Selasa, 06 Oktober 2015

Belum Berhenti, Takkan Berhenti



 


Aku tidak tahu mengapa kau akhir-akhir ini menguji kemarahanku bahkan menguras emosiku. Kau tentu tahu, aku tidak pernah bisa benar-benar marah di hadapanmu. Tidak! Kau tentu tahu juga bagaimana aku mati-matian mempertahankan semua hingga saat ini. Tidak ingin menyerah tetap berdiri. Tapi, apa yang bisa aku lakukan bila ternyata kau tak demikian. Bukannya aku tidak bisa menerima keadaanmu, tapi ini sulit, sayang. Kau milikku dan aku takkan rela kau disentuh yang lain. Sama seperti kau tak rela aku disentuh yang lain. Tapi berkali-kali aku tunjukkan rasaku, kau semakin menjadi-jadi. Ada apa denganmu sayang? Kau bukan yang dulu. Kau bukan kekasihku yang ku kenal. Aku bahkan setengah mati mengingat, bagaimana kau meyakinkanku untuk tidak menaruh cemburu kepada semua yang berada di sampingmu. Yang kedudukannya lebih besar dariku. Yang setengah mati kau sayangi. Lantas, aku hanya bisa diam. 

Kau benar. Mereka tak perlu dicemburui. Kau benar, berkata bawa akulah yang mendapat segalanya, kau benar. Aku yang mendapat kasih sayang, cinta, perhatian lebih, dan segalanya. Aku pemenangnya. Sekali lagi, kau memang selalu menjadi yang paling benar. Disaat yang lain sudah mengaku salah, kau tetap keukeuh menjadi yang paling benar. Aku tidak seharusnya mencemburui mereka. Mereka bagian dari hidupmu, dan aku adalah sebuah bingkisan baru. Belum sepenuhmya menjadi sebuah bagian. Sama seperti mereka. Aku memang salah menaruh rasa cemburu, namun ada satu hal yang wajib kau ketahui, sayang.

Sayang, kau tahu aku wanita. Kau tahu, bagaimana hatinya jika tergores. Luka. Kau tahu bagaimana lembut perasaannya, bukan? Sayang, kau sudah lebih dari cukup memberiku segalanya. Kau sudah lebih dari apapun mencurahkan rasa. Kau sudah yang paling hebat yang mampu memiliki hati ini. Namun, bukan soal itu. Bukan soal siapa yang paling banyak mendapatkan perhatianmu. Bukan soal siapa yang mampu memilikimu saat ini. Bukan soal itu. Bukan juga tentang siapa yang kau perjuangkan. Namun, soal bagaimana kau menjaga perasaannya. Bagaimana caranya kau tidak membebaninya rasa cemburu. Bagaimana bisa, kau selalu mengagung-agungkan yang lain, tapi pernahkan sedikit saja, kau pikirkan perasaannya? Bagaimana jadinya jika ia menaruh rasa cemburu berlebihan karena ulahmu sendiri? Bagaimana bisa dia tidak menaruh rasa curiga bila kau memperlakukan yang lain lebih istimewa. Apa yang salah? Dia mencintaimu dan dia patut untuk menjagamu. Bukan tentang dia yang tidak mengerti, bukan tentang dia yang harus tunduk untuk tidak mencemburui. Tapi karena dia tak ingin prianya tersentuh yang lain. Kau tentu mengerti sayang, aku yakin kau bukan orang sembarangan yang menganggap remeh ini semua.

