Ketika
semua yang bercahaya tiba-tiba padam karena waktu. Alunan adzan Maghrib yang
berseru lembut. Dan burung-burung yang terbang kembali ke rumahnya. Matahari yang
berjalan pelan ke peraduannya. Bulan yang tampak malu-malu untuk menampakan
dirinya. Awan yang seakan berkelok-kelok di langit. Menyeret siluet oranye yang
perlahan-lahan memenuhi langit. Perlahan tapi pasti. Yang terang menjadi gelap.
Yang bising menjadi hening. Yang tertawa jadi terdiam. Yang terpejam jadi
terbangun. Yang pergi jadi pulang. Semua itu berjalan sangat singkat. Singkat
namun indah. Sesingkat itulah senja. Wajib untuk aku abadikan. Berhak untuk aku
agungkan. Siluet-siluet yang menyambar halus langit angkasa. Yang selalu datang
dengan keindahan di setiap penampilannya. Senja. Waktu dimana semua bisa
berubah.
Sesingkat
senja. Seindah senja. Semisterius senja. Kedatanganmu bak senja. Sejenak. Singkat.
Sederhana dan tanpa suara. Selalu datang dengan sejuta keindahan. Dengan siluet
khas yang tak dimiliki yang lainnya. Hadir apa adanya. Hadir dengan penuh
kejutan. Iya, kamu adalah senja. Senja dalam duniaku. Yang berkilau dengan
siluet indah yang kau miliki. Senja yang selalu menarik. Tak pernah
membosankan. Berciri khas dan sederhana. Senja. Senja adalah kamu. Yang datang,
kemudian menghilang. Yang selalu menghibur, kemudian kabur. Yang mendekat,
kemudian pergi menjauh. Yang memberikan harapan, kemudian mematahkan. Yang peduli,
kemudian sekarang tak acuh. Dan yang selalu ada, kemudian tiada. Senjaku. Iya,
kamu adalah senjaku.
Siluet-siluet
indah yang manyilaukan itulah yang selalu membuatku mengagumimu. Siluet yang
hanya hadir dalam satu waktu. Siluet yang singkat. Betapa sangat menyenangkan
bila siluet itu hadir lebih singkat. Lebih sementara. Agar aku selalu bisa
mengabadikannya. Lebih dalam mengaguminya. Pasti aku tak akan melewatkan
sedetikpun tanpa siluet-siluet indah itu. Sama seperti aku mengagumi
kehadiranmu. Yang bergerak cepat mengikuti waktu. Tak pernah sedikitpun kamu
menebas waktu yang bergulir kasar di sela-sela kehadiranmu. Kamu justru malah
menikmatinya. Berjalan santai berdampingan dengan waktu. Apakah itu yang
membuatmu hanya menjadi sementara. Yang datang dan pergi sesukanya. Yang selalu
singkat muncul dihadapanku. Siluet senja yang selalu memancar jauh menembus
dinding-dinding besi dan tertancap tajam di langit duniaku. Siluet senja yang
indah. Semuanya yang sementara. Semua yang sederhana. Begitu lembut membiusku
untuk tetap memperhatikanmu. Karena kamu sementara dan apa adanya. Siluet senja
yang selalu hadir di duniaku. Siluet senja dari senjaku.
Secara
spontan dan otomatis hati ini selalu merindu ketika waktu yang berjalan cepat
itu lurus menuju senja. Waktu yang paling aku tunggu untuk menemui siluet indah
yang sementara. Semua begitu saja. Tak pernah ada paksaan. Tak pernah ada rencana.
Semua mengalir dengan waktu. Otomatis. Betapa Tuhan sungguh luar biasa
hebatnya. Hal yang sementara begitu sangat aku rindukan. Melihat senja dalam
diam dan memperhatikannya, sama seperti memperhatikanmu, senja dalam duniaku. Aku
yang tak pernah berani bicara ketika kedatanganmu yang sementara. Ah, sungguh
sulit berucap ketika keindahan siluet itu menyelimutimu lembut. Ajari aku agar
bisa terus memandang dengan tatapan luar biasa ini ketika siluet senja muncul
dalam sementara. Ajari aku agar terus menantikan semua keindahan dibalik
kesementaraanmu. Ajari aku agar mengagumi keberadaan senja dan menagungkannya
lebih dalam. Karena kamu adalah sesuatu yang sementara dan berharga. Meski tak
pernah terucap dari mulutku, aku berani bersumpah. Kamulah senja terindah yang
aku nantikan dalam langit duniaku.
Sejenak
saja. Biarkan ia berlalu dengan sendirinya.
Sejenak
saja. Biarkan ia berjalan manis ke peraduannya.
Sejenak
saja. Biarkan ia menampakkan keindahannya.
Sejenak
saja. Biarkan ia menoleh, dan menyadari ada aku untuknya.
Sejenak
saja. Biarkan ia tahu bahwa aku menunggunya.
Sejenak
saja. Biarkan aku mengagumi hadirnya yang dalam sementara.
Sejenak
saja….
Annisa Ulfah Miah
14 Mei 2014
“Kepada senja yang
selalu hadir sementara.”