Senin, 16 Februari 2015

Wajah yang Menenangkan


Masih segar diingatan, tempo hari ketika hujan mengguyur deras kota. Gemericik airnya menenangkan. Membuatku betah berlama-lama di perpustakaan kecil pinggir kota. Sebuah perpustakaan yang masih terawat baik meski bangunannya sudah kuno. Catnya mengelupas hampir diseluruh bagian. Tak ada gambar menarik. Hanya ada beberapa poster penulis lama dan sebuah lukisan Chairil Anwar menggantung indah. Meski begitu, tempat ini menawarkan kenyamanan bagiku. Menawarkan sebuah pemandangan mahal yang tak bisa aku dapatkan dimanapun. Hanya bisa aku dapatkan disini. Di tempat yang tak lebih dari duapuluh meter ini, aku menemukan sosoknya.

Hujan tak kunjung berhenti. Aku memutuskan untuk masuk ke dalam perpustakaan. Penjaganya seorang pria tua yang sudah aku kenal baik. Ia adalah mantan sastrawan. Hidupnya sungguh sederhana. Kecintaannya pada sastra membuatnya membangun perpustakaan ini. Ia kemudian mempersilahkanku masuk dengan senyumnya yang ramah. Gigi ompongnya selalu ia tampakkan. Ada sebuah lesung pipit di sebelah kanan pipinya. Hanya satu. Tetapi menghangatkan. Sama seperti bertahun-tahun yang lalu. Ketika aku bertemu pertama kali dengannya. Raut wajahnya bak sebuah cerita novel yang panjang lebar. Kerutan di wajahnya tergambar jelas. Kacamata tebal yang dipakainya sangat unik. Indah sekali. Aku melangkah memasuki perpustakaan mungil itu. Melihat sekeliling. Menyusuri rak satu kemudian ke rak yang lain. Sesekali menarik buku dari rak. Kemudian dibaca bagian belakang sampulnya. Ah, kebiasaan lama. Mataku kembali bergerilya. Menarik dua novel karya novelist terkenal. Kemudian aku bawa ke sebuah meja tua. Duduk disebuah bangku panjang. Kemudian membukanya satu-persatu. Melirik ke samping kanan. Ah iya pria itu! Wajahnya menyembul dari balik tumpukan novel tebal. Matanya fokus melihat tulisan yang berjejer rapi. Tunggu dulu, ia membaca novel yang sama persisi denganku. Karya novelist terkenal yang sama pula. Tiba-tiba rambutnya terjatuh pelan. Kemudian ia sibakkan ke belakang dengan tangan kanan. Ya Tuhan, sungguh menyenangkan melihatnya. Sesekali ia mengernyitkan dahi kemudian mengut-mangut sok mengerti. Dibolak-baliknya kertas novel yang tipis itu satu persatu. Menyenangkan sekali. Aku masih mengamatinya dari sini. Mengamati setiap detail wajahnya. Agar aku cepat menghafal wajah yang menenangkan itu. Aku belum pernah melihat pria seperti ini sebelumnya. Yang betah berlama-lama berdua dengan sebuah buku. Betah membaca baris demi baris yang berjejer rapi. Tak mengeluh meski mata sudah tak kuat menahan lelah. Ternyata ada pria yang demikian.

Entahlah, mengamatinya membuatku merasa damai. Rambutnya yang kembali jatuh itu rasanya ingin aku sibakkan. Ingin rasanya mendekat, membaca novel berdua. Membaca kata demi kata secara bergantian. Meski lebih lama, namun aku yakin akan menyenangkan. Aku ingin mendengar desahan nafasnya yang lembut. Memperhatikan dengan detail dahinya yang mengerut. Membantunya menemukan kata-kata indah. Ah, sungguh ingin sekali rasanya. Ingin menemukan kedamaian yang sama. Mengabaikan deru kendaraan yang bising di luar perpustakaan. Dan fokus pada baris-baris novel romantis sembari membayangkan seakan itu juga terjadi. Ingin juga rasanya ikut menggenggam tangannya. Membantunya memilah novel untuk dibaca bersama. Tak akan bisa dibayangkan, seberapa menyenangkannya bila itu sungguh terjadi. Akan seperti apa degub jantung yang normal ini. Akankah terus berdegub normal? atau akan lebih cepat dari biasanya? Entahlah, sampai detik ini aku masih duduk diujung bangku. Masih hanya memperhatikannya. Belum berani beranjak.