Sayang, jika memang semua ini adalah kesalahanku, lantas beritahu aku dimana letak salahnya. Jika memang harus aku yang mengerti keadaanmu, beritahu aku bagaimana caranya. Cemburuku wajar, aku tidak mencari wanita itu. Aku juga tidak menuduhmu berbuat yang tidak baik. Sayang, syukurlah aku masih memiliki otak yang cukup waras. Aku masih bisa membedakan mana yang benar dan salah. Aku juga sudah cukup dewasa untuk mengetahui permasalahan yang ada. Aku hanya tidak mengerti, bagaimana aku harus selalu bersikap tak acuh sementara kau tetap melakukannya, tidak hanya sekali atau dua kali. Beritahu aku agar aku tidak menjadi wanita yang buruk. Beritahu aku agar aku tidak terus-menerus membuatmu “sakit”. Bahkan, aku sering tidak mengetahui dalam kisah ini siapa yang diam-diam paling banyak menahan sakit. Bah! Aku sudah tidak bisa tahan sayang, aku sudah tidak bisa berusaha bersikap tak acuh. Aku sudah berusaha untuk meyakinkanku bahwa semuanya baik-baik saja. Dan sesungguhnya aku tidak ingin mengulanginya. Tapi apa boleh buat, kau melakukan hal yang sama, lagi. Lalu, pantaskah aku untuk mencemburui kali ini?

Sayang, sungguh tak ada niatan apapun. Tak ada sedikit rasa benci pun. Hanya cemburu. Hanya itu. Aku tidak banyak berharap. Kau selalu berkata aku penyebab dari semuanya. Aku penyebab kenapa aku selalu mengomel, selalu meluapkan emosi hingga membuatmu “sakit”. Aku tahu lebih banyak dari yang kau tidak tahu, sayang. Aku tahu semuanya meski tak kau dongengkan satu persatu. Aku tahu, tapi aku memilih diam. Tidak ingin menyulut api masalah. Kau selalu berkata lelah dengan ini semua. Lelah jika aku terus mengomel setiap kali kau begitu. Kau tahu sayang, aku lebih lelah. Tapi aku tidak membuka suara. Aku diam. Aku diam saat kau meluapkan semua emosimu. Aku mengalah saat kau bilang lelah. Aku mencoba membenahi semua, sayang. Aku yang mengemis-emis meminta kau untuk padamkan amarah. Aku yang dimaki-maki pun masih diam seribu bahasa saat kau tak acuh. Aku tetap hadir sebagai siapa aku. Sebagai wanita yang aku yakin, paling tidak bisa kehilanganmu. Wanita kedua setelah ibu, yang jika kau marah dan memprotes, ia hanya bisa diam. Wanita yang tetap hadir jika kau tak ingin melihatnya lagi. Hina? Tidak! Aku tidak pernah merasa hina menjadi wanita yang tetap menunduk dan meminta maaf. Aku tidak pernah merasa risih, jika aku terus-terusan mengemis perhatian ketika kau tak acuh. Aku berusaha. Berusaha melakukan apapun untuk mengingatkanmu jika kau mulai salah arah. 

Sayang, waktuku tidak banyak. Ada kalanya kau akan teramat sangat lelah menghadapiku, ada. Ada kalanya kau tidak membutuhkanku, ada. Ada saatnya kau bilang, aku pengacau! Aku pembawa masalah! Akan ada. Kau yang memiliki waktuku. Tentu saja kau yang berhak memberhentikan waktu itu kapan saja. Aku tidak menuntut tambahan waktu. Aku tidak menuntut kau terus memiliki waktuku. Biarlah, suatu saat waktu yang akan membuatmu tahu, bagaimana sasungguhnya aku belajar memahami karaktermu. Biarkan waktu yang bicara, siapa wanita yang rela mengemis jika kau pun tak sudi memberi. Biarkan waktu yang menjawab, sayang. Siapa sesungguhnya aku. Dan siapa sesungguhnya, kau. 

Aku tidak ingin berkata banyak. Aku hanya ingin kau mengerti. Sadar. Bahwa yang ku rangkai bersamamu bukan main-main. Segala sesuatu yang menjadi batu kerikil aku harap kita singkirkan bersama. Segala hambatan yang menjadi bola raksasa, bisa kita enyahkan dalam sekali lompatan. Ingat, janji kita pada waktu terbaik. Ingat, janjimu kepadaku. Ingat, kisah yang kita lalui semuanya. Ingat bahwa waktu yang kita habiskan sudah ribuan detik. Ingat sayang, ingat aku terus. Jaga perasaanku sama seperti aku menjaga perasaanmu. Jaga kisah ini jangan sampai berakhir. Film kita masih panjang, sayang. Ini bukan akhir. Ini adalah kerikil atau bola besar. Gandeng tanganku erat, lompatlah bersama. Ingat, kau milikku. Selamanya menjadi milikku.

