Selasa, 06 Oktober 2015

Belum Berhenti, Takkan Berhenti



 


Aku tidak tahu mengapa kau akhir-akhir ini menguji kemarahanku bahkan menguras emosiku. Kau tentu tahu, aku tidak pernah bisa benar-benar marah di hadapanmu. Tidak! Kau tentu tahu juga bagaimana aku mati-matian mempertahankan semua hingga saat ini. Tidak ingin menyerah tetap berdiri. Tapi, apa yang bisa aku lakukan bila ternyata kau tak demikian. Bukannya aku tidak bisa menerima keadaanmu, tapi ini sulit, sayang. Kau milikku dan aku takkan rela kau disentuh yang lain. Sama seperti kau tak rela aku disentuh yang lain. Tapi berkali-kali aku tunjukkan rasaku, kau semakin menjadi-jadi. Ada apa denganmu sayang? Kau bukan yang dulu. Kau bukan kekasihku yang ku kenal. Aku bahkan setengah mati mengingat, bagaimana kau meyakinkanku untuk tidak menaruh cemburu kepada semua yang berada di sampingmu. Yang kedudukannya lebih besar dariku. Yang setengah mati kau sayangi. Lantas, aku hanya bisa diam. 

Kau benar. Mereka tak perlu dicemburui. Kau benar, berkata bawa akulah yang mendapat segalanya, kau benar. Aku yang mendapat kasih sayang, cinta, perhatian lebih, dan segalanya. Aku pemenangnya. Sekali lagi, kau memang selalu menjadi yang paling benar. Disaat yang lain sudah mengaku salah, kau tetap keukeuh menjadi yang paling benar. Aku tidak seharusnya mencemburui mereka. Mereka bagian dari hidupmu, dan aku adalah sebuah bingkisan baru. Belum sepenuhmya menjadi sebuah bagian. Sama seperti mereka. Aku memang salah menaruh rasa cemburu, namun ada satu hal yang wajib kau ketahui, sayang.

Sayang, kau tahu aku wanita. Kau tahu, bagaimana hatinya jika tergores. Luka. Kau tahu bagaimana lembut perasaannya, bukan? Sayang, kau sudah lebih dari cukup memberiku segalanya. Kau sudah lebih dari apapun mencurahkan rasa. Kau sudah yang paling hebat yang mampu memiliki hati ini. Namun, bukan soal itu. Bukan soal siapa yang paling banyak mendapatkan perhatianmu. Bukan soal siapa yang mampu memilikimu saat ini. Bukan soal itu. Bukan juga tentang siapa yang kau perjuangkan. Namun, soal bagaimana kau menjaga perasaannya. Bagaimana caranya kau tidak membebaninya rasa cemburu. Bagaimana bisa, kau selalu mengagung-agungkan yang lain, tapi pernahkan sedikit saja, kau pikirkan perasaannya? Bagaimana jadinya jika ia menaruh rasa cemburu berlebihan karena ulahmu sendiri? Bagaimana bisa dia tidak menaruh rasa curiga bila kau memperlakukan yang lain lebih istimewa. Apa yang salah? Dia mencintaimu dan dia patut untuk menjagamu. Bukan tentang dia yang tidak mengerti, bukan tentang dia yang harus tunduk untuk tidak mencemburui. Tapi karena dia tak ingin prianya tersentuh yang lain. Kau tentu mengerti sayang, aku yakin kau bukan orang sembarangan yang menganggap remeh ini semua.

Sayang, jika memang semua ini adalah kesalahanku, lantas beritahu aku dimana letak salahnya. Jika memang harus aku yang mengerti keadaanmu, beritahu aku bagaimana caranya. Cemburuku wajar, aku tidak mencari wanita itu. Aku juga tidak menuduhmu berbuat yang tidak baik. Sayang, syukurlah aku masih memiliki otak yang cukup waras. Aku masih bisa membedakan mana yang benar dan salah. Aku juga sudah cukup dewasa untuk mengetahui permasalahan yang ada. Aku hanya tidak mengerti, bagaimana aku harus selalu bersikap tak acuh sementara kau tetap melakukannya, tidak hanya sekali atau dua kali. Beritahu aku agar aku tidak menjadi wanita yang buruk. Beritahu aku agar aku tidak terus-menerus membuatmu “sakit”. Bahkan, aku sering tidak mengetahui dalam kisah ini siapa yang diam-diam paling banyak menahan sakit. Bah! Aku sudah tidak bisa tahan sayang, aku sudah tidak bisa berusaha bersikap tak acuh. Aku sudah berusaha untuk meyakinkanku bahwa semuanya baik-baik saja. Dan sesungguhnya aku tidak ingin mengulanginya. Tapi apa boleh buat, kau melakukan hal yang sama, lagi. Lalu, pantaskah aku untuk mencemburui kali ini?