Sudah berapa lama aku hanya memandanginya dari sini. Menyiksa. Iya. Betapa tidak? Tanganku sungguh gatal ingin ikut meyibak rambutnya yang jatuh itu. Ah, iya aku tak mengenalnya sama sekali. Mana bisa aku tiba-tiba ikut menyibakkan rambutnya? Namun, aku memang sungguh ingin mengenalnya. Tidak kuat bila hanya melihatnya menyembul dari balik tumpukan novel tebal. Aku ingin melihat wajahnya. Ingin sekali. Ingin menatap matanya. Siapa tahu, mataku dapat bertemu dengan matanya. Kemudian tumbuhlah rasa tertarik satu sama lain. Sama seperti cerita khayal ftv yang sehari-hari tayang tak kenal jam. Kaki ini rasanya sungguh ingin melangkah maju. Duduk bersebelahan. Ingin sekali. Untuk kesekian kali, aku melihat rambutnya kembali terjatuh. Tanganku reflex terulur. Apa-apaan? Aku kemudian langsung menariknya kembali. Dan, perlahan dagunya terangkat. Menatap kearahku. “DEG!” sungguh, benarkah ini semuanya? Rasanya waktu seperti berhenti. Berhenti lama sekali. Mataku benar-benar bertemu. Wajahnya. Ah iya, wajahnya sungguh tenang. Sebuah senyum, tersimpul jelas di bibirnya. Aku menghembuskan nafas. Kaget bukan kepalang. Ia menoleh, kemudian kembali fokus. Pertunjukan telah selesai.

            Aku tersenyum. Meski tidak di depannya. Namun, aku sungguh percaya, ia tahu. Suara hujan berangsur-angsur hilang. Aku melihat ke arah jendela. Sudah terang. Kemudian beranjak, meninggalkan wajah yang penuh dengan ketenangan itu. Aku tersenyum lagi tanpa sepengetahuannya. Aku membawa kedua novel tadi ke penjaga perpus. Meminjamnya. Seperti biasa ia tersenyum ramah. Namun kali ini berbeda. Ia melirik ke arah pria itu kemudian berkata, “Dia bernama Fadhil.” Aku tersenyum puas. Setidaknya aku sudah mengetahui namanya. Kalau-kalau aku bertemunya lagi, aku bisa menyuarakan namanya dengan lantang. Semoga.

            Aku berjalan sambil membawa dua novel yang baru saja aku pinjam. Menentengnya dengan senyum sumringah tersimpul. Keluar dari perpustakaan kecil sambil melambaikan tangan kepada penjaganya. Baru satu langkah, tetesan air hujan terjatuh dengan lembut di bahuku. Aku diamkan. Jalan yang becek aku lewati dengan semangat. Membuat genangan air itu membuncah mengotori celana jeans yang aku pakai. Sepatuku kotor tertutup lumpur. Sekali lagi aku diamkan. Mataku masih menggambarkan jelas wajahnya. Rambutnya yang hitam dan terjatuh perlahan itu. Alamak! Membuatku semakin ingin mengenalnya. Sungguh rasa ini adalah rasa yang berbeda. Entah rasa apa. Tetapi jantungku berhasil dibuatnya bertedak hebat.

Aku kemudian melangkahkan kaki menuju rumah. Jaraknya tidak jauh dari perpustakaan tua pinggir kota. Satu kilometer bisa ditempuh dalam waktu 30 menit saja. Sampai di rumah, aku masuk ke dalam kamarku di lantai dua. Membantingkan tubuhku di atas kasur. Lelah sekali. Aku putar sebuah lagu lama,  All Of The Stars sambil memejamkan mata. Ah rasanya, lagu ini hanya membuatku semakin memikirkannya. Aku benar-benar ingat wajah menenangkan itu. Percakapan manis yang aku impikan semoga terjadi. Ah iya, aku memang tidak bisa lepas tanpa memperhatikan wajahnya sedetik saja. Mengapa? Karena memang wajah itu sungguh menyenangkan. Apakah salah? Tentu saja tidak, bukan? Tolong jangan menyalahkan perasaan yang sedang aku rasakan. Aku bahkan tidak tahu apa yang membuat perasaan ini tumbuh subur. Aku juga tidak mengerti jenis pupuk apa yang aku gunakan. Entahlah, rasanya benar-benar semakin tumbuh. Semakin hijau saja. Aku tidak sabar ingin tahu sampai kapan perasaan ini tumbuh subur. Sampai kapan perasaan ini tidak layu. Semoga saja, pupuk yang tak bernama itu masih aku simpan. Sehingga bisa aku gunakan hingga kapan saja. Hingga aku masih akan tetap ada untuk memandanginya. Meski dari kejauhan.