“I’m sorry before, I love you so deeply. I can’t tell you directly. I can only write this. Write about what I feel. I don’t wanna hope to you anymore. I just wanna you to stay, please. I’m sorry if I write full of nothing. I just want you to know, how really I am so lucky to have you.”



Semarang, 6 Oct 2015
your future, insyaallah
16.20 p.m.

Rabu, 30 September 2015

Karena Berdiri Adalah Bertahan




 

            Berdiri. Mungkin tidak semudah sekedar menapakan kaki pada sebidang tanah. Bukan sekedar mampu menegakkan otot-otot yang semalam tidur nyenyak. Bukan juga untuk menentang langit apalagi menghantam apa yang di depan. Berdiri itu adalah soal bertahan. Bagaimana bertahan jika tubuh digoyahkan. Bagaimana bertahan bila hujan badai sempurna mengguyur badan yang tak bersalah. Bagaimana bertahan pada panas terik yang membakar kulit. Berdiri adalah soal bertahan. Bertahan pada pilihan sesulit apapun keadaan. Sesulit apapun hingga kau benar-benar telah berdiri pada titik lelah. Sekali lagi, berdiri adalah soal bertahan, sayang. Jika tubuhmu goyah oleh terpaan angin, bertahanlah dengan seimbangmu. Jika hujan jatuh mengguyur tubuhmu yang gagah itu, bertahanlah akan dingin yang siap memelukmu. Jika panas terik menyengat kulitmu yang hitam manis itu, tetaplah bertahan sayang. Kau akan tetap menjadi yang termanis disini.
            Berdiri adalah bertahan sayang. Kau tahu, sungguh aku berusaha berdiri untuk bertahan. Lebih tepatnya mempertahankan. Karena kehilangan adalah menyakitkan. Karena kehilangan adalah takdir yang tak ingin aku temui. Dan karena kehilangan akan mengubah semua menjadi kisah yang akan ditinggal. Beranjak waktu, semua yang telah hilang akan muncul sebagai sebuah memori yang berharap hilang. Sebagai sebuah gambar yang tak ingin muncul. Sebagai sebuah video yang tak ingin diputar lagi. Karena kehilangan itu bukan inginku, sayang.
            Sayang, tahukah kamu? Bertahan denganmu adalah dengan berdiri. Berdiri menentang dengan lantang. Tanpa peduli seonggok raga sebenarya tak punya daya. Berdiri menghadap siapa saja yang datang menghadang. Mencoba menepisnya meski tak semudah yang dibayangkan. Berdiri menjagamu lebih sulit daripada harus menentang matahari. Lebih sulit bila harus menjaga tubuh agar tak goyah. Kau tahu mengapa? Karena kau lebih berharga dari semua itu sayang. Bagaimana bisa aku berdiri untuk bertahan jika tak ada tangan yang memelukku dari belakang. Bagaimana bisa aku berdiri tegak bila tak ada pria hebat yang berdiri di depanku. Bagaimana bisa aku berdiri kalau tak ada tubuhmu yang gagah disampingku. Aku berdiri untuk mempertahankan. Untuk bertahan. Kepadamu.
            Jika memang suatu saat aku harus terbaring karena aku goyah, tolong pastikan tanganmu yang menangkapku. Jika memang tidak, pastikan aku jatuh tepat di dadamu. Jika aku tersungkur, pastikan tanganmu terulur. Jika memang tak ada, pastikan aku sudah ada dalam dekapanmu. Jika aku memang tak goyah, kau perlu tahu satu hal sayang, intinya aku masih bisa berdiri mempertahankanmu meski kau sesungguhnya lelah. Hingga detik ini, berdiriku masih kokoh sayang. Tak goyah dan tak akan goyah. Apalagi lelah. Tidak sayang, lelah bukan tujuanku untuk bersamamu. Kerikil itu, angin itu, dan terik matahari bukan alasanku untuk lelah. Bukan tujuanku untuk behenti dan tersungkur. Aku masih harus berdiri mempertahankan karena kau belum sempurna aku dekap. Aku masih enggan memilih berpindah tempat, karena yakin kau masih tujuan utama. Jika memang berpindah pun, aku tetap akan berdiri mempertahankan. Bukan berjalan menghindar. Bukan menjauh. Bukan juga duduk manis menanti yang lain. Sayang, kau perlu tahu hal lain, bahwa aku sungguh berdiri mempertahankamu.
            Kau tak perlu berdiri mempertahankan, sayang. Aku tahu kau lelah. Aku tahu kau enggan berdiri bersama. Kau tak usah lakukan itu, karena berdiri itu mempertahankan. Tidak selalu dipertahankan. Sayang, dengarlah. Jika memang nanti kau memutuskan beranjak dan tak tinggal, kau pantas melihatku hanya dari dalam rumah. Tersenyum mungkin, atau bahkan tertawa bahagia. Biarkan aku yang menantang matahari. Biarkan aku yang berdiri hebat. Tak ingin tersungkur. Tak ingin menyerah. Aku pastikan, aku akan baik-baik saja. Selama niatku tak tersentuh setan. Selama aku masih ingin mempertahanku dalam dekap. Semoga kau tak pergi sayang. Sudah aku katakan, kehilangan menyakitkan. Sudah aku jelaskan, dan kau tentu paham. Semoga kau tak meninggalkan, karena aku tak ingin ditinggalkan.
            Ingat sayang, berdiri bukan sekedar menapak pada tanah. Tapi mempertahankanmu dalam situasi sesulit apapun.



