Masih segar diingatan,
tempo hari ketika hujan mengguyur deras kota. Gemericik airnya menenangkan.
Membuatku betah berlama-lama di perpustakaan kecil pinggir kota. Sebuah
perpustakaan yang masih terawat baik meski bangunannya sudah kuno. Catnya
mengelupas hampir diseluruh bagian. Tak ada gambar menarik. Hanya ada beberapa
poster penulis lama dan sebuah lukisan Chairil Anwar menggantung indah. Meski
begitu, tempat ini menawarkan kenyamanan bagiku. Menawarkan sebuah pemandangan
mahal yang tak bisa aku dapatkan dimanapun. Hanya bisa aku dapatkan disini. Di
tempat yang tak lebih dari duapuluh meter ini, aku menemukan sosoknya.
Hujan tak kunjung
berhenti. Aku memutuskan untuk masuk ke dalam perpustakaan. Penjaganya seorang
pria tua yang sudah aku kenal baik. Ia adalah mantan sastrawan. Hidupnya
sungguh sederhana. Kecintaannya pada sastra membuatnya membangun perpustakaan
ini. Ia kemudian mempersilahkanku masuk dengan senyumnya yang ramah. Gigi
ompongnya selalu ia tampakkan. Ada sebuah lesung pipit di sebelah kanan pipinya.
Hanya satu. Tetapi menghangatkan. Sama seperti bertahun-tahun yang lalu. Ketika
aku bertemu pertama kali dengannya. Raut wajahnya bak sebuah cerita novel yang
panjang lebar. Kerutan di wajahnya tergambar jelas. Kacamata tebal yang
dipakainya sangat unik. Indah sekali. Aku melangkah memasuki perpustakaan
mungil itu. Melihat sekeliling. Menyusuri rak satu kemudian ke rak yang lain.
Sesekali menarik buku dari rak. Kemudian dibaca bagian belakang sampulnya. Ah,
kebiasaan lama. Mataku kembali bergerilya. Menarik dua novel karya novelist
terkenal. Kemudian aku bawa ke sebuah meja tua. Duduk disebuah bangku panjang.
Kemudian membukanya satu-persatu. Melirik ke samping kanan. Ah iya pria itu!
Wajahnya menyembul dari balik tumpukan novel tebal. Matanya fokus melihat
tulisan yang berjejer rapi. Tunggu dulu, ia membaca novel yang sama persisi
denganku. Karya novelist terkenal yang sama pula. Tiba-tiba rambutnya terjatuh
pelan. Kemudian ia sibakkan ke belakang dengan tangan kanan. Ya Tuhan, sungguh
menyenangkan melihatnya. Sesekali ia mengernyitkan dahi kemudian mengut-mangut
sok mengerti. Dibolak-baliknya kertas novel yang tipis itu satu persatu.
Menyenangkan sekali. Aku masih mengamatinya dari sini. Mengamati setiap detail
wajahnya. Agar aku cepat menghafal wajah yang menenangkan itu. Aku belum pernah
melihat pria seperti ini sebelumnya. Yang betah berlama-lama berdua dengan
sebuah buku. Betah membaca baris demi baris yang berjejer rapi. Tak mengeluh
meski mata sudah tak kuat menahan lelah. Ternyata ada pria yang demikian.