Aku baringkan tubuhku. Aku rentangkan tangan. Nyaman sekali. Seandainya dia tahu, saat seperti inilah aku sering berfikir sesuatu. Hingga saat ini aku masih enggan percaya mengapa aku memperhatikannya. Hingga detik ini aku masih seperti bermimpi. Mimpi yang indah. Enggan terbangun meski hari sudah mulai berganti dan berganti. Enggan memekakkan mata walau guratan cahaya sudah menyilaukan. Aku juga enggan berpindah posisi. Tak ingin jika mimpi ini bergeser sedikit saja. Aku hanya ingin terlelap. Kalau boleh, aku ingin terus tidur seperti ini. Jika memang ini mimpi. Tolong ijinkan aku untuk terus memejamkan mata. Namun sungguh beruntungnya aku, ini semua bukanlah mimpi. Ini adalah kenyataan. Meskipun hanya dari kejauhan. Tidak bisa aku sentuh. Namun, skenario Tuhan sungguh indah. Dia masih mengijinkanku untuk menikmati semuanya dalam kenyataan. Bukan dalam mimpi yang aku paksakan. Aku mungkin berlebihan. Tapi aku memang enggan berpindah posisi jika ini memang mimpi. Takut, kalau-kalau wajah menenangkan itu ikut bergeser juga. Ah, aku jadi tidak sabar ingin kembali lagi ke perpustakaan sesegera mungkin. Aku sudah rindu! Ah iya, Fadhil. Berhasil sekali membuatku rindu!

Kini aku mulai tersadar, dan benar-benar telah terbangun dari perjalanan indah mimpi semuku bersama sang wajah menenangkan itu. Aku memang sudah seharusnya membuka mata setelah sekian lama aku terpejam menikmati khayalan yang indah, berkelana menanti senja kala siang bangunkanku. Wajah menenangkan itu adalah tempatku menggantung asa. Meski tidak bisa aku sentuh, aku bersumpah, selama aku masih memiliki pupuk tak bernama itu, aku akan terus membuatnya semakin hijau. Akan terus datang ke perpustakaan demi mengobati rindu. Iya, rindu kepadanya. Pria dengan wajah yang menenangkan.



Annisa Ulfah
16 February 2015












Jumat, 06 Februari 2015

Tugas Parafrase dan Puisi



Tuhan Telah Menegurmu

Parafrasenya:

            Tuhan, raja semesta alam, telah menegur kita, para umat manusia. Ia menegurnya dengan sangat lembut. Dengan anggun. Bahkan dengan cukup sopan. Ia tak menindas kejam. Tidak! Ia juga tak murka kepada umat-Nya. Ia sama sekali hanya menegur umat manusia dengan sopan. Dengan sapaan lembut tanpa nada yang tinggi. Ia cukup baik. Teramat baik malah. Ia menyadari bagaimana umat-Nya yang masih enggan bersyukur. Ia tahu,apa yang harus Ia lakukan. Sekali lagi Ia hanya cukup berdiam. Menegur dengan lembut. Sungguh, orang-orang yang buta tak akan menyadari betapa lembut tegurannya. Tak akan bisa merasakan, kasih sayang-Nya yang masih turun dengan deras, hingga Ia tak menegur umat-Nya dengan murka dan amarah. Seharusnya, kita sebagai umat-Nya menyadari betapa Tuhan sungguh menegur kita walau dengan sentuhan lembut.
            Tuhan sudah mulai dengan teguran-Nya. Ya, melalui perut anak-anak miskin. Perut yang sungguh kurus. Perut yang tak henti-hentinya berbunyi ketika siang dan malam datang. Perut yang mati-matian harus menahan perih. Ya, perut anak-anak miskin. Sungguh, penderitaan yang tak bisa kita rasakan, bukan? Bagaimana bisa dirasakan? Toh, untuk membeli makanan ratusan ribu saja kita masih bisa. Jangankan ratusan ribu, untuk menyewa restaurant mahal saja kita juga sanggup. Lantas, mengapa kita sungguh tidak mengetahui teguran Tuhan? Mengapa perut anak-anak miskin itu selalu luput dari pandangan kita? Mengapa bunyi rasa lapar itu terasa melewati kuping kiri sehingga keluar dari kuping kanan? Pernahkah kita menyadari betapa nikmat Tuhan sungguh menyenangkan? Kita tidak perlu mempunyai perut anak-anak miskin. Kita juga tidak perlu mati-matian menahan lapar. Di depan kita, makanan lezat sudah tersaji dengan apik. Kita tinggal memilih kemudian dengan lahap memakannya. Nah, coba sekarang kita rasakan bagaimana kalau perut anak-anak miskin itu adalah perut kita. Bagaimana kalau makanan lezat itu hanya bisa kita tatap, tidak bisa kita sentuh. Apalagi kita makan. Sungguh, kita sudah mendustai nikmat Tuhan.
            Lalu, Tuhan kembali menegur kita dengan mendayunya suara adzan. Adzan yang berkumandang dalam lima kali sehari seharusnya bisa membuka mata kita semua. Tapi, bagimana ketika adzan itu berkumandang indah dan kita seolah tak mendengar. Bukankah adzan itu panggilan dari Tuhan? Sang Maha Pencipta memanggil kita dan kita seolah tuli? Sungguh, kita sudah mendustakan nikmat-Nya, lagi. Ketika adzan yang menyimpan makna sakral itu, dengan lembut menggugah hati dan pikiran. Seolah membuka mata, mengajak untuk sejenak mengingat Sang Pencipta. Meminta kita untuk bersujud memohon ampunan dari dosa yang sudah sebegitu tingginya. Namun apa yang kita lakukan? Ya, mangkir. Tidak menemui-Nya. Memilih menghabiskan waktu dengan kesibukan kita masing-masing. Andai kita tahu, Tuhan tidak pernah meminta waktu lebih dari sepuluh menit untuk melaksanakan shalat. Tuhan tidak meminta kita mengingat-Nya dalam 24 jam. Ia memberikan kita kebebasan. Ia memberikan waktu yang cukup longgar dan kita tidak bisa menyisihkannya hanya untuk bersujud dihadapan-Nya? Sungguh, kita semua adalah makhluk yang tidak tahu diri.
            Kini, Tuhan seolah semakin menegur kita. Ia sudah menepuk pundak kita lebih keras dari sebelumnya. Ia juga sudah membisikkan ke telinga kita tentang teguran-Nya. Ia sudah tak selembut sebelumnya. Ia sudah tak seanggun biasanya. Tuhan sudah mulai dengan teguran yang sesungguhnya. Apakah Ia lelah? tentu saja tidak. Tuhan tidak pernah lelah menegur umat-Nya. Teguran Tuhan adalah tanda bahwa Ia sangat menyayangi umat-Nya. Namun, bagaimana dengan umat-Nya? Apakah ia sungguh mencintai Tuhan? Kalau memang kita mencintai Tuhan, segala teguran awal dari Tuhan, sudah pasti akan kita perhitungkan. Namun kenyataannya? Kita sungguh pura-pura tidak tahu. Hingga Tuhan pun harus menegur kita lebih keras.
            Tuhan sungguh menunjukkan kuasa-Nya. Lewat bumi yang berguncang hebat. Memporak-porandakan ribuan rumah dalam sekejab. Bagi Tuhan itu adalah hal kecil. Namun bagi kita, sungguh ini akan menjadi hujan air mata. Lewat goncangan itu, Tuhan menciptakan lautan manusia yang terkapar tak bernyawa. Memperlihatkan darah segar yang mengalir dari semua sisi. Membuat suara tangisan menjadi suara bising yang terdengar di seluruh penjuru kota. Ia membuat anak kecil merengek meminta orang tuanya kembali. Ia juga membuat bayi-bayi kecil tak berdosa harus tumbuh seorang diri. Puing-puing bangunan yang berantakan menjadi pemandangan menyedihkan. Belum usai, sudah timbul masalah dengan mata pencaharian warga yang ikut lumpuh total. Seorang ayah tidak bisa menafkahi anak dan istrinya. Pusat pembelajaran membuat adik-adik kita susah mendapat ilmu. Lantas, apakah hati kita masih beku melihat ini semua? Melihat rintihan, erangan, bahkan air mata dari anak-anak kecil tak berdosa. Sungguh, Tuhan sudah mulai menepuk bahu kita dengan keras. Berharap kita akan menengok. Menyadari bahwa semua adalah teguran. Teguran yang harus kita perhitungkan.
            Belum reda air mata itu, Tuhan sudah membuat rumah-rumah kita tenggelam oleh air. Ia menurunkan hujan lebat. Disertai petir yang berkilat-kilat di angkasa. Dan dengan sombongnya, kita masih duduk manis. Menonton acara televisi favorit. Enggan memperdulikan petir yang sudah mengamuk diluar sana. Kita seolah berlindung dibalik kemewahan dunia yang kita miliki. Bah! Bagi Tuhan tidak akan menjadi masalah. Hujan itu kemudian turun terus menerus. Membuat rumah-rumah mewah kita tenggelam. Bercampur dengan air yang berbau busuk. Air yang pebuh penyakit. Itu adalah teguran Tuhan untuk yang kesekian kalinya. Ia membiarkan lagi banjir air mata. Belum juga berapa nyawa yang harus membayar ini semua. Kita semuanya harus tahu, bahwa Tuhan sungguh sudah menepuk bahu kita sangat keras!
            Nah, bagaimana? Setelah kita mengingkari nikmat Tuhan? Setelah kita tuli, kita, buta, bahkan kita bisu dengan tegurannya. Setelah semua tegurannya dibayar dengan air mata, dengan rengekan, dengan nyawa yang melayang. Masihkah kita mampu untuk tuli? Masihkan kita mampu untuk buta? Untuk bisu? Sesungguhnya sudah tidak ada ruang lagi untuk itu. Kita sudah selayaknya membuka mata. Menyadari betapa kasih sayang Tuhan sungguh besar. Betapa nikmat yang diberikan sungguh tak akan dapat terbayarkan. Lantas, apa yang harus kita lakukan? Tentu saja kita harus lebih dekat dengan Tuhan. Harus mau menyisakan sedikit waktu untuk bersujud dihadapan-Nya. Tuhan tidak mungkin menegur umat-Nya sedemikian keras kecuali kita sungguh sudah berkhianat kepada-Nya. Nah, sesungguhnya Tuhan sudah menegur kita dengan sederhana. Hanya saja, hati kita belum bisa memahaminya.


