Malam
ini, angin berhembus pelan. Suasananya mendayu meski agak gerimis. Langit yang
mendung hampir menutupi bulan sabit yang bersinar terang. Bintang-bintang juga
tertutup kabut. Hanya satu dua yang terlihat. Itupun juga tak seterang
biasanya. Jalanan kota padat merayap. Penuh dengan kendaraan dan ribuan orang
yang berjalan menuju alun-alun kota. Ada yang berjalan berkelompok, beriringan,
berdua, atau hanya sekedar duduk-duduk di pinggir jalan. Parkiran motor pun
membludak. Jalan pecinan yang biasanya ramai dengan pedagang kaki lima, kini
berubah menjadi parkiran motor. Alun-alun kota menjelma indah dengan panggung
semi permanen yang menjulang. Tak henti-hentinya musik dialunkan dari seorang
DJ yang sudah melenggak-lenggok diatas panggung. Puncak tahun baru dimulai dua
jam lagi.
Aku
tidak ingin tertinggal dengan perayaan besar ini. Untuk pertama kalinya aku
pergi ke alun-alun kota selarut ini. Mengabaikan perintah ayah. Mencoba menenangkan
ibu yang marah besar ketika anak perempuannya berani melanggar aturan. Dan aku
berhasil. Aku datang ke alun-alun kota. Melihat berbagai jenis aktivitas malam
yang masih asing bagiku. Takjub. Aku tidak petnah keluar rumah selarut ini. Tidak
pernah merasakan angin malam yang menenangkan. Tidak bisa melihat ribuan cahaya
lampu kota tersorot indah. Bagiku, ini semua adalah bayaran. Setelah sekian
lama aku harus tenggelam. Merasakan betapa tahun ini sungguh membuatku banyak
kehilangan apapun. Aku melirik jam tangan hitam dipergelangan tanganku. Pukul 23.00
WIB. Perayaan tahun baru dimulai satu jam lagi.
Aku
berjalan melintasi toko-toko yang menjelma menjadi lading parkir. Pedagang kaki
lima tumpah ruah. Bingung, melayani pembeli yang berteriak minta didahulukan. Aku
tersenyum. Setidaknya aku pernah mengalami masa itu. Ya, dua tahun yang lalu. Aku
terus berjalan. Mengabaikan seruan orang yang lalu lalang. Mengabaikan pandangan
nakal dari pria-pria yang duduk di sekitar toko besar diujung itu. Sesekali aku
melempar senyum sinis pada mereka. Aku terus berjalan. Mencoba mencari titik
temu yang tepat. Aku berhenti tepat di bawah sinaran lampu kota depan toko besar.
Aku melihat sekeliling. Tak ada orang yang aku kenal. Aku kemudian duduk di
samping taman. Melemaskan kaki setelah berjalan jauh dari rumah. Berharap dalam
hati bertemu seseorang yang aku kenal. Mataku malihat ke kanan kemudian ke kiri
begitu berulang-ulang. Melihat kerumunan orang yang saling melempar tawa,
saling bercerita, saling memeluk satu sama lain. Aku benar-benar merasakan
atmosfer yang berbeda. Anak-anak kecil berlarian sambil membawa terompet
berbagai bentuk. Ada juga pasangan kekasih yang saling berpelukan sambil seolah
melihat bintang indah. Aku kembali tersenyum. Kemudian menghela nafas pelan. Aku
rasa, hanya aku yang merasa sendiri disini. Perayaan tahun baru dimulai
setengah jam lagi.