Entahlah, mengamatinya
membuatku merasa damai. Rambutnya yang kembali jatuh itu rasanya ingin aku
sibakkan. Ingin rasanya mendekat, membaca novel berdua. Membaca kata demi kata
secara bergantian. Meski lebih lama, namun aku yakin akan menyenangkan. Aku
ingin mendengar desahan nafasnya yang lembut. Memperhatikan dengan detail
dahinya yang mengerut. Membantunya menemukan kata-kata indah. Ah, sungguh ingin
sekali rasanya. Ingin menemukan kedamaian yang sama. Mengabaikan deru kendaraan
yang bising di luar perpustakaan. Dan fokus pada baris-baris novel romantis
sembari membayangkan seakan itu juga terjadi. Ingin juga rasanya ikut
menggenggam tangannya. Membantunya memilah novel untuk dibaca bersama. Tak akan
bisa dibayangkan, seberapa menyenangkannya bila itu sungguh terjadi. Akan
seperti apa degub jantung yang normal ini. Akankah terus berdegub normal? atau
akan lebih cepat dari biasanya? Entahlah, sampai detik ini aku masih duduk
diujung bangku. Masih hanya memperhatikannya. Belum berani beranjak.
Sudah berapa lama aku
hanya memandanginya dari sini. Menyiksa. Iya. Betapa tidak? Tanganku sungguh
gatal ingin ikut meyibak rambutnya yang jatuh itu. Ah, iya aku tak mengenalnya
sama sekali. Mana bisa aku tiba-tiba ikut menyibakkan rambutnya? Namun, aku
memang sungguh ingin mengenalnya. Tidak kuat bila hanya melihatnya menyembul
dari balik tumpukan novel tebal. Aku ingin melihat wajahnya. Ingin sekali.
Ingin menatap matanya. Siapa tahu, mataku dapat bertemu dengan matanya.
Kemudian tumbuhlah rasa tertarik satu sama lain. Sama seperti cerita khayal ftv
yang sehari-hari tayang tak kenal jam. Kaki ini rasanya sungguh ingin melangkah
maju. Duduk bersebelahan. Ingin sekali. Untuk kesekian kali, aku melihat
rambutnya kembali terjatuh. Tanganku reflex terulur. Apa-apaan? Aku kemudian
langsung menariknya kembali. Dan, perlahan dagunya terangkat. Menatap kearahku.
“DEG!” sungguh, benarkah ini
semuanya? Rasanya waktu seperti berhenti. Berhenti lama sekali. Mataku
benar-benar bertemu. Wajahnya. Ah iya, wajahnya sungguh tenang. Sebuah senyum,
tersimpul jelas di bibirnya. Aku menghembuskan nafas. Kaget bukan kepalang. Ia
menoleh, kemudian kembali fokus. Pertunjukan telah selesai.
Aku
tersenyum. Meski tidak di depannya. Namun, aku sungguh percaya, ia tahu. Suara
hujan berangsur-angsur hilang. Aku melihat ke arah jendela. Sudah terang.
Kemudian beranjak, meninggalkan wajah yang penuh dengan ketenangan itu. Aku
tersenyum lagi tanpa sepengetahuannya. Aku membawa kedua novel tadi ke penjaga
perpus. Meminjamnya. Seperti biasa ia tersenyum ramah. Namun kali ini berbeda.
Ia melirik ke arah pria itu kemudian berkata, “Dia bernama Fadhil.” Aku
tersenyum puas. Setidaknya aku sudah mengetahui namanya. Kalau-kalau aku
bertemunya lagi, aku bisa menyuarakan namanya dengan lantang. Semoga.
Aku
berjalan sambil membawa dua novel yang baru saja aku pinjam. Menentengnya
dengan senyum sumringah tersimpul. Keluar dari perpustakaan kecil sambil
melambaikan tangan kepada penjaganya. Baru satu langkah, tetesan air hujan
terjatuh dengan lembut di bahuku. Aku diamkan. Jalan yang becek aku lewati
dengan semangat. Membuat genangan air itu membuncah mengotori celana jeans yang
aku pakai. Sepatuku kotor tertutup lumpur. Sekali lagi aku diamkan. Mataku
masih menggambarkan jelas wajahnya. Rambutnya yang hitam dan terjatuh perlahan
itu. Alamak! Membuatku semakin ingin
mengenalnya. Sungguh rasa ini adalah rasa yang berbeda. Entah rasa apa. Tetapi
jantungku berhasil dibuatnya bertedak hebat.