Annisa Ulfah Miah
Semarang, 30 September 2015
23.35 p.m.

Jumat, 26 Juni 2015

Kau Buatku Sempurna

Kau berjuang untukku. Iya, aku tahu. Sama, aku juga melakukan hal itu untukmu. Berjuang. Membanting ego agar kita tak terlalu larut dalam keadaan hati yang pecah. Kau berusaha membahagiakanku? Sama. Aku pun demikian. Membuatmu bahagia bagiku adalah kewajiban. Kau sudah seharusnya bahagia bersamaku. Karena kau sudah memilihku, maka kau pun juga wajib untuk mendapatkannya. Kau berusaha menuruti semua yang aku inginkan, bukan? Nah, aku juga tak mau kalah. Aku berusaha keras menuruti semua permintaanmu. Meski aku tahu, aku lebih banyak gagal. Tidak bisa menuruti dengan sempurna. Ah, kalau dibanding denganmu, aku masih kalah jauh. Aku belum ada apa-apa. Sementara kau, kau sudah sempurna. Kau berniat tidak ingin membuatku bekerja membuat air mata. Akupun juga. Tapi yang aku tahu kau tidak terbiasa menangis, bukan? Aku mungkin belum jadi hal yang akan membuatmu menangis selain wanita hebat itu, Ibu. Aku mungkin belum bisa menciptakan kesadaran pada kehidupanmu. Tapi tunggu, semua itu tidak diciptakan dengan air mata. Iya, aku mengerti. Atau aku yang terlalu cengeng menghadapimu? Atau mungkin aku lelah? Atau aku sudah berada pada titik jenuh? Entahlah, akhir-akhir ini adalah hari berat bagiku. Mengapa? Kau tentu tahu, aku sudah tidak berguna. Tak bisa mengembangkan senyum. Membuatmu bahagia seperti biasanya. Mungkin aku memang sudah tidak berguna baik lagi. Ya, sungguh sulit menerima kenyataan bahwa kau sekarang sulit aku genggam. Tak seperti sebelum-sebelumnya. Aku menyadari tanganku sudah tak sekuat dulu untuk menggenggammu. Tak sekokoh dulu. Aku sangat menyadari. 