Aku
menyatukan tangan. Mencoba menghangatkan kedua telapak tanganku yang mulai tak
tahan dengan dingin. Sesekali aku meniup tanganku agar menjadi lebih hangat. Alun-alun
kota menjadi lebih ramai. Jalan utama benar-benar sudah tak bisa digunakan. Para
pejalan kaki duduk di jalan raya. Tak menghiraukan beberapa mobil polisi yang
lalu lalang mengamankan keadaan. Satu dua menyingkir, kebanyakan tetap duduk
tak peduli. Gerimis yang sempat turun, kini sudah tak ada. Hilang. Langit berubah
menjadi cerah. Bulan sabit yang tadinya tertutup awan, kini mulai terlihat. Indah
sekali. Tak lama kemudian, tiba-tiba lampu seluruh alun-alun kota mati. Tepat pukul
23.45 WIB. Aku tak sabar melihat kembang api pada malam pergantian tahun kali
ini. Mataku melihat sekeliling, dan berhenti pada seorang pria. Aku sangat
mengenalnya. Dia adalah orang yang selama ini banyak mencuri perhatianku. Bagaimana
bisa aku tidak mengenalnya? Setiap malam, aku mendengarkan suaranya melalui
telepon. Membaca banyak pesan yang saling dikirimkan. Bagaimana bisa aku
bertemu dengannya malam ini? Aku enggan beranjak. Meskipun aku sebenarnya ingin
menyapanya. Menemaninya melihat kembang api yang meledak di angkasa. Namun rasanya,
tidak mungkin. Aku memperhatikannya dari sini, dari bawah lampu kota yang sudah
padam. Dia tidak seperti pria kebanyakan. Dia tak banyak bicara. Pembawaannya tenang.
Itu yang membuatku selalu mencarinya. Aku sadar tentang keberadaannya, namun
dia tidak. Ia masih sibuk melempar candaan dengan temannya. Tak menghiraukan
bahwa aku memperhatikannya dari jauh. Sama seperti biasanya, aku hanya siluet
yang jauh. Yang tak bisa disentuh. Tak bisa dilihat. Pantas saja, ia selalu
protes karena aku jauh. Setidaknya, itu yang membuatku merindukannya.
Aku
berjalan maju. Hanya sekedar untuk ikut berkerumun. Mataku masih menatap dia. Begitu
seterusnya, hingga entah terdorong siapa, aku sampai di sampingnya. Tak berapa
lama ia menoleh. Ekspresinya kaget melihatku berdiri disampingnya. Kini, ia menyadari
keberadaanku. Tidak ada senyum. Tidak ada sapaan. Aku menyadari kami berdua sama-sama
terjebak dalam keadaan canggung. Aku menepis perasaan yang tak beraturan ini. Aku
membuang pandangan. Berusaha melangkah mundur agar tak sejajar dengannya. Tiba-tiba
seruan terompet menggema bersama. Kembang api mucul dari berbagai sisi. Sungguh
indah sekali. Mataku tak henti-hentinya takjub melihat kembang api yang
bersautan. Sementara dia berdiri di depanku. Tepat di depanku. Bagaimana bisa
kami begitu dekat dalam ingatan, namun begitu jauh dalam nyata? Bagaimana bisa
aku menikmati kembang api tahun ini dengan dia yang hanya bisa berdiri di
depanku? Yang bahkan tak ada kata sapaan sebagai basa basi kecil. Bagaimana bisa?
Dadaku terasa sesak oleh banyak pertanyaan “bagaimana bisa” yang aku timbulkan
sendiri. Ironis memang, saat kami jauh, kami saling berusaha untuk mendekatkan
diri. Namun, saat jarak itu hilang, saat bayangan menjadi nyata, kami seperti
orang lain. Seolah kami melupakan semua yang terjadi. Hilang, lenyap begitu
saja. Aku rasa, kami benar-benar terjebak keadaan bila menghadapi pertemuan. Kami
masih belum bisa leluasa. Masih sama-sama berusaha melenyapkan bahwa kami sekat
dalam ingatan. Miris.
Kembang
api masih meledak bertubi-tubi di angkasa. Mataku masih menatap. Matanya juga. Kami
menatap hal yang sama. Menikmati hal yang sama. Memikirkan hal yang sama? Tidak.
Aku rasa kami berbeda. Aku mencoba tetap menikmati kembang api hingga usai. Menatap
langit yang hanya tinggal kepulan asap yang membentuk siluet kembang api. Aku sama
sekali tak melirik ke arahnya. Sudah cukup bagiku. Meski kami tak berdekatan
dalam nyata, setidaknya kami selalu dekat dalam ingatan. Aku yakin ia menyadari
ku. Mengerti perasaanku. Atau mungkin ia pura-pura tak tahu. Pura-pura tak
mengerti. Pura-pura tak menyadari. Yang jelas, aku telah melangkah jauh meninggalkannya.
Berjalan menuju rumah. Mencoba menepis kajadian selama setengah jam yang lalu. Setidaknya
aku sudah memutuskan. Dan inilah langkah awalku. Tetap menunggu.
Annisa Ulfah Miah
1 Januari 2015