Rabu, 31 Desember 2014

Pertemuan Itu Nyata





            Malam ini, angin berhembus pelan. Suasananya mendayu meski agak gerimis. Langit yang mendung hampir menutupi bulan sabit yang bersinar terang. Bintang-bintang juga tertutup kabut. Hanya satu dua yang terlihat. Itupun juga tak seterang biasanya. Jalanan kota padat merayap. Penuh dengan kendaraan dan ribuan orang yang berjalan menuju alun-alun kota. Ada yang berjalan berkelompok, beriringan, berdua, atau hanya sekedar duduk-duduk di pinggir jalan. Parkiran motor pun membludak. Jalan pecinan yang biasanya ramai dengan pedagang kaki lima, kini berubah menjadi parkiran motor. Alun-alun kota menjelma indah dengan panggung semi permanen yang menjulang. Tak henti-hentinya musik dialunkan dari seorang DJ yang sudah melenggak-lenggok diatas panggung. Puncak tahun baru dimulai dua jam lagi.

            Aku tidak ingin tertinggal dengan perayaan besar ini. Untuk pertama kalinya aku pergi ke alun-alun kota selarut ini. Mengabaikan perintah ayah. Mencoba menenangkan ibu yang marah besar ketika anak perempuannya berani melanggar aturan. Dan aku berhasil. Aku datang ke alun-alun kota. Melihat berbagai jenis aktivitas malam yang masih asing bagiku. Takjub. Aku tidak petnah keluar rumah selarut ini. Tidak pernah merasakan angin malam yang menenangkan. Tidak bisa melihat ribuan cahaya lampu kota tersorot indah. Bagiku, ini semua adalah bayaran. Setelah sekian lama aku harus tenggelam. Merasakan betapa tahun ini sungguh membuatku banyak kehilangan apapun. Aku melirik jam tangan hitam dipergelangan tanganku. Pukul 23.00 WIB. Perayaan tahun baru dimulai satu jam lagi.

            Aku berjalan melintasi toko-toko yang menjelma menjadi lading parkir. Pedagang kaki lima tumpah ruah. Bingung, melayani pembeli yang berteriak minta didahulukan. Aku tersenyum. Setidaknya aku pernah mengalami masa itu. Ya, dua tahun yang lalu. Aku terus berjalan. Mengabaikan seruan orang yang lalu lalang. Mengabaikan pandangan nakal dari pria-pria yang duduk di sekitar toko besar diujung itu. Sesekali aku melempar senyum sinis pada mereka. Aku terus berjalan. Mencoba mencari titik temu yang tepat. Aku berhenti tepat di bawah sinaran lampu kota depan toko besar. Aku melihat sekeliling. Tak ada orang yang aku kenal. Aku kemudian duduk di samping taman. Melemaskan kaki setelah berjalan jauh dari rumah. Berharap dalam hati bertemu seseorang yang aku kenal. Mataku malihat ke kanan kemudian ke kiri begitu berulang-ulang. Melihat kerumunan orang yang saling melempar tawa, saling bercerita, saling memeluk satu sama lain. Aku benar-benar merasakan atmosfer yang berbeda. Anak-anak kecil berlarian sambil membawa terompet berbagai bentuk. Ada juga pasangan kekasih yang saling berpelukan sambil seolah melihat bintang indah. Aku kembali tersenyum. Kemudian menghela nafas pelan. Aku rasa, hanya aku yang merasa sendiri disini. Perayaan tahun baru dimulai setengah jam lagi.