Lantas, apa mau Tuhan jika kini kita benar-benar didekatkan secara utuh kalau akan berakhir buruk? Lantas apa gunanya? Semuanya tak ada yang kebetulan bukan? Untuk apa kau dan aku berada dalam tempat yang sama kalau akan berakhir pada tempat yang berbeda? Untuk apa kita berjuang mati-matian hingga berdarah-darah kalau berakhir dengan hati yang patah? Untuk apa kita sama-sama merangkai mimpi bahagia kalau hanya berakhir dengan banyak luka? Lantas untuk apa Tuhan tetap membuat kita berada pada satu jalur? Jika hanya untuk mengajari, aku tidak membutuhkanmu. Aku punya banyak hal yang bisa mengajariku tanpamu. Jika hanya untuk menikmati waktu, aku juga tidak membutuhkanmu. Akan lebih baik waktuku untuk mencari sebuah bahagia. Aku membutuhkanmu untuk mengisi waktu. Bukan hanya sekedar menikmati. Tetapi juga ikut dalam hidupku. Tetap tinggal hingga senja tak mampu lagi untuk menyajikan keindahannya. Aku membutuhkanmu untuk hidupku. Sebagai pemimpin. Bukan sebagai pengajar. Aku belum sempurna. Maka, aku membutuhkan uluran tanganmu. Aku selalu yakin akan lebih baik jika ketika pagi datang kau masih disampingku. Akan lebih berarti bila setiap malam kau senantiasa menikmati waktumu untuk bermanja-manja dengaku. Aku membutuhkanmu untuk memyempurnakan hidupku. Kau tahu bukan? Perjalanan kita untuk sampai pada titik ini tidak mudah. Banyak rintangan yang tanpa kita sadari akan membuat salah satu dari kita jatuh. Dan aku ingin seterusnya diantara kita tak ada yang tertinggal. Kau mungkin tahu, jika memang semua ini adalah sebuah kebetulan, mungkin saat ini aku sudah menyerah untukmu. Aku sudah angkat tangan. Kau keras. Kau temperamen. Kau juga punya keinginan yang kuat. Dan aku yakin, tak banyak orang yang tahan menghadapimu. Tapi sungguh, jika memang ini adalah kebetulan, aku tidak mau dipertemukan denganmu. Aku tidak mau lelah menghadapi orang yang keras dan temperament. Aku tidak mau berdarah-darah. Namun, kau tahu? Aku sungguh ingin menjadi sebuah air untuk batu besar. Nah, batu besar itu adalah dirimu. 

Yakinlah, aku sungguh tidak ingin menyerah pada keadaan. Jika memang kau lambat laun membuatku lelah, akan ada semangat baru lagi yang tanpa kamu sadari selalu kamu berikan. Perhatian kecil, atau sebuah kecupan. Sungguh, membuatku ingin tetap tinggal. Aku ingin memghadapimu sampai kau melunak. Tidak ada batu keras yang temperament lagi. Tidak ada keinginanmu yang tak terpenuhi sempurna. Kau harus tahu, aku sungguh ingin hadir sebagai seorang wanita yang tetap ada meski saat kau tidak membutuhkannya sekalipun. Aku ingin jika nanti kau memanggilku, aku bisa langsung berlari ke arahmu. Membelai rambutmu sambil merekahkan senyum. Menuruti keinginanmu hingga kau merasa bahagia. Aku ingin mengabdikan waktuku bersamamu. 

Nah, kau kini mengerti bukan mengapa kita masih bisa berjalan hingga saat ini? Masih bisa bertahan dalam keadaan hati yang runyam? Iya. Karena kita masih mau memperjuangkan satu sama lain. Karena kita sama-sama menyadari bahwa pertemuan ini bukan kebetulan, namun adalah sebuah takdir Tuhan. Yakinlah, aku akan tetap selalu menjadi air bagimu. Sekeras apapun nanti kau menjadi sebuah batu, aku akan tetap berada disamping sebagai air. Hingga kau menyadari bahwa air inilah yang sesungguhnya kau butuhkan. Takkan ada yang mampu membuat kau melunak kecuali aku. Tolong, yakinlah padaku. Berikanlah seluruh hatimu agar aku tak kesulitan lagi menggenggamnya. Aku sungguh tidak ingin menyerah pada orang yang sama sekali tidak ingin menyerah untukku. Kau harus selalu ingat, bahwa aku membutuhkanmu untuk menyempurnakan hidupku.
26 Juni 2015
"Jangan ngambek lagi ya. Ily."
Sincerely, 
Yours.