Sayang, sungguh tak ada niatan apapun. Tak ada sedikit rasa benci pun. Hanya cemburu. Hanya itu. Aku tidak banyak berharap. Kau selalu berkata aku penyebab dari semuanya. Aku penyebab kenapa aku selalu mengomel, selalu meluapkan emosi hingga membuatmu “sakit”. Aku tahu lebih banyak dari yang kau tidak tahu, sayang. Aku tahu semuanya meski tak kau dongengkan satu persatu. Aku tahu, tapi aku memilih diam. Tidak ingin menyulut api masalah. Kau selalu berkata lelah dengan ini semua. Lelah jika aku terus mengomel setiap kali kau begitu. Kau tahu sayang, aku lebih lelah. Tapi aku tidak membuka suara. Aku diam. Aku diam saat kau meluapkan semua emosimu. Aku mengalah saat kau bilang lelah. Aku mencoba membenahi semua, sayang. Aku yang mengemis-emis meminta kau untuk padamkan amarah. Aku yang dimaki-maki pun masih diam seribu bahasa saat kau tak acuh. Aku tetap hadir sebagai siapa aku. Sebagai wanita yang aku yakin, paling tidak bisa kehilanganmu. Wanita kedua setelah ibu, yang jika kau marah dan memprotes, ia hanya bisa diam. Wanita yang tetap hadir jika kau tak ingin melihatnya lagi. Hina? Tidak! Aku tidak pernah merasa hina menjadi wanita yang tetap menunduk dan meminta maaf. Aku tidak pernah merasa risih, jika aku terus-terusan mengemis perhatian ketika kau tak acuh. Aku berusaha. Berusaha melakukan apapun untuk mengingatkanmu jika kau mulai salah arah. 

Sayang, waktuku tidak banyak. Ada kalanya kau akan teramat sangat lelah menghadapiku, ada. Ada kalanya kau tidak membutuhkanku, ada. Ada saatnya kau bilang, aku pengacau! Aku pembawa masalah! Akan ada. Kau yang memiliki waktuku. Tentu saja kau yang berhak memberhentikan waktu itu kapan saja. Aku tidak menuntut tambahan waktu. Aku tidak menuntut kau terus memiliki waktuku. Biarlah, suatu saat waktu yang akan membuatmu tahu, bagaimana sasungguhnya aku belajar memahami karaktermu. Biarkan waktu yang bicara, siapa wanita yang rela mengemis jika kau pun tak sudi memberi. Biarkan waktu yang menjawab, sayang. Siapa sesungguhnya aku. Dan siapa sesungguhnya, kau. 

Aku tidak ingin berkata banyak. Aku hanya ingin kau mengerti. Sadar. Bahwa yang ku rangkai bersamamu bukan main-main. Segala sesuatu yang menjadi batu kerikil aku harap kita singkirkan bersama. Segala hambatan yang menjadi bola raksasa, bisa kita enyahkan dalam sekali lompatan. Ingat, janji kita pada waktu terbaik. Ingat, janjimu kepadaku. Ingat, kisah yang kita lalui semuanya. Ingat bahwa waktu yang kita habiskan sudah ribuan detik. Ingat sayang, ingat aku terus. Jaga perasaanku sama seperti aku menjaga perasaanmu. Jaga kisah ini jangan sampai berakhir. Film kita masih panjang, sayang. Ini bukan akhir. Ini adalah kerikil atau bola besar. Gandeng tanganku erat, lompatlah bersama. Ingat, kau milikku. Selamanya menjadi milikku.

“I’m sorry before, I love you so deeply. I can’t tell you directly. I can only write this. Write about what I feel. I don’t wanna hope to you anymore. I just wanna you to stay, please. I’m sorry if I write full of nothing. I just want you to know, how really I am so lucky to have you.”



Semarang, 6 Oct 2015
your future, insyaallah
16.20 p.m.