Kau Telah Berjanji
Oleh: Annisa Ulfah

Kau telah berjanji
Membawaku kepada bunga abadi
Membiarkanku memcium harumnya hingga nanti
Kau telah berjanji
Membawaku pada mentari pagi
Hingga senja datang kan menutupi

Kau juga sempat berkata
Kan menggadengku hingga ke puncak yang tak rata
Mempersilahkanku untuk menghirup hawa yang nyata
Kau sudah berkata langsung
Kelak, lenganmu akan menjadi pelindung
Dari malam yang dingin di tenda ujung

Kau sudah berikrar
Memperlihatkanku rasi bintang-bintang besar
Sembari memetik senar gitar
Duduk berdua menatap layar

Sungguh, kau sudah berjanji
Mendaki gunung bersama hingga pagi datang lagi
Menikmati hawa dingin menusuk pipi
Sungguh, kau harus menepati janji
Membawaku kepada mentari
Membiarkanku menari-nari
Memetik bunga abadi

Berjanjilah…
Bahwa perjalanan ini adalah milik berdua
Bukan tentang kau, aku, atau mereka
Tapi ini perjalanan kita
Bersama mendaki hingga angkasa

Kau sudah berjanji
Kelak, ini tak hanya menjadi sebuah mimpi

“Puisi ini menceritakan tentang seseorang yang telah berjanji akan mengajak untuk mendaki gunung bersama. Untuk melihat betapa indah anugerah Tuhan yang sudah Tuhan ciptakan. Seseorang itu sudah berkata, berjanji, bahkan berikhrar bahwa ia akan menjadi pelindung ketika mendaki nanti. Bahwa akan ada banyak hal yang dilakukan ketika sudah sampai puncak nanti. Akan melihat matahari terbit, akan mengambil bunga abadi, dan melihat bintang ketika malam datang.”