Sabtu, 30 Mei 2015

Jangan Lelah Untukku



            Sebagai seorang wanita yang dikodratkan mempunyai perasaan yang dalam,sesungguhnya aku sering menyesal. Kau tahu, jika aku mencintai seorang pria saja, semua rasa akan ku berikan tanpa terkecuali. Semuanya, hampir yang tak dia mengerti pun aku berikan. Karena itu aku sering mengumpat, sial! Mengapa wanita dikodratkan memiliki perasaan yang lebih dalam dan peka? Mengapa hanya wanita saja yang sering merasa bahwa hatinya terluka? Mengapa hanya wanita yang kadang mencintai berlebihan? Tuhan memang telah sempurna menciptakan wanita dengan perbandingan perasaan yang lebih berat dibandingkan logika. Tapi mengapa? untuk menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya kelak? Seorang ayah juga bisa menjadi ayah yang baik tanpa harus memiliki bobot perasaan yang lebih berat dari pada logika. Atau untuk menyeimbangkan ketika nanti seorang pria dan wanita bersatu? Sehingga bobot perasaan dan logika bisa seimbang? Pernah aku membaca sebuah buku yang membekas. Tak usahlah aku sebutkan apa judulnya dan siapa pengarangnya. Yang jelas, dia adalah orang hebat. Dalam buku itu mengatakan bahwa wanita memang berhak atas perasaan yang dalam. Berhak untuk merasakan dalamnya palung hati seorang pria. Berhak atas air mata yang tumpah ruah. Air mata? Kau tahu betapa banyak air mata yang sudah aku tumpahkan hanya untuk merasakan ini semua. Kadang aku mengumpat hebat! Kata-kata kasar sering keluar ketika harus menyadari sebuah nasib seorang wanita. Mengapa hanya wanitalah yang berhak untuk merasakan dalamnya palung hati seorang pria? Mengapa pria tidak melakukan hal yang sama? Tidak adil? Memang. Sangat tidak adil malah.

            Sungguh jika boleh memilih, balikan saja Tuhan perasaan seorang wanita menjadi perasaan seorang pria dan sebaliknya. Buatlah mereka yang mencintai sedalam-dalamnya palung hati seorang wanita. Buatlah mereka yang merasa terampas bahagianya. Buatlah mereka yang menangis semalaman hingga lampu kamar sama sekali tak mau dihidupkan. Buatlah mereka yang terbata-bata membaca isi hati seorang wanita. Balikan saja Tuhan. Bah! Sama sekali tak akan terbalik. Memangnya dunia ini milikku sendiri? Bukan kan! Ada tangan Tuhan yang luar biasa disana. Dan kembali lagi, perasaan tidak bisa dibalikkan. Sekali lagi, ini adalah kodrat. Mungkin akulah satu-satunya wanita egois yang sibuk memikirkan sebuah perasaan. Mungkin hanya aku yang entah hidupnya terasa kurang bila belum mengobrak-abrik kata bernama perasaan. Iya, mungkin cuma aku.

