Pertemuan awal ku dengannya adalah
ketika cahaya matahari yang hangat menerpa tubuh kami. Dia hadir begitu saja.
Aku sama sekali tak mengacuhkan keberadaannya. Sama saja dengan yang lain. Tak
ada yang istimewa, awalnya. Cahaya matahari yang hangat itu berlangsung 90
menit dengan rasa yang hambar. Tak aku hiraukan, dia. Aku hanya sekilas memandang
paras yang tak seberapa tingginya itu. Kulit sawo matang yang hampir mirip
dengan kulitku sendiri. Ya, semua itu hanya awal. Awal yang hambar. Awal yang
sama sekali tak aku acuhkan. Karena semua berawal dari sini.
Aku bertemu dengannya setiap hari.
Di lapangan, di sepanjang lorong dekat taman, di ruang-ruang, dimana saja. Aku
selalu berpapasan dengannya secara tak sengaja. Awal yang hambar kini perlahan
berubah dengan adanya bumbu penyedap. Entah apa namanya. Yang jelas aku mulai
mengakui kehadirannya. Setiap kali bertemu, ia selalu sama. Dengan training
panjang dan baju berbahan polo atau jersey sebuah klub sepak bola melekat di
tubuhnya. Meski ia lebih tua dariku, tingginya tak seberapa. Badannya tegap
berisi. Ia gagah sekali. Dadanya bidang meskipun tubuhnya tak begitu tinggi. Hidungnya
mancung kontras dengan wajahnya yang tirus. Ada satu hal yang membuat ku tertarik
padanya. Ya, alisnya yang tebal itu rasanya hampir menyatu. Warnanya hitam
pekat. Menyenangkan sekali melihat seorang pria dengan alis yang hampir menyatu
seperti itu. Ya, dia sederhana. Pria yang sederhana semakin membuat semua ini
berpenyedap. Rasa hambar berangsur hilang dan lenyap.
Pertemuan demi pertemuan setiap
minggu membuat semua ini semakin berasa. Entah rasa apa yang menjadi
penyedapnya, yang jelas tak ada lagi acuhan. Tak ada lagi ketidakpedulian.
Rasanya sungguh berbeda. Aku tidak mau cepat-cepat menamakan ini adalah jatuh
cinta. Rasaku belum sedalam itu. Belum ada rasa ingin memiliki atau selebihnya.
Belum. Hanya muncul rasa bahagia yang sederhana, meletup dengan indah begitu
saja. Memancar dengan terang dan menyilaukan. Ya, mungkin memang terlampau
sulit aku menjelaskannya. Tapi entahlah, kali ini aku serius. Ada rasa bahagia
yang meletup kuat. Semakin kesini aku semakin gencar memperhatikan setiap
detailnya. Mulai mencari informasi kepada orang lain hanya untuk mengetahui
tentang dia. Sial! Semua ini berubah dengan cepat. Semua rasa yang harusnya
hambar. Seharusnya! Tetapi kini berubah berpenyedap seketika. Berubah menjadi
rasa yang bahkan aku tak tahu bagaimana rasanya. Sungguh, aku tidak ingin rasa
ini semakin meletup dan aku terbuang dalam fase jatuh cinta. Tidak! Semua ini
tidak boleh terjadi. Aku tidak mau hanya karena rasa yang tak aku ketahui, aku
harus memperjuangkannya demi cinta. Tunggu, cinta? Tidak. Tidak ada cinta
disini karena aku tidak ada rasa ingin memiliki. Aku hanyalah penggemar. Ya,
aku kira aku hanya jatuh pada fase kagum! Tak akan lebih. Sungguh! Tak harus
ada rasa yang aku perjuangkan.
Mungkin aku memang harus sadar diri.
Aku tidak pernah diperhatikan olehnya. Tidak pernah berhasil mengambil sedikit
saja perhatiannya. Hahaha… ya mungkin aku harus instropeksi diri. Aku hanya
anak 17 tahun yang jatuh pada fase kagum
dengan seorang pria yang alisnya hampir menyatu. Yang sialnya pertemuan tidak
sengaja kami berlangsung setiap hari. Aku terus menyakinkan rasa bahagia yang
meletup ini sebagai sebuah rasa kagum. Kagum. Ya, kagum! Apa yang bisa anak 17
tahun lakukan untuk mengambil hati seorang pria 20 tahun? Tak ada. Ya memang
tidak ada. Makanya, aku tetap harus menyakinkan bahwa ini bukanlah rasa cinta.
Tak ada. Sama sekali tak ada. Sudah aku katakan, tak ada keinginan untuk
memiliki. Tak ada keinginan untuk mengikat hatinya. Tak ada.
Lambat laun aku baru mengerti ia
dekat seorang wanita. Tentu saja tak ada rasa menyesal karena tak dapat merebut
hatinya. Hanya sedikit kecewa. Sedikit saja. Aku tak akan terlalu
memperlihatkan bahwa aku sudah jatuh dalam fase kagum padanya. Aku akan terus
diam. Mungkin ia memang lebih baik tidak tahu. Tidak mendengar. Tidak melihat.
Karena aku tak ingin rasa ini malah semakin meletup sehingga berubah fase.
Sudah cukup. Aku sudah bahagia melihat alisnya yang hampir menyatu itu melekat.
Rambutnya yang bergoyang dengan indah ketika angin menerpanya lembut. Tubuhnya
yang tegap berisi itu rasanya ingin aku peluk saja. Ya, aku kira hanya sebatas
itu. Hanya rasa kagum. Disini, sebagai anak 17 tahun aku hanya bisa melihatnya
dari kejauhan. Bersembunyi diantara rasa ingin tahu. Menangkis segala yang
menghalangiku untuk melihatnya. Hanya dari kejauhan, mungkin aku bisa katakana
bahwa pria sederhana sepertinya adalah yang berhasil mencuri perhatianku.
Berhasil membuatku lupa diri. Berhasil membuatku lancang dan tak instropeksi
diri. Mungkin aku hanya seorang pengecut. Yang rasa kagumnya hanya bisa aku
tumpahkan dalam sebuah tulisan sederhana. Mungkin juga hanya aku, gadis 17
tahun yang tak berani berandai lebih jauh. Tak berani jatuh lebih jauh. Ya,
memang hanya aku.
“Terinspirasi
oleh seorang pria sederhana yang alisnya hampir menyatu dengan tubuh gagah dan
tegap berisi. This is just a fake story
not a real story. So, don’t think that its my feeling.”
Annisa Ulfah
Miah
25 September
2014