Rabu, 15 Oktober 2014

Kagum Diam Diam



            Pertemuan awal ku dengannya adalah ketika cahaya matahari yang hangat menerpa tubuh kami. Dia hadir begitu saja. Aku sama sekali tak mengacuhkan keberadaannya. Sama saja dengan yang lain. Tak ada yang istimewa, awalnya. Cahaya matahari yang hangat itu berlangsung 90 menit dengan rasa yang hambar. Tak aku hiraukan, dia. Aku hanya sekilas memandang paras yang tak seberapa tingginya itu. Kulit sawo matang yang hampir mirip dengan kulitku sendiri. Ya, semua itu hanya awal. Awal yang hambar. Awal yang sama sekali tak aku acuhkan. Karena semua berawal dari sini.

            Aku bertemu dengannya setiap hari. Di lapangan, di sepanjang lorong dekat taman, di ruang-ruang, dimana saja. Aku selalu berpapasan dengannya secara tak sengaja. Awal yang hambar kini perlahan berubah dengan adanya bumbu penyedap. Entah apa namanya. Yang jelas aku mulai mengakui kehadirannya. Setiap kali bertemu, ia selalu sama. Dengan training panjang dan baju berbahan polo atau jersey sebuah klub sepak bola melekat di tubuhnya. Meski ia lebih tua dariku, tingginya tak seberapa. Badannya tegap berisi. Ia gagah sekali. Dadanya bidang meskipun tubuhnya tak begitu tinggi. Hidungnya mancung kontras dengan wajahnya yang tirus. Ada satu hal yang membuat ku tertarik padanya. Ya, alisnya yang tebal itu rasanya hampir menyatu. Warnanya hitam pekat. Menyenangkan sekali melihat seorang pria dengan alis yang hampir menyatu seperti itu. Ya, dia sederhana. Pria yang sederhana semakin membuat semua ini berpenyedap. Rasa hambar berangsur hilang dan lenyap.

            Pertemuan demi pertemuan setiap minggu membuat semua ini semakin berasa. Entah rasa apa yang menjadi penyedapnya, yang jelas tak ada lagi acuhan. Tak ada lagi ketidakpedulian. Rasanya sungguh berbeda. Aku tidak mau cepat-cepat menamakan ini adalah jatuh cinta. Rasaku belum sedalam itu. Belum ada rasa ingin memiliki atau selebihnya. Belum. Hanya muncul rasa bahagia yang sederhana, meletup dengan indah begitu saja. Memancar dengan terang dan menyilaukan. Ya, mungkin memang terlampau sulit aku menjelaskannya. Tapi entahlah, kali ini aku serius. Ada rasa bahagia yang meletup kuat. Semakin kesini aku semakin gencar memperhatikan setiap detailnya. Mulai mencari informasi kepada orang lain hanya untuk mengetahui tentang dia. Sial! Semua ini berubah dengan cepat. Semua rasa yang harusnya hambar. Seharusnya! Tetapi kini berubah berpenyedap seketika. Berubah menjadi rasa yang bahkan aku tak tahu bagaimana rasanya. Sungguh, aku tidak ingin rasa ini semakin meletup dan aku terbuang dalam fase jatuh cinta. Tidak! Semua ini tidak boleh terjadi. Aku tidak mau hanya karena rasa yang tak aku ketahui, aku harus memperjuangkannya demi cinta. Tunggu, cinta? Tidak. Tidak ada cinta disini karena aku tidak ada rasa ingin memiliki. Aku hanyalah penggemar. Ya, aku kira aku hanya jatuh pada fase kagum! Tak akan lebih. Sungguh! Tak harus ada rasa yang aku perjuangkan.

            Mungkin aku memang harus sadar diri. Aku tidak pernah diperhatikan olehnya. Tidak pernah berhasil mengambil sedikit saja perhatiannya. Hahaha… ya mungkin aku harus instropeksi diri. Aku hanya anak  17 tahun yang jatuh pada fase kagum dengan seorang pria yang alisnya hampir menyatu. Yang sialnya pertemuan tidak sengaja kami berlangsung setiap hari. Aku terus menyakinkan rasa bahagia yang meletup ini sebagai sebuah rasa kagum. Kagum. Ya, kagum! Apa yang bisa anak 17 tahun lakukan untuk mengambil hati seorang pria 20 tahun? Tak ada. Ya memang tidak ada. Makanya, aku tetap harus menyakinkan bahwa ini bukanlah rasa cinta. Tak ada. Sama sekali tak ada. Sudah aku katakan, tak ada keinginan untuk memiliki. Tak ada keinginan untuk mengikat hatinya. Tak ada.

            Lambat laun aku baru mengerti ia dekat seorang wanita. Tentu saja tak ada rasa menyesal karena tak dapat merebut hatinya. Hanya sedikit kecewa. Sedikit saja. Aku tak akan terlalu memperlihatkan bahwa aku sudah jatuh dalam fase kagum padanya. Aku akan terus diam. Mungkin ia memang lebih baik tidak tahu. Tidak mendengar. Tidak melihat. Karena aku tak ingin rasa ini malah semakin meletup sehingga berubah fase. Sudah cukup. Aku sudah bahagia melihat alisnya yang hampir menyatu itu melekat. Rambutnya yang bergoyang dengan indah ketika angin menerpanya lembut. Tubuhnya yang tegap berisi itu rasanya ingin aku peluk saja. Ya, aku kira hanya sebatas itu. Hanya rasa kagum. Disini, sebagai anak 17 tahun aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Bersembunyi diantara rasa ingin tahu. Menangkis segala yang menghalangiku untuk melihatnya. Hanya dari kejauhan, mungkin aku bisa katakana bahwa pria sederhana sepertinya adalah yang berhasil mencuri perhatianku. Berhasil membuatku lupa diri. Berhasil membuatku lancang dan tak instropeksi diri. Mungkin aku hanya seorang pengecut. Yang rasa kagumnya hanya bisa aku tumpahkan dalam sebuah tulisan sederhana. Mungkin juga hanya aku, gadis 17 tahun yang tak berani berandai lebih jauh. Tak berani jatuh lebih jauh. Ya, memang hanya aku.

“Terinspirasi oleh seorang pria sederhana yang alisnya hampir menyatu dengan tubuh gagah dan tegap berisi. This is just a fake story not a real story. So, don’t think that its my feeling.


Annisa Ulfah Miah

25 September 2014