            Sering kali aku berpikir kodrat yang sungguh tidak adil. Namun, aku tahu mengapa Tuhan menciptakannya demikian. Kini, Dia sudah membuatku jatuh cinta sejatuh-jatuhnya orang jatuh cinta. Tuhan memaksa perasaanku yang harus menyelami palung hati seorang pria. Tuhan juga memaksaku untuk terus merasakan bagaimana bahagianya menjadi seorang wanita. Seorang wanita dengan perasaan yang utuh. Dia benar-benar memberiku sebuah jawaban tentang apa yang sudah sangat aku sesali. Dia membuatku berpikir berulang kali untuk bisa menyerah pada seorang pria. Dia membuatku mengerti. Sungguh bagaimana aku harus mencurahkan semua perasaan yang dalam ini kepada seorang pria. Sialnya, Dia membuatku jatuh cinta padamu. Tanpa sepengetahuanku, tanpa aku ketahui, ternyata perasaan dalam yang Tuhan ciptakan pada seorang wanita itu sungguh bisa mengubah betapa kerasnya hati seorang pria. Bisa meluluhkan hati yang benar-benar kokoh terkendali. Hebat! Tuhan menciptakan perasaan yang sungguh hebat pada seorang wanita. Maaf, umpatan kemarin adalah bentuk kekesalan, Tuhan. Tak ada maksud sama sekali untuk mencabutnya, sungguh. 

            Kini aku tahu, jika perasaan yang dalam ini dipergunakan dengan baik, akan bisa mengubah banyak hal. Dari yang keras menjadi lembut. Dari yang merasa terbuang menjadi disayang. Dari yang mulai lelah menjadi bisa bertahan. Hebat! Sebuah perasaan yang hebat! Dan kini aku mau mempergunakan perasaan ini untukmu. Agar aku lebih bisa menghargaimu. Agar tak ada lagi sifat egoisme yang manjadi selimut. Tenang, aku sudah belajar banyak tentang perasaan. Semoga tidak sia-sia. Jika aku boleh memilih sekali lagi, aku sungguh ingin tak ada yang harus kita perdebatkan setiap hari. Tak ingin kau merasa kurang setiap kali aku menuntut. Aku tak ingin melihatmu kembali merasakan sakit luar biasa itu, tidak. Aku tidak ingin juga kau berhenti untukku hanya karena ini. Aku tidak mau melihatmu bersusah payah membangun mimpi kita sendirian. Tidak akan ku biarkan tanganmu yang kuat itu menjai gontai. Dadamu yang gagah itu tak akan ku biarkan kosong. Sampai senja menentang pun, itu akan tetap jadi tempatku hingga nanti. Hingga nafas ini terputus. Yakinlah, jika nanti jari kita tidak bisa bersatu lagi, jika nanti setiap pagi kau tidak bisa kembali melihatku lagi, itu bukan karena aku pergi. Tetapi sebaliknya. Karena kau yang sudah lelah dan memilih mundur. Tapi aku yakin, kita bukan orang yang seperti itu, bukan? Kita akan selalu berada pada sejalur. Tak peduli bagaimana nanti semua isi bumi menentang hebat. Tak peduli bahwa nanti waktu kita sudah mati-matian diambil Tuhan. Aku yakin kau akan tetap hadir sesempurna pria yang paling sempurna. Tak akan digantikan. 

            Jadi, bila nanti kau sudah lelah, berikanlah tanganmu padaku. Akan aku genggam erat hingga hangatnya merasuk. Akan aku peluk tubuhmu hingga kau benar-benar yakin bahwa takkan ada tokoh yang meninggalkan dan ditinggal dalam kisah kita. Aku pastikan takkan terjadi. Sekeras-kerasnya nanti banyak yang menentang. Kita juga harus menentang meski hanya berdua.

