik-baik saja. Dan
sesungguhnya aku tidak ingin mengulanginya. Tapi apa boleh buat, kau melakukan
hal yang sama, lagi. Lalu, pantaskah aku untuk mencemburui kali ini?
Sayang, sungguh tak ada
niatan apapun. Tak ada sedikit rasa benci pun. Hanya cemburu. Hanya itu. Aku tidak
banyak berharap. Kau selalu berkata aku penyebab dari semuanya. Aku penyebab
kenapa aku selalu mengomel, selalu meluapkan emosi hingga membuatmu “sakit”. Aku
tahu lebih banyak dari yang kau tidak tahu, sayang. Aku tahu semuanya meski tak
kau dongengkan satu persatu. Aku tahu, tapi aku memilih diam. Tidak ingin
menyulut api masalah. Kau selalu berkata lelah dengan ini semua. Lelah jika aku
terus mengomel setiap kali kau begitu. Kau tahu sayang, aku lebih lelah. Tapi aku
tidak membuka suara. Aku diam. Aku diam saat kau meluapkan semua emosimu. Aku mengalah
saat kau bilang lelah. Aku mencoba membenahi semua, sayang. Aku yang
mengemis-emis meminta kau untuk padamkan amarah. Aku yang dimaki-maki pun masih
diam seribu bahasa saat kau tak acuh. Aku tetap hadir sebagai siapa aku. Sebagai
wanita yang aku yakin, paling tidak bisa kehilanganmu. Wanita kedua setelah
ibu, yang jika kau marah dan memprotes, ia hanya bisa diam. Wanita yang tetap
hadir jika kau tak ingin melihatnya lagi. Hina? Tidak! Aku tidak pernah merasa
hina menjadi wanita yang tetap menunduk dan meminta maaf. Aku tidak pernah
merasa risih, jika aku terus-terusan mengemis perhatian ketika kau tak acuh. Aku
berusaha. Berusaha melakukan apapun untuk mengingatkanmu jika kau mulai salah
arah.
Sayang, waktuku tidak
banyak. Ada kalanya kau akan teramat sangat lelah menghadapiku, ada. Ada kalanya
kau tidak membutuhkanku, ada. Ada saatnya kau bilang, aku pengacau! Aku pembawa
masalah! Akan ada. Kau yang memiliki waktuku. Tentu saja kau yang berhak
memberhentikan waktu itu kapan saja. Aku tidak menuntut tambahan waktu. Aku tidak
menuntut kau terus memiliki waktuku. Biarlah, suatu saat waktu yang akan
membuatmu tahu, bagaimana sasungguhnya aku belajar memahami karaktermu. Biarkan
waktu yang bicara, siapa wanita yang rela mengemis jika kau pun tak sudi
memberi. Biarkan waktu yang menjawab, sayang. Siapa sesungguhnya aku. Dan siapa
sesungguhnya, kau.
Aku tidak ingin berkata
banyak. Aku hanya ingin kau mengerti. Sadar. Bahwa yang ku rangkai bersamamu
bukan main-main. Segala sesuatu yang menjadi batu kerikil aku harap kita
singkirkan bersama. Segala hambatan yang menjadi bola raksasa, bisa kita
enyahkan dalam sekali lompatan. Ingat, janji kita pada waktu terbaik. Ingat,
janjimu kepadaku. Ingat, kisah yang kita lalui semuanya. Ingat bahwa waktu yang
kita habiskan sudah ribuan detik. Ingat sayang, ingat aku terus. Jaga perasaanku
sama seperti aku menjaga perasaanmu. Jaga kisah ini jangan sampai berakhir. Film
kita masih panjang, sayang. Ini bukan akhir. Ini adalah kerikil atau bola
besar. Gandeng tanganku erat, lompatlah bersama. Ingat, kau milikku. Selamanya menjadi
milikku.
“I’m
sorry before, I love you so deeply. I can’t tell you directly. I can only write
this. Write about what I feel. I don’t wanna hope to you anymore. I just wanna
you to stay, please. I’m sorry if I write full of nothing. I just want you to
know, how really I am so lucky to have you.”
Semarang, 6 Oct 2015
your future, insyaallah
16.20 p.m.
your future, insyaallah
16.20 p.m.