            Aku menyatukan tangan. Mencoba menghangatkan kedua telapak tanganku yang mulai tak tahan dengan dingin. Sesekali aku meniup tanganku agar menjadi lebih hangat. Alun-alun kota menjadi lebih ramai. Jalan utama benar-benar sudah tak bisa digunakan. Para pejalan kaki duduk di jalan raya. Tak menghiraukan beberapa mobil polisi yang lalu lalang mengamankan keadaan. Satu dua menyingkir, kebanyakan tetap duduk tak peduli. Gerimis yang sempat turun, kini sudah tak ada. Hilang. Langit berubah menjadi cerah. Bulan sabit yang tadinya tertutup awan, kini mulai terlihat. Indah sekali. Tak lama kemudian, tiba-tiba lampu seluruh alun-alun kota mati. Tepat pukul 23.45 WIB. Aku tak sabar melihat kembang api pada malam pergantian tahun kali ini. Mataku melihat sekeliling, dan berhenti pada seorang pria. Aku sangat mengenalnya. Dia adalah orang yang selama ini banyak mencuri perhatianku. Bagaimana bisa aku tidak mengenalnya? Setiap malam, aku mendengarkan suaranya melalui telepon. Membaca banyak pesan yang saling dikirimkan. Bagaimana bisa aku bertemu dengannya malam ini? Aku enggan beranjak. Meskipun aku sebenarnya ingin menyapanya. Menemaninya melihat kembang api yang meledak di angkasa. Namun rasanya, tidak mungkin. Aku memperhatikannya dari sini, dari bawah lampu kota yang sudah padam. Dia tidak seperti pria kebanyakan. Dia tak banyak bicara. Pembawaannya tenang. Itu yang membuatku selalu mencarinya. Aku sadar tentang keberadaannya, namun dia tidak. Ia masih sibuk melempar candaan dengan temannya. Tak menghiraukan bahwa aku memperhatikannya dari jauh. Sama seperti biasanya, aku hanya siluet yang jauh. Yang tak bisa disentuh. Tak bisa dilihat. Pantas saja, ia selalu protes karena aku jauh. Setidaknya, itu yang membuatku merindukannya.

            Aku berjalan maju. Hanya sekedar untuk ikut berkerumun. Mataku masih menatap dia. Begitu seterusnya, hingga entah terdorong siapa, aku sampai di sampingnya. Tak berapa lama ia menoleh. Ekspresinya kaget melihatku berdiri disampingnya. Kini, ia menyadari keberadaanku. Tidak ada senyum. Tidak ada sapaan. Aku menyadari kami berdua sama-sama terjebak dalam keadaan canggung. Aku menepis perasaan yang tak beraturan ini. Aku membuang pandangan. Berusaha melangkah mundur agar tak sejajar dengannya. Tiba-tiba seruan terompet menggema bersama. Kembang api mucul dari berbagai sisi. Sungguh indah sekali. Mataku tak henti-hentinya takjub melihat kembang api yang bersautan. Sementara dia berdiri di depanku. Tepat di depanku. Bagaimana bisa kami begitu dekat dalam ingatan, namun begitu jauh dalam nyata? Bagaimana bisa aku menikmati kembang api tahun ini dengan dia yang hanya bisa berdiri di depanku? Yang bahkan tak ada kata sapaan sebagai basa basi kecil. Bagaimana bisa? Dadaku terasa sesak oleh banyak pertanyaan “bagaimana bisa” yang aku timbulkan sendiri. Ironis memang, saat kami jauh, kami saling berusaha untuk mendekatkan diri. Namun, saat jarak itu hilang, saat bayangan menjadi nyata, kami seperti orang lain. Seolah kami melupakan semua yang terjadi. Hilang, lenyap begitu saja. Aku rasa, kami benar-benar terjebak keadaan bila menghadapi pertemuan. Kami masih belum bisa leluasa. Masih sama-sama berusaha melenyapkan bahwa kami sekat dalam ingatan. Miris. 

            Kembang api masih meledak bertubi-tubi di angkasa. Mataku masih menatap. Matanya juga. Kami menatap hal yang sama. Menikmati hal yang sama. Memikirkan hal yang sama? Tidak. Aku rasa kami berbeda. Aku mencoba tetap menikmati kembang api hingga usai. Menatap langit yang hanya tinggal kepulan asap yang membentuk siluet kembang api. Aku sama sekali tak melirik ke arahnya. Sudah cukup bagiku. Meski kami tak berdekatan dalam nyata, setidaknya kami selalu dekat dalam ingatan. Aku yakin ia menyadari ku. Mengerti perasaanku. Atau mungkin ia pura-pura tak tahu. Pura-pura tak mengerti. Pura-pura tak menyadari. Yang jelas, aku telah melangkah jauh meninggalkannya. Berjalan menuju rumah. Mencoba menepis kajadian selama setengah jam yang lalu. Setidaknya aku sudah memutuskan. Dan inilah langkah awalku. Tetap menunggu.


Annisa Ulfah Miah
1 Januari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar