Rabu, 14 Mei 2014

Sejenak Mengagumi Senja




Ketika semua yang bercahaya tiba-tiba padam karena waktu. Alunan adzan Maghrib yang berseru lembut. Dan burung-burung yang terbang kembali ke rumahnya. Matahari yang berjalan pelan ke peraduannya. Bulan yang tampak malu-malu untuk menampakan dirinya. Awan yang seakan berkelok-kelok di langit. Menyeret siluet oranye yang perlahan-lahan memenuhi langit. Perlahan tapi pasti. Yang terang menjadi gelap. Yang bising menjadi hening. Yang tertawa jadi terdiam. Yang terpejam jadi terbangun. Yang pergi jadi pulang. Semua itu berjalan sangat singkat. Singkat namun indah. Sesingkat itulah senja. Wajib untuk aku abadikan. Berhak untuk aku agungkan. Siluet-siluet yang menyambar halus langit angkasa. Yang selalu datang dengan keindahan di setiap penampilannya. Senja. Waktu dimana semua bisa berubah. 

Sesingkat senja. Seindah senja. Semisterius senja. Kedatanganmu bak senja. Sejenak. Singkat. Sederhana dan tanpa suara. Selalu datang dengan sejuta keindahan. Dengan siluet khas yang tak dimiliki yang lainnya. Hadir apa adanya. Hadir dengan penuh kejutan. Iya, kamu adalah senja. Senja dalam duniaku. Yang berkilau dengan siluet indah yang kau miliki. Senja yang selalu menarik. Tak pernah membosankan. Berciri khas dan sederhana. Senja. Senja adalah kamu. Yang datang, kemudian menghilang. Yang selalu menghibur, kemudian kabur. Yang mendekat, kemudian pergi menjauh. Yang memberikan harapan, kemudian mematahkan. Yang peduli, kemudian sekarang tak acuh. Dan yang selalu ada, kemudian tiada. Senjaku. Iya, kamu adalah senjaku.

Siluet-siluet indah yang manyilaukan itulah yang selalu membuatku mengagumimu. Siluet yang hanya hadir dalam satu waktu. Siluet yang singkat. Betapa sangat menyenangkan bila siluet itu hadir lebih singkat. Lebih sementara. Agar aku selalu bisa mengabadikannya. Lebih dalam mengaguminya. Pasti aku tak akan melewatkan sedetikpun tanpa siluet-siluet indah itu. Sama seperti aku mengagumi kehadiranmu. Yang bergerak cepat mengikuti waktu. Tak pernah sedikitpun kamu menebas waktu yang bergulir kasar di sela-sela kehadiranmu. Kamu justru malah menikmatinya. Berjalan santai berdampingan dengan waktu. Apakah itu yang membuatmu hanya menjadi sementara. Yang datang dan pergi sesukanya. Yang selalu singkat muncul dihadapanku. Siluet senja yang selalu memancar jauh menembus dinding-dinding besi dan tertancap tajam di langit duniaku. Siluet senja yang indah. Semuanya yang sementara. Semua yang sederhana. Begitu lembut membiusku untuk tetap memperhatikanmu. Karena kamu sementara dan apa adanya. Siluet senja yang selalu hadir di duniaku. Siluet senja dari senjaku. 

Secara spontan dan otomatis hati ini selalu merindu ketika waktu yang berjalan cepat itu lurus menuju senja. Waktu yang paling aku tunggu untuk menemui siluet indah yang sementara. Semua begitu saja. Tak pernah ada paksaan. Tak pernah ada rencana. Semua mengalir dengan waktu. Otomatis. Betapa Tuhan sungguh luar biasa hebatnya. Hal yang sementara begitu sangat aku rindukan. Melihat senja dalam diam dan memperhatikannya, sama seperti memperhatikanmu, senja dalam duniaku. Aku yang tak pernah berani bicara ketika kedatanganmu yang sementara. Ah, sungguh sulit berucap ketika keindahan siluet itu menyelimutimu lembut. Ajari aku agar bisa terus memandang dengan tatapan luar biasa ini ketika siluet senja muncul dalam sementara. Ajari aku agar terus menantikan semua keindahan dibalik kesementaraanmu. Ajari aku agar mengagumi keberadaan senja dan menagungkannya lebih dalam. Karena kamu adalah sesuatu yang sementara dan berharga. Meski tak pernah terucap dari mulutku, aku berani bersumpah. Kamulah senja terindah yang aku nantikan dalam langit duniaku. 

Sejenak saja. Biarkan ia berlalu dengan sendirinya.
Sejenak saja. Biarkan ia berjalan manis ke peraduannya.
Sejenak saja. Biarkan ia menampakkan keindahannya.
Sejenak saja. Biarkan ia menoleh, dan menyadari ada aku untuknya.
Sejenak saja. Biarkan ia tahu bahwa aku menunggunya.
Sejenak saja. Biarkan aku mengagumi hadirnya yang dalam sementara.
Sejenak saja….

Annisa Ulfah Miah
14 Mei 2014
“Kepada senja yang selalu hadir sementara.”

Kamis, 08 Mei 2014

Karena Aku Adalah Rumahnya


 


             Aku adalah wanita yang tak mengenal cinta. Sudah sejak lama aku menutup hati untuk cinta baru. Entahlah, mungkin kenangan masalalu yang memaksaku untuk melakukannya. Mungkin juga karena seorang pria yang menorehkan luka, mematahkan harapan, dan mencampakkan seluruh usahaku selama ini. Ah, pria itu. Aku juga tak tahu mengapa aku begitu sulit melupakannya. Rasanya, aku tidak bisa. Sungguh, aku tidak bisa. Ada sedikit yang mengganjal di hatiku. Kenangan masa lalu yang selalu berputar-putar mengelilingi kepalaku. Berlarian tak tentu arah di otakku. Ah, sebenarnya aku lelah. Aku sudah benar-benar tidak mau berurusan dengannya lagi. HAHAHA atau mungkin aku yang terlalu tolol. Terlalu sulit mematahkan hati yang sebenarnya sedari dulu sudah patah. Terlalu sulit berlari kencang meninggalkan semua asa yang sebenarnya tak pernah ada. Lihat saja, bagaimana aku sekarang? Sendiri. Sepi. Semuanya berubah derastis. Itulah yang membuatku tak mau berurusan dengan cinta. Aku malas memperjuangkan orang yang salah. Aku lelah memapah hati yang patah. Aku belum siap dengan semua komitmen yang mendera. Aku tidak mau terbebani dengan cinta. Aku tidak mau mengenal cinta lagi. Aku takut. Sudah lama sekali rasanya aku bertahan seperti ini. Sendiri. Ah, aku lebih bahagia. Bahkan sangat bahagia. Semua aku lakukan sendiri. Tanpa ada sosok pria yang berdiri di sampingku. Memberiku semangat. Memberiku kasih sayang. Sesungguhnya aku rindu sekali diperlakukan bak seorang putri. Tapi hati ini masih enggan. Masih belum mau bergelut dengan jutaan komitmen. 

            Ketika aku duduk di sudut kamar sembari menatap satu-satunya jendela mungil yang ada di kamarku, yang ukurannya tak terlalu besar. Tapi cukup untuk tetap memberikan pancaran sinar matahari setiap harinya. Ya, ini adalah tempat favoritku. Imajinasiku benar-benar berpetualang jika sudah disini. Ia berlari ke kanan, kadang ke kiri. Kadang berlari kencang ke masa depan. Kadang juga berlari ke masa lalu. Sama seperti saat ini. Ditambah lagi beberapa lagu lawas dari Paramore membuatku semakin mengingat pria itu. Aku seperti berlari mundur ke masa lalu. Berlalu meninggalkan semuanya. Ah, betapa hal ini sangat menyiksa. Aku harus kembali mengingatnya lagi. Jika aku bisa berbicara pada hatiku, ingin ku sampaikan bahwa aku lelah mengingat semuanya. Aku tidak mau melakukan kesalahan fatal lagi dengan tetap membiarkan kenangan itu berlalu lalang di otakku. Tidak. Sudah cukup membuatku jatuh lagi untuk kesekian kalinya. Beberapa lagu dari Paramore  masih mengalun lembut melewati telingaku. Menyapa ringan kemudian meletakkan setumpuk kenangan. Ya Tuhan rasanya benar-benar seperti kembali ke masa beberapa bulan yang lalu. Ketika pria itu masih sepenuhnya aku miliki. Aku masih bisa menatapnya dengan leluasa. Menanamkan semua harapan yang aku anggap akan menjadi nyata. Tapi, tidak.