Aku kemudian
melangkahkan kaki menuju rumah. Jaraknya tidak jauh dari perpustakaan tua
pinggir kota. Satu kilometer bisa ditempuh dalam waktu 30 menit saja. Sampai di
rumah, aku masuk ke dalam kamarku di lantai dua. Membantingkan tubuhku di atas
kasur. Lelah sekali. Aku putar sebuah lagu lama, All Of The Stars sambil
memejamkan mata. Ah rasanya, lagu ini hanya membuatku semakin memikirkannya.
Aku benar-benar ingat wajah menenangkan itu. Percakapan manis yang aku impikan
semoga terjadi. Ah iya, aku memang tidak bisa lepas tanpa memperhatikan
wajahnya sedetik saja. Mengapa? Karena memang wajah itu sungguh menyenangkan.
Apakah salah? Tentu saja tidak, bukan? Tolong jangan menyalahkan perasaan yang
sedang aku rasakan. Aku bahkan tidak tahu apa yang membuat perasaan ini tumbuh
subur. Aku juga tidak mengerti jenis pupuk apa yang aku gunakan. Entahlah,
rasanya benar-benar semakin tumbuh. Semakin hijau saja. Aku tidak sabar ingin
tahu sampai kapan perasaan ini tumbuh subur. Sampai kapan perasaan ini tidak
layu. Semoga saja, pupuk yang tak bernama itu masih aku simpan. Sehingga bisa
aku gunakan hingga kapan saja. Hingga aku masih akan tetap ada untuk
memandanginya. Meski dari kejauhan.
Aku baringkan tubuhku.
Aku rentangkan tangan. Nyaman sekali. Seandainya dia tahu, saat seperti inilah
aku sering berfikir sesuatu. Hingga saat ini aku masih enggan percaya mengapa aku
memperhatikannya. Hingga detik ini aku masih seperti bermimpi. Mimpi yang
indah. Enggan terbangun meski hari sudah mulai berganti dan berganti. Enggan
memekakkan mata walau guratan cahaya sudah menyilaukan. Aku juga enggan
berpindah posisi. Tak ingin jika mimpi ini bergeser sedikit saja. Aku hanya
ingin terlelap. Kalau boleh, aku ingin terus tidur seperti ini. Jika memang ini
mimpi. Tolong ijinkan aku untuk terus memejamkan mata. Namun sungguh
beruntungnya aku, ini semua bukanlah mimpi. Ini adalah kenyataan. Meskipun
hanya dari kejauhan. Tidak bisa aku sentuh. Namun, skenario Tuhan sungguh
indah. Dia masih mengijinkanku untuk menikmati semuanya dalam kenyataan. Bukan
dalam mimpi yang aku paksakan. Aku mungkin berlebihan. Tapi aku memang enggan
berpindah posisi jika ini memang mimpi. Takut, kalau-kalau wajah menenangkan
itu ikut bergeser juga. Ah, aku jadi tidak sabar ingin kembali lagi ke
perpustakaan sesegera mungkin. Aku sudah rindu! Ah iya, Fadhil. Berhasil sekali
membuatku rindu!
Kini aku mulai
tersadar, dan benar-benar telah terbangun dari perjalanan indah mimpi semuku
bersama sang wajah menenangkan itu. Aku memang sudah seharusnya membuka mata
setelah sekian lama aku terpejam menikmati khayalan yang indah, berkelana
menanti senja kala siang bangunkanku. Wajah menenangkan itu adalah tempatku
menggantung asa. Meski tidak bisa aku sentuh, aku bersumpah, selama aku masih
memiliki pupuk tak bernama itu, aku akan terus membuatnya semakin hijau. Akan terus
datang ke perpustakaan demi mengobati rindu. Iya, rindu kepadanya. Pria dengan
wajah yang menenangkan.
Annisa Ulfah
16 February 2015
16 February 2015