Annisa Ulfah Miah
31 May 2015

Jumat, 08 Mei 2015

Janji



            Akhir-akhir ini aku banyak menghabiskan waktu untuk sekedar menatap langit. Kau tahu kenapa? Bulan akhir-akhir ini sempurna bulat. Indah sekali. Rasanya bila ditatap berdua aku sungguh tidak ingin bergeser. Sedikitpun tak akan. Menyandarkan kepalaku sambil bersenandung manja. Kau pasti juga akan merasakan hal yang sama bukan? Jika terpaan angin itu menghempas tubuhku, aku yakin kau pasti akan menangkisnya segera. Kau pasti takkan rela wanitamu ini menggigil kedinginan. Kau tahu? Entah sampai kapan kau akan tetap disamping walau kau selalu berkata untuk selamanya. Untuk seterusnya. Sungguh jika nanti kita benar-benar terpaksa terpisah karena jarak dan waktu masih maukah kau menangkis dingin yang menerpa? Masih maukah kau sekedar melindungiku? Kita sama sama tidak mengerti bagaimana waktu mengatur segalanya. Namun jika diijinkan aku sungguh tidak ingin kau hilang dari depan mata. Lenyap begitu saja dan pergi. Tidak akan aku biarkan. Sekuat apapun nanti aku sungguh ingin selalu berdua. Apakah kau juga demikian? aku sudah yakin aku memilih seorang pria yang tepat dalam hidupku. Sebagai seorang wanita yang sudah beranjak dewasa, tidak banyak lagi yang akan aku lakukan. Aku ingin menyelesaikan studiku dengan baik. Mempertahankan seorang pria yang memang suah menjadi pilihanku. Tidak untuk yang lain. Banyak beban yang masih aku pikul. Dan perlahan-lahan aku sungguh ingin melepasnya pada waktu yang tepat. Melepasnya bukan berarti membuang atau meninggalkan. Tetapi berusaha untuk menjadikan sebuah bahagia. Bukan sebuah beban.

            Dan kau sebagai pria yang aku pilih, aku sungguh berharap banyak padamu. Tidak ingin banyak bicara. Aku hanya ingin mempertahankan seorang saja. Setelah semua studiku berakhir dengan hebat, tak akan ada lagi keinginan selain membahagiakanmu dan orang-orang disekitarku tentu. Mewujudkan semua impian kita yang menggunung. Saling berusaha dan berdoa. Aku yakin, jika kau memang sudah tepat. Sudah layak untuk menggandeng lenganku berdua. Aku sudah yakin. Lantas mau apa lagi? Aku sungguh tidak ingin kau hilang. Kali ini aku benar-benar ketakutan. Mengapa? banyak hal rancu dan buruk selalu merasuk pikiran. Genggaman erat yang selalu engkau berikan itu sungguh akan selalu terikat kuat. Aku tidak akan rela jika ada tangan wanita lain yang kau genggam. Sungguh tak akan. Akan aku lakukan segala cara untuk membuatmu tetap berada isamping. Apapun itu. Kau tahu? Ketakutan ini semakin menguat. Sungguh aku hanya bisa mendongak membaca untaian doa yang selalu sama. Menyelipkan namamu dan impian kita. Bahkan ketika kita sedang shalat berdua. Kau tahu bukan, aku selalu menjadi yang terakhir. Kau tahu apa yang menjadi doaku? Ketika kau duduk didepanku mengumanangkan takbir. Mengajak sujud bersama. Hingga aku mencium tanganmu dan kau mencium keningku, kau tahu bagaimana rasanya? Luar biasa! Sungguh mungkin aku akan menjadi wanita yang paling bahagia. 

            Aku hanya berharap satu padamu dan itu selalu sama. Tak akan berbeda. Sesulit apapun nanti kau suah berjanji akan tetap disampingku. Ketika aku jatuh. Ketika aku tersungkur. Kau sudah berjanji akan menarik lenganku. Kau bisa membuktikan semuanya bukan? Aku percaya kau adalah pria yang berbeda. Aku yakin kau memang sudah ada untukku. Jadi, mari kita berusaha berdua. Mari kita membuat jejak untuk impian kita. Mari kita buat hidup kita lebih berarti satu sama lain. Kau mau melakukannya bukan? Mari kita wujukan semua yang masih semu. Kita buat angin yang menerpa kita sebagai sebuah pendorong bukan penghambat. Kita sama-sama yakin bukan? Jadi biarkan sekarang Tuhan yang bekerja bahwa sebuah hasil tak akan menghianati usahanya. Kau tetap ingin bertahan? Baiklah. Genggam tanganku dan serukan bahwa kita akan melewati semua dengan mudah. Rangkul bila kau sungguh tak ingin kehilangan. Dan selipkan aku dalam semua doamu agar kita tetap bisa berjalan walau dalam padang duri. Mari kita lakukan.


You don’t know what I feel now. But I’m sure you are that I need.
Annisa Ulfah Miah
8 Mei 2015