            Seiring berjalannya waktu, aku mulai sedikit membuka hati untuk cinta baru. Aku hanya berharap ini adalah pilihan yang tepat. Agar aku tak terus menerus terjatuh di masa lalu. Aku ingin beranjak. Aku tidak ingin bergelut dengan masa lalu lagi. Lelah. Aku sungguh lelah. Mungkin inilah batasnya. Aku harus melangkah sekarang. Memberikan kesempatan yang baru bagi hatiku untuk merasakan lembutnya kasih sayang seorang pria. Ah, aku rindu itu. 

            Benar saja, aku menemukan seorang pria baru. Aku belum pernah bertemu dengannya. Belum pernah membiarkan mataku bertemu dengan matanya selayaknya sepasang kekasih. Aku belum melihat paras tubuhnya. Tapi entahlah, selama aku mengenalnya, aku merasakan kenyamanan sama seperti beberapa bulan yang lalu. Saat pria yang pernah melukaiku itu belum menorehkan luka. Saat pria yang mematahkan harapanku itu masih memberikan kenyamanan. Ya, seperti itulah. Aku merasakan kenyamanan yang luar biasa. Mungkin lebih. Aku sudah memberanikan hatiku untuk jatuh kepadanya. Perlahan tapi pasti. Mau tidak mau, suatu saat nanti aku pasti jatuh cinta dengannya. Sederhana. 

            Aku mengenalnya sangat sederhana. Pria yang biasa aku panggil Mas itu, adalah sosok pria yang biasa saja. Tak ada hal yang luar biasa pada dirinya. Tapi, Tuhan memang Maha Bijaksana. Tuhan menyelipkan keunikan yang mungkin hanya aku yang bisa melihatnya. Dia begitu saja memasuki duniaku yang sepi dan sendiri. Dia seperti menorehkan warna baru dan membuatku sangat menantikan kehadirannya. Dia sangat manis. Dia berhasil membuatku melupakan kenangan buruk masa lalu. Dia juga yang berhasil membuka hatiku yang sebelumnya benar-benar aku tutup rapat untuk cinta baru. Namun, dia menembusnya dengan sempurna. Dengan sedikit ulasan kasih sayang. Dan aku mulai menyukainya.

            Kadang-kadang kami sering mengahbiskan waktu untuk bertelepon. Membiarkan suaraku bertemu dengan suaranya meski terbentang jarak yang cukup jauh. Ah, rasanya aku benar-benar jatuh. Sudah lama sekali aku tak membiarkan jantungku berdebar sekencang ini. Dan sekarang, setelah sekian lama aku membiarkannya, debar  jantungku meletup dengan kuatnya. Aku benar-benar bahagia. Aku tak tahu mengapa aku bisa menyukainya. Menyukai pria yang belum pernah aku lihat parasnya itu. Ah, sudahlah aku benar-benar bersyukur ketika dia memutuskan memasuki duniaku. Aku bahagia mengenalnya. Aku hanya berharap menjadi rumah baginya. Rumah yang menyediakan kenyamanan yang nyata. Membasuhnya dengan penuh kasih. Agar ketika ia pergi jauh dan meninggalkan rumahnya, ia dapat kembali sendiri. Tanpa aku tuntun, tanpa aku tatih. Karena aku adalah rumahnya. Dengan insting dari hatinya lah yang akan membawanya kembali.

Annisa Ulfah Miah
8 Mei 2014